Pelajaran hidup dari A Man Called Otto

Weekend lalu saya menonton sebuah film berjudul “A Man Called Otto” yang direkomendasikan teman di kantor. Menurutnya filmnya cukup menyentuh. Sebelumnya saya berekspektasi menonton sebuah film drama yang mungkin bisa membosankan dan mellow. Tapi melihat aktornya adalah Tom Hanks, saya berharap filmnya bukan film drama yang membosankan. Ekspektasi saya agak sedikit naik.

Poster A Man Called Otto

Film ini menurut saya bisa dikategorikan bergenre keluarga, komedi, dan drama. Sepanjang kira-kira 2 jam, saya menangkap banyak pesan realistis tentang kehidupan yang dibalut dengan hal-hal lucu dari kehidupan sehari-sehari.

Long Story Short (Spoiler Alert!)

Film ini berkisah tentang Otto Anderson, seorang lelaki tua yang grumpy. Dia semacam orang yang dituakan di sebuah lingkungan perumahan cluster (mungkin seperti ketua RT). Dia memiliki rutinitas meronda tiap pagi untuk memastikan semua hal di lingkungannya berada dalam kondisi semestinya, seperti memastikan jenis sampah yang benar berada di setiap tempat sampah, sepeda terparkir di tempat yang sudah disediakan, memastikan semua penghuni memiliki parking permit yang ditempel di kaca spion mobil mereka, memastikan pagar cluster terkunci, dan tak lupa dia mengomel-ngomel mengomentari aktivitas tetangganya yang menurut dia aneh dan mengganggu. Singkat kata, Otto adalah orang yang perfeksionis, kaku, efisien, sangat terorganisir, dan otak kiri banget. Tetangga-tetangganya pun merasa sikap Otto berlebihan dan meminta dia untuk agak santai. Tapi anehnya mereka tampak tidak membenci Otto.

Latar belakang Otto mulai tersingkap satu per satu saat ada pasangan muda yang clumsy dan funny bernama Tommy dan Marisol yang menyewa rumah di seberang rumah Otto. Mereka memiliki 2 anak balita dan 1 yang masih dalam kandungan. Sang istri, Marisol, seorang imigran dari Meksiko, sangat ekspresif dan perhatian. Dari interaksi mereka, terlihat bahwa Otto, meskipun grumpy, dia tidak tahan akan ketidakberesan dan ringan tangan untuk membantu tetangga-tetangganya.

Hal penting tentang kehidupan Otto yang sebenarnya, akhirnya terungkap. Ternyata Otto baru saja ditinggal istrinya (Sonya) yang meninggal karena kanker. Mereka tidak memiliki anak, karena istrinya pernah mengalami kecelakaan lalu lintas saat hamil yang juga mengakibatkan kelumpuhan. Mungkin sejak ditinggal istrinya itulah, Otto menjadi orang tua yang grumpy. Bahkan sikapnya itu membuat dia dipaksa untuk pensiun dini dari perusahaan fabrikasi rebar tempatnya bekerja (Otto itu seorang engineer btw). Dalam kisah ini, Otto juga diceritakan berusaha melakukan bunuh diri dengan cara menggantung diri, meracuni diri dengan asap mobil, hingga menembak dirinya, yang kesemuanya gagal.

Sikap Otto berubah setelah Marisol pada akhirnya mengkonfrontasi dia. Meskipun Marisol baik dan cheerful, dia bisa mengerti apa yang dihadapi Otto dan mengingatkan Otto agar Otto bisa lebih terbuka terhadap tetangga-tetangganya. Marisol, yang berumur jauh lebih muda dari Otto, menyadarkan Otto bahwa tidak baik untuk menganggap diri sendiri tidak butuh orang lain dan mengira orang-orang selain Otto adalah orang bodoh yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Marisol memberi pencerahan pada Otto untuk “melepaskan” dan move on.

Lesson Learnt

Bagi saya, film ini memperlihatkan alur kehidupan yang perlu dan akan dialami kita sebagai manusia. Film ini menyampaikan beberapa pesan tersirat tentang:

Menjalani misi hidup

Beberapa kali Otto berusaha mengakhiri hidupnya. Namun bayangan istrinya selalu muncul dan menghentikan perbuatannya itu. Dari adegan-adegan ini, ada pesan dimana Otto diingatkan bahwa belum waktunya dia menyusul istrinya tersebut karena “dharma” nya yang belum tuntas di dunia ini. Otto terlahir dengan sikap yang sedemikian kaku, perfeksionis, hobi dan profesinya pun sebagai engineer. Dengan modalnya tersebut, dia sebetulnya membantu lingkungannya untuk tertib. Dia bisa diandalkan. Bahkan klimaks film ini menunjukkan peran Otto untuk mencegah pihak developer mengusir sahabatnya yang terkena alzheimer.

Letting Go

Pengalaman hidup Marisol yang kehilangan ayahnya, membuat dia menyadarkan Otto bahwa Otto harus move on. Tidak lagi fanatik menyimpan semua barang-barang Sonya karena tidak mau kehilangan memorinya. Namun, Marisol memaksa untuk nge-pack barang-barangnya Sonya. Ini salah satu tahapan healing, diperlukan kesadaran bahwa segala yang melekat di dalam diri kita itu hanya titipan. Saat Sonya meninggal, mungkin hati Otto jadi sakit karena sesuatu yang sudah ter-attach di dirinya setelah bertahun-tahun dicerabut secara paksa. Untuk sembuh, Otto harus melepaskan “sisa-sisa” attachment yang masih ada dengan sukarela.

Everything we have are meant to be tools

Masih terkait pesan sebelumnya, “letting go“, Otto perlu menyadari bahwa siapapun yang pernah dihadirkan ke dalam hidupnya, atau apapun yang pernah terjadi dalam hidupnya, menjadikan dia siap untuk menghadapi tantangan berikutnya dan menuntaskan misi hidupnya. Seperti kata Viktor Frankl di bukunya “Man’s search for a meaning“, tugas kita adalah mencari makna hidup. Dan makna hidup itu dinamis. Akan berganti-berganti seiring berjalannya waktu dan kondisi yang kita alami.

Saya jadi teringat hikmah yang bisa diambil dari game Mario Bros Nintendo 8 bit. Di game itu Mario berlari dan loncat ke sana-kemari, namun tidak bisa kembali ke tempat semula. Layar akan terus bergerak ke kanan. Di perjalanan itu dia bisa makan “jamur” yang membuatnya besar. Bisa makan “bintang” yang membuatnya invincible, dan menjadikannya mudah menghajar kuya-kuya yang merintangi jalan. Namun pada saatnya dia bisa kembali mengecil dan efek bintangnya habis. Tapi walau demikian, Mario perlu terus berjalan, memanfaatkan hal-hal yang fana tersebut untuk bisa menuju ke tiang bendera atau bahkan ke final boss demi menyelamatkan Princess Toadstool yang menjadi misinya.

photo of man playing super mario bros
Photo by Anurag Sharma on Pexels.com

Kembali ke Otto. Bagi Otto kehadiran Sonya memberikan warna dalam hidupnya. Namun Otto tidak bisa kembali ke masa-masa Sonya masih ada. Otto perlu menyadari makna kehadiran Sonya dan kepergiannya. Dan ternyata perangai baik Sonya lah yang membuat Otto tersadar untuk berbuat baik di saat Otto tahu kalau istrinya itu, sebagai guru, dapat memotivasi dan mengubah hidup seorang murid yang dikucilkan.

Be grateful and mindful

Kehadiran Marisol, Tommy, dan anak-anak mereka, sebetulnya bisa menghibur Otto. Menyudahi kesepiannya setelah ditinggal Sonya. Namun Otto baru sadar ini setelah sekian lama. Konfrontasi dari Marisol lah yang menyadarkannya akan makna keberadaan Marisol dan Tommy, dan kehadiran tetangga-tetangganya.

Ada pesan tersirat yang disampaikan di film ini bahwa kita tidak akan pernah kehilangan. Yang ada hanyalah penggantian dengan yang serupa atau lebih baik. Otto baru sadar bahwa tetangga-tetangganya pun bisa jadi keluarganya. Otto perlu live in the present. Sengaja untuk sadar untuk melihat apa yang dihadirkan Tuhan ke dalam hidupnya. Saat itu dilakukan, Otto akan sadar bahwa ia tidak kehilangan apa pun di dunia ini.

Epilog

Hikmah itu berserakan di mana-mana termasuk di film A Man Called Otto ini. Film keluarga sarat makna yang dibungkus dengan realitas dan kekonyolan kehidupan sehari-hari. Kisah ini ternyata diadaptasi dari novel Swedia berjudul A Man Called Ove.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *