Memasuki Kota Cahaya
“A, udah nyampe Madinah”.
Kata-kata adik saya yang sayup-sayup terdengar itu membangunkan saya setelah terlelap di tengah perjalanan kami dari Jeddah ke Madinah. Jam yang ada di lengan saya saat itu menunjukkan pukul 23:27 pada tanggal 27 September 2022. Tanggal Masehi yang sama saat Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA tiba di Madinah menurut riwayat yang dikutip Martin Lings. Ada perasaan deg-degan bercampur haru yang saya rasakan saat bus kami mulai memasuki kota suci yang diberkahi ini. Yang berkahnya, seperti diminta dalam doa Rasulullah SAW, adalah dua kali lipat dari Mekkah.
Saat melihat deretan bangunan di pusat kota Madinah yang satu persatu kami lewati, saya langsung teringat untuk mengucapkan doa yang sudah saya hapalkan sebelum keberangkatan.
Allaahumma haadza haramu rasuulika faj’alhu lii wiqaayatan mina naari wa amaanatan min al-‘adzaabi wa suu il-hisaabi
Ya Allah, kota ini adalah kota suci utusan-Mu, maka jadikan ia sebagai pelindungku dari api neraka dan penyelamat dari siksa dan hisab dari amalku yang buruk
Doa saat memasuki Kota Madinah dan saat melihat pepohonan dan bangunan di sana
Madinah saat malam hari tidak terlalu spesial. Tidak ada hingar bingar atau aktivitas orang-orang di jalanan kota ini. Mungkin karena sudah larut malam. Saya hanya melihat neon light dari bangunan-bangunan yang coba saya kenali sebagai klinik dokter gigi, gym, pusat perbelanjaan, dan restoran yang sudah tutup.
Setelah memasuki area sekitar Masjid Nabawi, kami langsung menuju hotel. Enam jam perjalanan dengan bus lumayan melelahkan namun tidak ada apa-apanya dibandingkan perjalanan hijrah Rasulullah dan sahabat-sahabat 1400 tahun yang lalu. Saya sedikit mengalami aklimatisasi dengan kondisi cuaca di sini saat kami berhenti di rest area untuk menunaikan salat jama Maghrib dan Isya. Saya baru mengetahui ternyata meskipun suhu di Arab Saudi ini panas, namun kelembapannya kecil (relatif kering) sehingga jarang orang yang berkeringat. Penduduk di sini pun relatif jarang mandi dibandingkan frekuensi mandi orang Indonesia. Bahkan ada anekdot yang bilang kalau orang Indonesia itu seperti ikan, kebanyakan mandi (2x sehari).
Memasuki Masjid Nabawi
Saat kami berada di Madinah, waktu masuk salat subuh dimulai pada pukul 04:55. Alhamdulillah kami masih bisa beristirahat setidaknya 3 jam. Sekitar jam 3:30 kami keluar dari hotel dan menuju Masjid Nabawi. Langkah-langkah saya ketika itu disertai dengan rasa berdebar, excited karena untuk pertama kalinya saya akan melihat Masjid Nabi secara langsung, mengunjungi rumahnya, menapaki tanah yang sama yang pernah dijejaki Rasulullah dan sahabat-sahabat dalam menyebarkan ayat-ayat Allah, memperbaiki peradaban dari level personal (menyucikan jiwa), keluarga, hingga bangsa, mengajarkan hikmah dan menyebarkan cahaya kebenaran dari kota yang dijuluki kota cahaya ini ke seluruh dunia.
Melihat kembali tiang-tiang payung Masjid Nabawi yang tertutup disertai latar belakang menara-menara masjid yang menjulang tinggi, membuat Bapak saya meneteskan air mata karena kerinduannya terhadap tempat ini. Saya juga kembali mengucapkan doa memasuki Madinah dan melantunkan salam kepada Rasulullah SAW, sosok mulia yang setiap hari saya sebut dalam salat, yang kisah hidupnya memberi inspirasi kita dalam menghadapi cobaan-cobaan dalam hidup ini, yang kini secara fisik berada sangat dekat dengan saya. Kami memasuki pelataran masjid lewat gerbang 326, gerbang yang paling dekat dengan hotel. Angka “3” di awal tiga digit nomor tersebut menunjukkan bahwa itu adalah gerbang masuk. Karena ada juga bangunan dengan kode awal “2” yang menunjukkan toilet (kadang tersambung dengan parkir bawah tanah).
Untuk pertama kalinya juga saya bisa meminum sepuasnya air zam-zam yang disediakan di drum-drum air di dalam masjid. Adalah sunnah untuk minum air zam-zam sampai kenyang. Namun hal itu disarankan saat mau meninggalkan masjid agar tidak menstimulus kita untuk buang air kecil. Seperti melihat harta karun yang berlimpah, saya mengisi botol kosong yang saya bawa. Nantinya setiap kali ke masjid, saya selalu minum sampai puas dan mengisi botol-botol yang saya bawa.
Suhu di dalam Masjid Nabawi sangat sejuk bahkan di spot-spot tertentu saya merasa kedinginan karena sistem pendinginannya. Saya memerhatikan tipikal arsitektur arc/ portal lengkung yang menghiasi langit-langit masjid itu didominasi warna kecoklatan (warna gurun) dengan variasi antara coklat tua dan coklat muda. Dan saya pun tersadar bahwa masjid-masjid di Indonesia yang punya style interior serupa ternyata meniru gaya Masjid Nabawi ini.
Kami mencari tempat yang masih kosong di daerah depan di belakang raudah. Raudah adalah area di antara rumah Rasulullah SAW dan mimbar. Posisinya bisa dikenali dari kubah hijau yang ada di atasnya. Tepat di bawah kubah hijau itulah makam Rasulullah berada. Kami pun salat tahiyatul masjid dilanjutkan dengan qiyamul lail di tengah suasana yang nyaman untuk beribadah yang kadang ditemani cuitan burung-burung yang terbang ke sana kemari. “Ya Rasulullah, sungguh kami sangat dekat denganmu saat ini. Semoga kami bisa selalu berdekatan denganmu.”
Mengunjungi Raudah
Salah satu tempat di Masjid Nabawi yang menjadi tujuan atau bahkan dambaan bagi jemaah untuk mengunjunginya adalah Raudah. Dalam salah satu hadis Rasulullah, beliau mengatakan bahwa Raudah ini bagian dari taman surga. Saat itu untuk masuk ke Raudah, setiap pengunjung perlu mendaftarkan diri untuk diberi tasreh (semacam surat izin). Sistem yang baru ini menjadikan kunjungan ke Raudah lebih nyaman karena setiap orang memiliki jadwal kunjungan yang sudah diatur. Sistem ini membantu mengurangi kondisi berdesak-desakan di Raudah.
Rombongan kami yang laki-laki kebetulan mendapatkan jadwal kunjungan ke Raudah jam 2 siang dengan durasi 30 menit. Waktu tersebut sebetulnya kurang nyaman, karena bersamaan dengan jam makan siang di hotel. Pembimbing kami mencoba untuk ikut mengantri ke Raudah sebelum Dzuhur. Ternyata petugas membolehkan kami memasuki area tunggu untuk masuk Raudah. Lalu, azan Dzuhur pun dilantunkan dan kami masuk ke dalam Raudah. Biasanya yang masuk ke Raudah hanya bisa salat tahiyatul masjid, namun kami bisa ikut salat Dzuhur dan rawatibnya juga. Sehingga total waktu mengunjungi Raudah lebih lama dari 30 menit. Alhamdulillah.
Saat berada di Raudah ini saya merenung bahwa kenikmatan beribadah seperti ini tidak boleh berhenti hanya sampai di Madinah. Bukan sebuah alasan saat kita kembali ke tempat kita berasal (tanah air), kita tidak lagi menikmati dan khusyu dalam salat karena tidak berada di Raudah. Oleh karena itu saya berpikir saya perlu membawa “oleh-oleh” kunjungan ke Raudah ini dengan doa yang meminta kepada Allah agar di manapun tempat saya bersujud dan salat setelah ini, jadikanlah tempat tersebut menjadi senikmat saat sujud dan salat di Raudah.
Di mana sebetulnya Raudah itu berada?
Di grup pengajian yang saya ikuti, saya mendapatkan pemahaman baru akan makna Raudah yang disebut oleh Rasulullah. “Antara rumahku dan mimbarku adalah taman (raudah) dari taman-taman surga,” itulah hadis yang diriwayatkan dari At Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah. Jika kita membedah lebih dalam kata “mimbar”, itu adalah tempat yang biasa digunakan untuk melakukan dakwah/syiar, ceramah, menyebarkan kebaikan, menyampaikan pesan Islam. Jadi saat kita berdakwah, menyebarkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam, menjadi contoh kebaikan bagi lingkungan kita, bisa dikatakan kita berada di atas mimbar. Oleh karena itu tempat antara Rasulullah dan kita berada saat melakukan syiar Islam, adalah bagian dari taman surga.
Pemahaman baru ini juga bisa menjadi motivasi kita bahwa meskipun secara fisik kita tidak berada di Madinah, kita bisa merasakan berada di taman surga dimanapun kita berada di atas muka bumi ini selama kita melakukan syiar Islam.
Sama halnya dengan kedekatan kita dengan Rasulullah. Jika kita ingin selalu dekat dengan Rasulullah, bukan berarti kita harus terbang ke Madinah untuk berziarah ke makam beliau. Kita bisa tunjukkan kerinduan kita dan usaha mendekati Rasulullah dengan bershalawat kepadanya, melakukan sunnah-sunnah nya, dan menyayangi anak yatim. Rasulullah akan mengenali siapa-siapa di antara umatnya yang betul-betul rindu kepadanya.
Mengucapkan salam kepada Rasulullah
Alur kunjungan ke Raudah setelah melakukan salat sunnah, kita akan dipandu untuk berziarah ke makam Rasulullah sekaligus menuju ke pintu keluar. Karena, Rasulullah pernah berkata bahwa penghormatan kepada Allah harus didahulukan (dengan salat sunnah Tahiyatul Masjid) sebelum mengunjungi beliau. Saat melewati makam Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khattab, air mata saya tiba-tiba keluar. Tanpa bisa diantisipasi, saya menangis seketika. Saat itu saya bergidik, tidak menyangka bisa sedekat itu dengan manusia yang paling mulia, yang kisah hidupnya adalah pelajaran bagi kita, yang (jika kita sadar) cintanya kepada saya dan kita umatnya bikin meleleh. Saya merasakan kerinduan yang agak terobati dan berharap bisa selalu berdekatan dengan Rasulullah. Aamiin Yaa Mujibassailin.
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad.
Yaa Allah semoga rahmat senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad dan juga kepada keluarga Nabi Muhammad
Bersilaturahmi di Masjid Nabawi
Bertemu sahabat dari Vietnam
Di hari ke-3 di Madinah, kami berkesempatan untuk melakukan city tour. Beberapa tempat yang dikunjungi adalah Masjid Quba, kebun kurma, bukit Uhud, dan melewati Universitas Islam Madinah. Seketika saya teringat seorang teman Vietnam yang kira-kira 5 tahun lalu meninggalkan negaranya untuk bersekolah di Madinah. Saya betul-betul tidak ingat tentang dia sebelum bearngkat umroh. Akhirnya saya coba kontak dia dan qadarullah teman saya itu masih berada di Madinah. Dia langsung mengiyakan untuk bertemu siang harinya di Masjid Nabawi.
Haris ini orang Vietnam asli dan dapat beasiswa untuk belajar di Madinah. Saya pernah mention dia di salah satu postingan cerita di sini: Kehidupan Malam di Vietnam. Setelah ngobrol dengan Haris, saya terkesima bahwa dia sudah jadi hafiz (hafal semua ayat di Alquran). Masya Allah. Alhamdulillah saya dipertemukan dengan Haris yang membuat saya tersentil dan termotivasi untuk menyusul dia juga.
Salah satu oleh-oleh yang saya dapat dari umroh kali ini: cita-cita untuk menjadi hafiz Quran. Saya masih ingat saat cuti pertamanya, dia kembali ke Ho Chi Minh City dan bercerita tentang tantangan yang cukup berat yang dia hadapi untuk belajar di Madinah. Teman-temannya yang berasal dari Indonesia dan negara-negara muslim lain terlihat lebih mudah beradaptasi karena mungkin sudah terbiasa membaca Alquran dan juga menguasai percakapan dalam bahasa Arab. Sedangkan dia sendiri memulai dari nol. Alhamdulillah saya ikut senang dengan pencapaiannya sekarang. Oia, Haris ini juga ber-syiar lewat tiktok. Kalau ada yang sering tik-tokan bisa mampir ke channelnya dia: @harith_the_brother
Dari Haris, saya juga dapat pengalaman untuk jalan-jalan ke daerah yang “ngga mainstream” di sekitar Masjid Nabawi. Kami makan malam di sebuah restoran Bangladesh di sebelah utara masjid. Pemiliknya bisa bahasa Arab, tapi pelayannya tidak bisa berbahasa Inggris maupun bahasa Arab. Jadinya kami trial and error saja berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Di daerah ini banyak penginapan yang terlihat lebih murah. Ada juga pasar malam murah yang penjualnya kebanyakan bukan orang asli Madinah ataupun Arab Saudi.
Bertemu guru dan ikut kajian di pelataran Masjid Nabawi
Sejak pindah ke Jakarta, saya mengikuti kajian Ihya Ulumuddin yang dibawakan oleh Kang Dani, yang saya ketahui dari circle pertemanan saya di Vietnam. Semua kajiannya dilakukan online lewat zoom atau YouTube (@addaani2005). Selama lebih dari 2 tahun saya mengikuti pengajian dan grup yang beliau ampu yang alhamdulillah menjadi wasilah bagi saya untuk memperdalam ilmu yang membantu saya mengarungi kehidupan ini. Sebelumnya saya pernah bermimpi bertemu beliau di Masjid Nabawi, entah kenapa. Ternyata saat umroh kemarin, Kang Dani pun berangkat untuk menjadi pembimbing umroh. Akhirnya saat tahu Kang Dani akan membawakan pengajian sesuai jadwal rutin kami (tiap malam Jumat), saya mengontak beliau untuk bergabung langsung dengannya. Saat itu masih sore hari di Masjid Nabawi.
Setelah bertemu Haris dan Kang Dani, saya masih memiliki waktu 1 hari lagi di Madinah bertepatan dengan hari Jumat sebelum akhirnya kami meninggalkan kota yang penuh berkah ini untuk menjalankan ibadah umroh di Masjidil Haram, Mekah.
Oleh-oleh Hikmah
Siapapun yang bertamu ke rumah seseorang, pasti akan disuguhi jamuan. Dan biasanya, jika tuan rumahnya baik, dia akan memberikan bungkusan oleh-oleh. Perjalanan ke Madinah dan Mekah ini pada hakikatnya adalah sebuah undangan. Semua yang datang ke tanah suci untuk berumroh dan berhaji statusnya adalah tamu-tamu Allah. Oleh-oleh fisik, mungkin bisa dikumpulkan kalau mau. Tapi ada oleh-oleh batin yang saya dapatkan, diantaranya adalah:
Motivasi buat menghapal Alquran
Dari kisah pertemuan saya dengan Haris, ditambah 2 pembimbing saya yang juga hafiz, memberikan saya inspirasi untuk menggunakan sisa usia ini untuk menghapal dan menggali makna-makna di dalam Alquran. Berikut ini beberapa tips untuk menjadi hafiz dari pembimbing kami, Ust. Rizkon Hakiki:
- Niat
- Cari guru/ mahad tahfiz
- Mengerti apa yang dihafal (baca arti dan pahami ayat-ayatnya)
- Disiplin dan punya target
- Murojaah, mengulang-ulang, terutama dalam waktu yang dekat (diulang-ulang dalam 2-3 hari)
- Bertakwa, jauhi maksiat
- Dibantu dengan qiyamul lail (memohon doa untuk dibantu Allah menjadi penghapal Alquran)
Reminder untuk memanfaatkan waktu-waktu mustajab untuk berdoa
Ada pesan yang masih saya ingat dari pembimbing umroh kalau kita harus memanfaatkan saat-saat travelling ini untuk berdoa. Karena doa orang dalam perjalanan itu mustajab (mudah dikabulkan). Begitu pula pada waktu sahur, adalah waktu yg tepat untuk berdoa dan memohon ampun.
Mengikuti sunnah Rasulullah agar dekat dengan beliau
Tidak setiap hari kita bisa mengunjungi Masjid Nabawi. Tapi dengan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah, sekecil apapun, itu bisa menunjukkan kedekatan kita dengan beliau. Misalnya saja membiasakan untuk sikat gigi dengan niatan ingin mengikuti contoh dari Rasulullah. Alkisah di zaman para sahabat, banyak sahabat-sahabat yang kepo tentang kebiasaan Rasulullah hingga bertanya kepada orang-orang terdekatnya. Tujuan mereka adalah untuk mengikuti kebiasaan beliau. Namun saat ini, mungkin saya juga, mindsetnya jadi terbalik, kita terbiasa untuk menyepelekan hal-hal sunnah karena itu bukan hal yang wajib.
Hikmah dari kisah hijrah
Saat kami berada di Mekah (insya Allah ada postingan lanjutannya), ada sebuah bahasan di sela-sela kunjungan kami ke bukit Tsur. Pembimbing kami menjelaskan hikmah di balik proses hijrah Rasulullah dan Abu Bakar yang sangat “manusiawi.” Mereka berdua dikejar-kejar orang Quraisy, bersembunyi di gua dengan di-supply secara rahasia oleh putrinya Abu Bakar, dan Abu Bakar pun sempat digigit kalajengking juga di gua tersebut. Padahal sebagai Rasulullah, beliau bisa saja meminta kepada Allah untuk diberikan kemudahan untuk bisa cepat sampai di Madinah. Pelajaran dari kisah ini ialah, Rasulullah ingin menunjukkan kepada umatnya kalau sesuatu itu harus diusahakan sesuai fitrahnya. Jika kita lapar, maka kita harus cari makanan. Jika kita butuh uang, kita harus berusaha untuk mencari penghasilan yang halal. Lalu setelah berusaha, serahkan semuanya kepada Allah. Ini adalah bentuk tawakkal yang sempurna.
Pemaknaan Tawaf dan Sa’i (saat di Mekah)
Dari proses tawaf saya mendapatkan hikmah bahwa selama hidup di dunia ini kita memiliki target untuk mendekat kepada Allah. Meskipun ada gangguan dari kiri kanan (karena disikut orang-orang, atau menginjak kotoran burung), fokus kita harus tetap pada Kabah (dalam hal ini fokus kepada tujuan hidup kita). Dengan demikian, kita sebetulnya tidak akan punya waktu untuk mengomentari atau berandai-andai terhadap kehidupan orang lain.
Dan dari proses Sa’i, saya belajar bahwa ikhtiar yang diikat dengan tawakkal kepada Allah itu akan memudahkan kita. Selama jalan dan lari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa, kita selalu melafalkan dzikir kepada Allah. Itupun yang seharusnya kita lakukan di kehidupan nyata. Saat bekerja, kita perlu selalu ingat untuk apa kita bekerja (untuk meraih rida Allah). Kita harus mengkoneksikan jasad dan jiwa kita. Bahkan bagi saya, pelajaran dari Sa’i ini selalu saya pakai saat berolahraga. Contohnya waktu ikut Jakarta Marathon, seminggu setelah saya pulang umroh, saat lari terbayang di hadapan saya adalah lampu-lampu hijau di jalur Sa’i. Lalu saya teringat dan melafalkan dzikir saat Sa’i, berusaha menyematkan makna batin di tiap aktivitas fisik yang saya lakukan:
Rabbighfir warham wa’fu wa takarram wa tajaawaz ‘amma ta’lam innaka ta’lam maa laa na’lam innaka antallahul a’azzul akram
Ya Allah, ampunilah, sayangilah, maafkanlah, bermurah hatilah dan hapuskanlah apa-apa yang Engkau ketahui dari dosa kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui apa-apa yang kami sendiri tidak tahu. Sesungguhnya Engkau ya Allah Maha Tinggi dan Maha Pemurah
Selama Sa’i, saya juga memerhatikan kalau pembimbing saya selalu melafalkan istighfar dan taubat
Astaghfirullah wa aatubu ilaih
Aku memohon ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepadanya
Taubat itu bermakna kembali. Taubat bukan hanya dilakukan oleh kita saat sadar melakukan dosa. Tapi proses ini harus terus dilakukan karena sudah sunatullahnya kalau manusia itu memiliki kecenderungan untuk menyimpang. Bagaikan osilasi gelombang, keimanan itu naik turun, sebisa mungkin kita perlu mengecilkan amplitudonya untuk berada pada jalan yang lurus (sumbu y=0). Untuk itulah mengapa kita diperintahkan salat hingga 5 kali sehari. Bahkan di awal perintah salat, Allah menyebutkan hingga 50 kali sehari.
Ternyata butuh 5 bulan bagi saya untuk dapat menyelesaikan draft catatan perjalanan ini. Semoga catatan ini menjadi pengikat dalam memori saya dan akan terus menjadi pengingat bagi saya untuk selalu “kembali” saat saya membacanya*.
Madinah Al-Munawarah, kota yang dipenuhi cahaya, telah memberikan oleh-oleh berupa cahaya ilmu dan cahaya iman.
*) selama saya perpanjang subscription hostingan website ini. hehe