Akhir tahun lalu saya sempat membaca buku self-help terkait dengan healing, mental health, dan psikologi populer. Ternyata buku-buku tersebut sering merujuk kepada karya Viktor Frankl, seorang psikolog asal Austria. Beberapa waktu yang lalu juga, mentor saya merekomendasikan buku karangan Viktor Frankl ini yang berjudul “Man’s Search for Meaning” (Pencarian Makna, terjemah). Buku yang saya baca ini adalah versi Bahasa Indonesia nya yang diterbitkan oleh grup Mizan (jadi inget kucing Mio 🐱). Viktor Frankl ini adalah seorang survivor kamp konsentrasi semasa Perang Dunia 2. Pengalaman dan pemaknaan hidup yang dia dapat selama di kamp adalah sumber inspirasi/referensi untuk menulis buku ini.
Dengan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini terdiri dari tiga bagian utama: pengantar, cerita tentang kamp konsentrasi, dan ringkasan tentang “Logoterapi.” Sebetulnya bagian pengantar yang dijabarkan di awal buku sudah cukup untuk menggambarkan intisari buku ini. Bagian pengantar ini ditulis oleh Harold S. Kushner (penulis buku When Bad Things Happen to Good People) dan Viktor Frankl sendiri. Buku ini mengajarkan kita untuk dapat memaknai hidup kita bagaimanapun kondisinya, karena hidup ini sangat berarti. Terutama, memaknai hidup dalam penderitaan, yang mungkin sangat sulit dilakukan. Tapi meskipun demikian kita perlu menghadapinya. Nah, saat itulah kita tengah memaknai penderitaan tersebut. Segala kejadian yang ada di seputar kita itu netral, respon kita lah yang memberikan label atau makna terhadap kejadian tersebut. Salah satu pandangan Viktor Frankl yang terkenal adalah: kekuatan di luar kendalimu dapat merampas segala milikmu kecuali satu hal, kebebasanmu untuk memilih caramu menanggapi sesuatu. Kau tak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupmu, tetapi kau selalu bisa mengendalikan apa yang kau rasakan dan lakukan terhadap apa yang terjadi padamu. Pandangan tersebutlah yang membuat dia bisa bertahan di tengah penderitaan kamp konsentrasi, dimana sebelumnya dia dan orang-orang yang senasib memiliki kehidupan yang bahagia dan terhormat tapi kemudian harus hidup tanpa identitas dan dengan perlakuan yang tidak manusiawi.
Kekuatan di luar kendalimu dapat merampas segala milikmu kecuali satu hal, kebebasanmu untuk memilih caramu menanggapi sesuatu. Kau tak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupmu, tetapi kau selalu bisa mengendalikan apa yang kau rasakan dan lakukan terhadap apa yang terjadi padamu.
Ada juga beberapa quote yang inspiratif dan betul adanya. Mengapa saya sebut betul? Karena ide yang Viktor Frankl kemukakan ini sejalan dengan sumber kebenaran yang abadi. Dia mengatakan bahwa, “Jangan jadikan kesuksesan sebagai tujuan. Semakin kita jadikan kesuksesan sebagai tujuan dan target utama, semakin kita akan menjauh darinya. Sebab sukses, sebagaimana kebahagiaan, tidak dapat dikejar. Ia akan terjadi, dan hanya terjadi sebagai efek samping dari pengabdian pada tujuan yang lebih besar.” Sama seperti tulisan saya sebelumnya di sini, tujuan hidup kita itu bukanlah untuk mengejar kebahagiaan. Bahkan di Al-Quran, tidak disebutkan bahwa kita harus mengerjarnya. Tujuan hidup kita adalah memperoleh ridho Tuhan, Allah SWT.
Jangan jadikan kesuksesan sebagai tujuan. Semakin kita jadikan kesuksesan sebagai tujuan dan target utama, semakin kita akan menjauh darinya. Sebab sukses, sebagaimana kebahagiaan, tidak dapat dikejar. Ia akan terjadi, dan hanya terjadi sebagai efek samping dari pengabdian pada tujuan yang lebih besar.
Viktor juga mengatakan, “Makna hidup berbeda untuk setiap manusia, dan berbeda pula dari waktu ke waktu. Karena itu, kita tidak bisa merumuskan makna hidup secara umum.” Saya mendapatkan kalimat ini sejalan dengan tujuan lain manusia yaitu menjadi khalifah di bumi dengan menjalankan misi hidupnya masing-masing. Setiap orang memiliki misi hidup di bumi ini. Dan adalah tugas kita untuk mencarinya. Oleh karena itu kemampuan untuk memaknai hidup sangatlah penting. Karena, dengan begitu kita bisa mengartikan pengalaman-pengalaman hidup kita sebagai kepingan puzzle, bertanggung jawab terhadap hidup kita (alih-alih menyalahkan orang lain atau keadaan), dan pada akhirnya kita akan bisa melihat gambaran besarnya, yaitu misi hidup kita.
Makna hidup berbeda untuk setiap manusia, dan berbeda pula dari waktu ke waktu. Karena itu, kita tidak bisa merumuskan makna hidup secara umum.
Selepas dari kamp konsentrasi, Viktor Frankl melanjutkan profesinya sebagai psikolog dan merumuskan doktrin Logoterapi sebagai metode penyembuhan jiwa dengan cara membimbing jiwa tersebut menemukan makna hidup. Jika boleh saya artikan, dengan Logoterapi, orang “dipaksa” untuk berpikir dan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Mungkin ini adalah pendekatan “alam sadar” kalau boleh dibandingkan dengan hipnoterapi. Dari situ kita akan sadar bahwa apapun kondisi yang kita alami, itu adalah skenario terbaik dari Allah.
Itu intisari yang bisa saya tangkap dari buku ini. Memang akhir-akhir ini sepertinya issue-issue mental health (kesehatan mental) sedang populer. Banyak orang stress dan menjadi depresi. Sepertinya betul bahwa stress atau depresi adalah mekanisme manusia modern untuk berevolusi. Dulu, manusia purba hanya stress ketika bertemu hewan liar atau bencana alam. Tapi kita, saat menerima notifikasi email atau whatsapp saja sudah bisa stress. Hehe. Buku ini adalah salah satu rujukan yang bagus untuk memperbaiki pola pandang kita terhadap mental health. Kita perlu tahu bahwa menjadi health mentally tidak harus menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan. Karena kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti. Jangan takut saat tidak bahagia dan jangan malu saat kita tidak bahagia. Hal ini juga diutarakan di buku tersebut (halaman 165).
At the end of the day: Life to the fullest. Jangan terlalu mengkhawatirkan masa depan, jangan meratapi masa lalu. Syukur, sabar, ikhlas.
Permalink
Permalink