Ada satu obrolan menarik dengan adik terkecil saya yang sudah menjadi yang terbesar. Di beberapa bulan terakhir saya tidak menyadari bahwa kemampuan dia menyerap ilmu sangat cepat dan banyak buku-buku yang dilahapnya. Di lingkungan rumah kami bahkan dia menjadi semacam sumber referensi yang cukup diandalkan karena wawasannya. Favoritnya adalah membaca buku-buku motivasi dan investasi. Sepertinya dia sudah menjadi semacam financial planner dan tidak sadar memotivasi lingkungan sekitarnya, teman-teman dekatnya, termasuk saudara-saudara kami untuk memulai investasi.
Di obrolan kami saat itu (sambil menikmati gelatto massimo *iklan*), dia bercerita bahwa teman dan saudara kami ada yang akhirnya masuk ke crypto currency dan sudah mendapat potential gain yang cukup lumayan. Lalu mereka serta merta mengajak adik saya untuk mengikuti jejaknya karena yang membuat mereka terinspirasi untuk melek finansial adalah adik saya itu. Mereka berharap adik saya tidak “ketinggalan gerbong” untuk dapat cuan seperti yg mereka dapat. Tapi dengan santai adik saya tetap chill 😎 (eh, santai dan chill sama juga ya artinya, hehe).
Waktu saya tanya kenapa, dia bilang kalau dia sudah dapat gain nikmat/rezeki yang lain dalam waktu yang sama tanpa harus ikut masuk ke crypto. Saat itu memang kami sedang berliburan dimana dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk tiket, akomodasi, dll. Potential gain (masih potential, karena belum dicairkan) yang didapat temannya bisa jadi sama bahkan belum setara dengan kesempatan-kesempatan dan kemudahan yang dia dapat hingga saat ini. Kalau masalah ilmu yang dia bagikan, biarlah itu menjadi amal jariyah.
WOW! I’m a proud brother.
Sikap yang adik saya tunjukkan adalah sikap syukur nikmat dan percaya dengan takdir Allah. Memang tidak semua orang diberi anugrah untuk bisa mensyukuri nikmat. Kadang ada yang masih memiliki sikap “semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan” atau selalu melihat “rumput tetangga lebih hijau”. Itulah mengapa sangat penting untuk berdoa dan memahami (untuk muslim) surat Al Fatihah, dimana ada doa agar kita selalu ditunjukkan jalan orang-orang yang diberi nikmat. Kalau digali lebih dalam, ada makna batin lain dibalik “nikmat”. Jalan orang-orang yang diberi nikmat itu tidak melulu dalam bentuk kesenangan tapi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mampu menikmati sesuatu yang tidak ada /tidak diinginkan. Kalau ingin tahu lebih lanjut tentang itu, silahkan tonton Kajian Ihya Al Ghazali dari Ust. Kuswandani Yahdin tanggal 18 Februari 2021 (https://youtu.be/7dtoXtGzSyw).
Dalam bukunya “Dollar and Sense” karya Dan Ariely, dijelaskan salah satu sifat uang yang berupa/memiliki fungibility, yang artinya keberadaannya itu tergantikan dari satu uang dan uang lain. Namun kadang sikap manusia yang terlalu “Mental Accounting” membuat sifat uang tersebut berubah, tidak lagi fungible. Contohnya: Ada suatu kasus, kita sebut kondisi “A” dimana seseorang ingin menonton konser dan sudah membeli tiket di awal seharga $100. Di hari pertunjukan, dia kehilangan tiket tersebut. Dia dihadapkan pada pilihan membeli tiket pengganti seharga $100 atau pulang ke rumah. Dalam kondisi “A” ini, orang tersebut dan sebagian besar dari (mungkin) kita akan merasa bahwa membeli tiket adalah pilihan yang buruk. Dan akhirnya pada posisi tersebut, kita cenderung akan memilih pulang ketimbang “rugi” membayar tiket yang lebih mahal. Lalu, ada kondisi “B”, dimana seseorang mau menonton konser yang sama, dan saat dia sudah sampai di tempat penjualan tiket, dia mendapati bahwa uang $100 di dompetnya hilang. Untungnya, dia masih memiliki uang $100. Di kasus “B” ini, orang tersebut dan sebagian besar dari kita, akan cenderung memilih tetap membeli tiket. Sifat uang yang seharusnya dapat saling menggantikan, tidak berfungsi dalam kondisi-kondisi yang diilustrasikan di atas di karenakan adanya efek relativitas dari mental accounting ini. Padahal di kedua kasus, orang tersebut sama-sama kehilangan $200.
Nah dengan rezeki pun demikian. Kadang kita melihat orang lain seperti diberi kelimpahan rezeki yang banyak (dalam bentuk materi) sedangkan kita tidak. Namun, kita tidak menyadari, kita diberi rezeki yang sama dalam bentuk lain, misalnya, lingkungan yang baik, badan yang sehat, waktu yang luang. Ini penting sekali memahami konsep fungibility dalam rezeki ini sehingga kita dapat menjaga kacamata syukur kita tetap terpasang.
Mudah-mudahan kita selalu jadi orang yang mampu untuk bersyukur.
Quran Surat Ibrahim, Ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.