Sebagian surat-surat yang Ibu kirimkan sewaktu SMA
“Lakukan saja apa yang kamu inginkan, toh yang menjalani hidupmu kamu sendiri kan??”
Dulu saya sering mendengar kalimat-kalimat senada seperti kalimat di atas yang ditujukan terhadap siswa kelas 3 SMA saat “galau”‘ ingin menentukan kelanjutan sekolah: kuliah dimana dan jurusan apa? Dimana ada kasus kehendak pribadi bertentangan dengan apa yang diharapkan orangtua.
Sama seperti pelajar kelas 3 SMA pada umummnya, saya pun pernah mengalami masa untuk “memilih cabang” dari perjalanan hidup saya itu.
Sejak kecil saya bercita-cita berkarir di dunia militer, ingin menjadi seorang Jenderal. Itu tidak terlepas dari seringnya saya menonton film “Palagan Ambarawa” yang menceritakan perjuangan pasukan Jenderal Sudirman melawan penjajah. Saya pun banyak membaca buku-buku/komik kepahlawanan, baik pahlawan nasional maupun tokoh dunia. Saya pernah memiliki buku biografi Panglima Sudirman, komik pahlawan nasional: Jenderal Sudirman, Ahmad Yani, Wolter Mongonsidi, I Gusti Ngurah Rai; komik Napoleon Bonaparte, George Washington, Julius Caesar, dan komik-komik seri tokoh dunia terbitan Elex Media lainnya. Bagi saya buku-buku tersebut menghiasi imajinasi saya dan mengenalkan saya kepada dunia luar. Karena keinginan saya yang ingin jadi ‘jenderal’ itulah, akhirnya saat SMA saya bersekolah di sebuah sekolah asrama semi militer. Harapan saya, disana saya akan lebih matang secara fisik dan mental untuk masuk akademi TNI.
Di tahun terakhir masa SMA, tibalah saat-saat yang menentukan itu. Saat saya menghadapi sebuah cabang. Cabang yang baru terbentuk saat saya tahu bahwa orangtua ternyata tidak menginginkan saya untuk jadi tentara. Saya pun akhirnya tahu bahwa mereka mengizinkan saya bersekolah di sekolah asrama ini dengan harapan bahwa saya dapat “mencicipi” dunia militer. Apalagi ibu, beliau sangat keras menentang rencana saya ini, meskipun dari kecil ia tahu tentang jenderal-jenderal idola saya. Surat-surat dari ibu di tahun-tahun terakhir pun pasti menjurus untuk membujuk saya meninggalkan cita-cita saya itu. Wah…
“Lakukan saja apa yang kamu inginkan, toh yang menjalani hidupmu kamu sendiri kan??”
Kalimat prinsipil itu terngiang-ngiang lagi di telinga saya.
Memang sih…saya pernah mendengar cerita orang yang sukses karena gigih mengejar cita-citanya walaupun berselisih dengan orang tua. Tapi, bukankah Mozart bisa menjadi sukses karena didukung orangtuanya? Bukankah Wright Bersaudara menemukan bakat dan kreativitas mereka karena diajari ibunya? Napoleon, dalam kondisi Perancis yang carut-marut, mengikuti petunjuk orang tuanya bersekolah di sekolah militer. Bahkan Pak Habibie pun menuruti keinginan ibunya (berdasarkan wasiat ayahnya) untuk bersekolah di luar negeri.
“Feeling perempuan itu sangat kuat, terutama ibu. Lebih baik ikuti saja kemauan ibumu,” itulah yang diucapkan seorang teman saya yang membuat saya menarik nama saya dari daftar calon taruna/karbol Angkatan Udara.
Entah mengapa sejak saat itu, perasaan saya menjadi sangat plong, tenang, lebih fokus dalam belajar, dan semangat untuk mengejar cita-cita baru saya.
“Mengabdi pada negara tidak harus menjadi tentara,” itulah yang dikatakan orang tua saya. Mereka berharap saya mencontoh pengabdian pahlawan-pahlawan idola saya dengan cara yang lain. Dengan membangun negeri ini melalui penddidikan, melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Saat itu saya pun percaya bahwa apa yang diyakini Ibu terhadap saya adalah bagian dari skenario yang diatur oleh Sang Maha Kuasa. Ibu hanyalah perantara.
Selepas ujian nasional, tibalah saat saya mengikuti seleksi untuk masuk perguruan tinggi. Ibu saat itu sangat berharap agar saya dapat kembali ke kota kelahiran saya, Bandung. Saya mengerti bahwa ibu sangat merindukan saya. Dari belasan surat yang dikirim dari rumah semasa SMA, sebagian besar adalah tulisan Ibu. Ibu pun selalu menangis setiap memasak masakan kesukaan saya (yang saya ketahui kemudian). Namun saya masih berpikir bahwa anak laki-laki seharusnya terus merantau. Oleh karena itu, selain mendaftar ke salah satu PTN di Bandung, diam-diam saya mendaftar ke PTS di luar Bandung, salah satunya menyediakan full scholarship untuk hasil ujian masuk terbaik.
Saat itu, selain keinginan untuk tetap merantau, sebenarnya saya hanya mengikuti trend beberapa teman yang banyak daftar agar memiliki cadangan sekolah jika pilihan pertama gagal. Saat itu sebenarnya hanya saya yang khawatir, sedangkan Ibu yakin bahwa saya dapat diterima di PTN di Bandung. Beberapa waktu kemudian dalam rentang waktu yang berbeda, saya dinyatakan lolos ujian masuk di dua PTS, salah satunya mendapatkan beasiswa penuh.
Namun, melihat keyakinan Ibu terhadap saya dan dengan mempertimbangkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan orangtua untuk membayar uang jaminan untuk proses registrasi PTS tersebut, saat hari terakhir konfirmasi diambil atau tidaknya beasiswa di PTS, akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengambilnya. Laa haula walaa quwwata illa billah (tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dari Allah), saya, untuk kedua kalinya yakin terhadap feeling Ibu, yakin terhadap skenario yang diciptakan Yang Maha Kuasa.
Alhamdulillah, keyakinan Ibu benar. Atas izin-Nya saya pun bisa masuk ke PTN tersebut.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya semakin yakin terhadap kekuatan tulisan yang sering bertengger di badan-badan truk lintas Jawa: “Doa Ibu”. Doa yang tulus tanpa pamrih dari seorang wanita kepada anak yang sering membebaninya, membuatnya jengkel, membuatnya marah, sedih, lelah. Inilah perasaan yang belum bisa saya mengerti dari seorang Ibu.
Alhamdulillah, tidak seperti cerita dalam Please Look After Mom, Ibu masih bersama saya sekarang. Kekuatan doanya insya Allah membantu saya dalam setiap kayuhan dayung dalam mencapai pulau-pulau impian saya.
Ibu dan Saya
Epilog:
Mengenai “Lakukan saja apa yang kamu inginkan, toh yang menjalani hidupmu kamu sendiri kan??” dan orang-orang yang merasa berhasil karenanya, saya hanya bisa berkomentar bahwa mereka sebenarnya akan lebih berhasil bila bisa menyelaraskan impiannya dengan impian orangtuanya, terutama impian ibu. Mengutip bahasan Mas Ippho dalam 7 Keajaiban Rezeki, ibu merupakan salah satu bidadari yang bisa mempercepat sampainya doa dan impian kita ke langit 😀
:') kalimat terakhirnya, kak
nice post..setuju banget ghan,gw sering ngalamin juga.
@nanunotudah baca bukunya na?doain ya biar artikel ini menang *saya lagi ikut lomba ini nih:http://www.facebook.com/events/298455590180898/klo dapet juara 1 saya kasih bukunya.hehehe
@christineiya Tin ;)ternyata ada sesuatu banget dalam seorang IBU
beluummm. oke, saya doain menang biar dapet bukunya, kak! *ngarep
kebalikan dari lo, mungkin gue adalah contoh orang yang bener-bener menghidupi pilihan hidup gue sendiri, Ghan.. di saat ibu gue \”memilihkan\” sesuatu buat gue, gue sering end up di kondisi \”I don't like this\”. ketika keinginan ibu gue bertentangan dengan kata hati gue, it's screwed. ibu gue sih udah tahu banget, jadi sekarang ibu gue cuma bisa mendoakan gue selalu berhasil dengan apa yang gue pilih and here I am.. happy with my own choices and thanks to my mom's prayers, rasanya gue bisa bertahan menghadapi apa pun.
@alventurousat last, your mother support you, right? 😉
very touchy posting, ghani.. 🙂 semoga Allah memberikan kekuatan untuk berbakti penuh kepada orangtuamu yaaa.. amin