Hari ini saya mengalami beberapa perjalanan yang sangat berkesan.
Terus terang, saya sebenarnya bukan tipe orang pejalan-jalan, makanya sekalinya kukurilingan pasti banyak hal yang saya amati. Soalnya jarang-jarang ngalamin itu.
Ibu Aktivis
Perjalanan hari ini dimulai bersama PiPi, sepeda saya, menuju daerah PPR. Tepatnya Desa Mekarwangi. Daerah tepat di samping komplek PPR ITB (agak ke utara dikit). Saya ingin berkunjung ke rumah ketua Karang Taruna di sana. Wo…wo…ada urusan apa saya maen kunjung-kunjungan begini??
Jadi, ceritanya dimulai dari tahun lalu saat saya baru selesai ikut NLYC. Kami, para peserta, diharapkan dapat membuat sebuah program ‘pengabdian masyarakat’. Kelompok saya berencana mengadakan penyuluhan biopori. Nah, biopori yang kami rencanakan ini bertujuan untuk menambah kapasitas air tanah. Sehingga masyarakat di Bandung bisa berkecukupan dari segi pemanfaatan air tanah. Akhirnya saya mencari lokasi di daerah Bandung utara, dan bertemu dengan ketua Karang Taruna Desa Mekarwangi. Namanya Mas Topan. Mas Topan ini seorang wartawan merangkap aktivis bidang budaya-sejarah. Saya ketahui kemudian, ternyata memang keluarganya Mas Topan ini aktivis semua. Dan kiprah mereka semua berasal dari inspirasi dan motivasi dari ibunya.
Lalu, setelah dua kali datang ke rumahnya. Kami menyusun jadwal untuk penyuluhan biopori. Nah, setelah menyusun jadwal tersebut, saya konsultasi ke dosen dan menganalisis lagi mengenai tempat dan efektifitas bioporinya. Kemudian saya pun berkesimpulan bahwa pelaksanaan biopori di daerah tersebut tidak akan secara signifikan ‘menabung air’, karena memang biopori itu lebih efektif sebagai drainase di daerah yang sering tergenang. Penggunaan biopori di Desa Mekarwangi hanya akan mengurangi stabilitas lereng, akibat adanya aliran air bawah tanah (FYI: Desa Mekarwangi berada di antara lereng yang sudah gundul). Akhirnya saya pun membatalkan rencana penyuluhan tersebut, dengan melalui e-mail.
Entah apa yang saya pikirkan dulu. Membatalkan janji lewat email. Padahal datang langsung, seharusnya bisa. Nah, pikiran inilah yang sering memberatkan saya berbulan-bulan. Hingga akhirnya, hari ini saya memutuskan untuk bersilaturahmi lagi. Namun ternyata Mas Topan sedang bertugas di Sumbawa. Yang saya temui hanya ibunya. Seorang nenek-nenek.
Setelah saya mengutarakan tujuan kunjungan saya, dia kemudian bercerita.
Wuah…ternyata, ibu yang tadinya guru agama ini, wawasannya luas sekali! Dia bercerita tentang perpolitikan di Indonesia. Berita-berita up-to-date, bercerita kisahnya keliling Indonesia bersama suami untuk mengajar, bercerita bagaimana ia membesarkan anak-anaknya menjadi aktivis, bahkan salah satu anaknya adalah pembuat teks pidato SBY. Lalu ibu itu pun mulai memberi wejangan ke saya. Bagaimana tentang pentingnya aktif di organisasi. Mengasah karakter. Meniti karir menjadi politikus. Politikus? Ya…Ibu ini ternyata punya visi yang besar. Dia juga dulunya salah seorang yang pernah mengasuh Din Syamsudin loh. Ok banget kan si Ibu ini.
Alhamdulillah dari perjalanan pagi ini saya dapet banyak inspirasi.
Bandung Oke Banget Gitu Loch!
Dari rumahnya Mas Topan, saya pun kembali ke Kota Bandung. Naek PiPi, sambil dengerin beberapa lagu di HP. Salah satunya ‘It’s My Life’-nya Bon Jovi (SIAWARE effect nih.hehe…).
Sepanjang jalan saya mikir-mikir lagi tentang kota ini. Dari segi morfologi/bentang alamnya. Bandung ini oke banget. Dikelilingi gunung, punya danau, punya hutan, udaranya sejuk, orangnya ramah-ramah.
Yah, itu defaultnya sih. Kalau sekarang-sekarang mungkin ada beberapa yang berubah. Tapi saya yakin, suatu saat nanti KITA bisa kembali lagi ke kondisi default itu.
CFD
Kemudian saya pun masuk ke arena Car Free Day di Dago. Beruntung saat CFD untuk pertama kalinya dimulai, saya kebetulan sedang bersepeda di sana. Itu pun benar-benar saat percobaan CFD-nya. Saya merasakan kondisi yang aman, nyaman, tentram, banget lah. Udara seger, sejuk, semilir Dago bener-bener kerasa. Ok banget pokonya!
Tapi sekarang, CFD sudah seperti pasar. Bagaikan ‘Ship Follow the Line’, CFD menjadi objek tersendiri buat usaha-usaha komersil. Jadinya CFD pun sumpek dengan orang yang jualan. Bandung sebagai Kota Jasa pun terlihat di sini. Anyway, orang-orang memiliki public space baru, dan bisa berinteraksi di sana.
Kalau semua ruang publik di Bandung bisa ‘dipromosikan’ secara maksimal, mungkin kesumpekan CFD bisa berkurang. Bisa ngga ya?
Kondangan
Setelah bersepeda dengan PiPi, saya menuju Pusdai. Tentunya setelah mandi, ganti baju, dan nyisir-nyisir, hehe. Sebenernya, secara teknis, saya ngga kenal sama kedua mempelai. Tapi secara historis, dua-duanya alumni ITB, alumni SIAWARE, dan salah satunya adalah alumni Sipil. Yah, karena temen-temen SIAWARE ngajak saya, saya ikutan deh. :p
Sejak dulu (mmm…sejak kapan ya?), kayanya sejak saya dateng syukwis LSS untuk pertama kalinya, saya berprinsip kalau memenuhi undangan itu harus diusahakan banget. Kecuali memang ada hal-hal yang ngga mungkin kita tinggalkan. Prinsip saya sederhana, kalau saya ngga dateng ke undangan orang, mau ngga suatu saat nanti klo saya ngundang orang, pada ngga dateng??
Nah kira-kira seperti itulah. Dan kemudian saya merasa, undangan itu adalah ajang untuk berekreasi dan berinteraksi. Kayanya terdengar lebay ya? Berinteraksi? Harusnya kan sehari-hari juga bisa.
Heumh…akhirnya saya merasakan bagaimana menjadi orang yang 5 hari dalam seminggunya dihabiskan untuk kerja. Pagi sampai malam. Dan itu jelas membuat saya kesepian. Jadi, saya rasa acara-acara saat weekend semacam ini menjadi sangat penting. Buat nge-recharge semangat saya dan tetap menjaga saya sebagai makhluk sosial yang sebenarnya (bukan makhluk sosial maya soalnya).
Pergi Belanja
Hari ini saya sama Ibu berencana kukurilingan di daerah alun-alun. Nyari bahan buat bikin jas (kiw…kiw…). Tapi karena saya telat nyampe rumah, ditinggal deh. Saya pun nyusul pake angkot 01 tujuan Kebon Kalapa. Angkot ini adalah angkot penting bagi saya. Karena hanya angkot inilah yang lewat di deket rumah saya. Ada sih angkot Gedebage, tapi harus jalan dulu ke Jl. Reog. Karena sering pake angkot 01 ini, saya merasa memiliki ikatan batin (weiss…). Iya, bener sih. Ngeliat angkot Dago, Ledeng, Aceh, dsb. itu seperti orang asing. Tapi supir-supir angkot 01 ini bagaikan keluarga jauh buat saya.
Saya pun kadang miris, dulu waktu masih SD, karena SD saya di deket Kebon Kelapa (Jl. Sasakgantung — itu loh, SD terbaik di Bandung :D), saya selalu naek angkot. Saya masih ingat betul, saat itu saya sering ditolak naek oleh supir-supir angkot ini. Saya, dan pastinya hampir semua anak-anak sekolahan (SD & SMP sih utamanya) pasti menjadi penumpang kelas dua.
Kenapa?
Masih inget ga sih, dulu, kita (saya dan kamu – ya, kamu yang tinggal di Bandung dan sekarang usianya mirip-mirip kaya saya) dapet privilege khusus sebagai anak sekolahan. Dimana kalo bayar angkot atau bus, harganya khusus. Lebih murah dari ongkos orang dewasa. Itulah alesannya kenapa mang-mang angkot selalu me-marginal-kan saya dan anak-anak sebaya saya dulu.
Lah, sekarang??
Kasian ya, supir-supir angkot harus sikut-sikutan untuk berebut penumpang. Ngetem pun makin lama. Dengan penghasilan yang mungkin ngga banyak, tapi usaha yang harus dikeluarkan lebih banyak.
Saya ingin, suatu saat nanti, mengembalikan kejayaan supir-supir angkot. Supirnya ya, bukan angkotnya. Mungkin aja nanti ada moda transportasi yang lebih oke di Kota Bandung. Dan tenaga-tenaga supir ini dapat di-convert ke sana.
Ekonomi Bandung
Kata orang, perekonomian Bandung sedang menggeliat, hot, menggairahkan. Karena industri kreatifnya dan la…la…la… Tapi selama saya menyusuri trayek 01 dan bernostalgia waktu SD hari ini, saya merasakan kemirisan yang sangat. Jalan di sebelah pasar Ancol makin sempit gara-gara pasar tradisional udah berekspansi. Padahal pasar baru KAN UDAH DIBANGUN?? Asumsi sesaat saya: harga sewa di los pasar yang baru lebih mahal. Jadi pedagang lama tetap bertahan jualan di luar gedung. Tolong koreksi ya klo saya salah. Ckckck…
Saya pun nyampe di Yogya Kepatihan, terus ke King’s nyari kain. Sebelum ke tempat-tempat itu. Saya jalan di sepanjang Dalem Kaum. Daerah ini adalah daerah ‘kekuasaan’ saya dan temen-temen waktu SD dulu. Waduuuh…berubah banget. Jalan-jalan makin sempit karena PKL. Macet pula. Saya selalu membayangkan semua mobil motor itu ilang dan keganti jadi bus kota atau bahkan kereta subway! Bagian atas bumi cukup sebagai tempat buat beraktivitas primer.
Mmm…I wonder…sebenernya keuntungan mang-mang PKL dan pembuka lapak-lapak aksesoris itu berapa ya? Soalnya mereka jualan diantara sesama lapak berkomoditi sama.
Saya pun jadi inget, pas tadi pulang dari CFD ke rumah. Saya lewat jembatan Kosambi. Dulu setiap kali lewat sini, saya takut, dan minta digendong sama Ibu, sambil tutup mata. Nah, di sepanjang ‘jalan pintas’ dari Kosambi ke Gatsu ini, dipenuhi oleh mang-mang sol sapatu. Komoditinya sama. Dan suasana daerahnya sepi.
Jembatan Kosambi, sekarang suasananya kumuh
Saya membayangkan, suatu saat mereka dapet kesempatan kerja yang lebih baik dan penghasilan yang lebih oke.
Sama seperti mang becak pun, saya ingin melihat mereka berpenghasilan lebih banyak. Mungkin di convert jadi pekerja konstruksi ya…
Jadi Walikota Bandung
Hari ini saya keliling sebagian Bandung. Nge-cling-cling-in objek yang saya lihat. Hehe. Ngerti maksudnya ga?
Saat saya melihat kondisi-kondisi di atas, saya memejamkan mata dan membayangkan gambaran di masa datang yang lebih baik. Contohnya, kaya kemacetan di Bandung, saya cling-in, macet pun ilang dan tiba-tiba ada gemuruh kereta bawah tanah di bawah jalan.
Dan…
cling!
Suatu saat saya bersepeda di hari Minggu, diantara warga Bandung, dan saya pake kaos bertuliskan: Aing Walikota Bandung!
(NB: nyari sepatu ukuran 44 susahnya minta ampun!! -__-‘ )
padat juga kegiatan di hari minggunya..sok atuh Ghan, jangan cuman jadi hasidu aja:D
alhamdulillah masih bisa berkegiatan kang.amin.amin.amin.Lagi merintis nih kang 😀
@ kang muy: hasidu teh apa kang?@ ghani: diajak bukan berarti diundang menurut saya mah, apalagi ga kenal. heheu.terus mang-mang yang jualan di pinggir jalan bukan (hanya) karena los di dalem gedung lebih mahal, tapi juga karena faktor kemudahan bertransaksi, ga adanya penegakkan peraturan, langganan udah banyak, konsumen juga ga keberatan beli di situ. jadi kalo udah jadi win-win solution kenapa harus ribet? social problem never solved by a single solution. #sotoyberopini# 😀
@ aul:klo kamu nikah,trus ada tamu tak diundang yang datang, tapi ngedoain kamu. Ga nolak kan?Btw, yang tentang 'undangan' itu beda kasus (coba baca lagi), ga berhubungan sama yang nikah kemaren.Meskipun begitu, kemarin itu kelompok kami emang diajak sama temen deketnya mempelai. Sekalian silaturahmi SIAWARE.Jadinya pas foto-foto, kita pun ikutan :)Buat yang pasar, mungkin alasan-alasan kamu lebih tepat ya. Soalnya saya juga belum pernah mempelajari masalah sosial sampai sejauh itu. Kayanya kita beda memandang masalahnya, saya lebih pake hati dan intuisi saat itu. Dan komentar saya seperti itu.Semoga aja kisah saya ini bisa nyumbang inspirasi buat kamu buat nyari 'another' solution 😀
Wow lanjutkan mimpinya gan! Btw, mun maneh jd walikota, urang dijadikeun naon? Heuu.. teu ketang.Sy agak kurang setuju dgn pernyataan kamu, \”klo kamu nikah,trus ada tamu tak diundang yang datang, tapi ngedoain kamu. Ga nolak kan?\” Memang ga nolak, tapi sebagai tamu (yg tak diundang) dia jg harus punya adab. Punten.Btw, naon bedana blog ieu jeung nu di Tumblr gan?
@Ijal:Naonnya?Engkelah,ningali situasi & kompetensi di masa mendatang Oia,saya mau meluruskan lagi deh masalah undangan2 nikah yang sama Aul sempet disinggung juga di atas.Jadi kasusnya mungkin seperti, misalnya, ada alumni LSS yang nikah. Terus ngundang anak LSS.Nah, menurut Ijal kumaha?Kita anak LSS ga kenal nih. Datang ga?Terus ada kasus lagi nih.Ada kakak kelas saya nikah. Kami saling kenal.Tapi dia ga ngundang saya.Sedangkan temen-temen lain diundang.Gimana nih dateng ga?Ayo sharing pendapatnya.—Klo di blog ini isinya rada serius & serius.Klo di tumblr bener2 curahan/ekspresi hati.hehe
@aul & ijal:Anyway,terimakasih buat pendapatnya.Akan saya pertimbangkan. Semoga bisa jadi pencerahan buat saya.