Cerita Penjual Jagung Bakar

Sedang fokus-fokusnya mengerjakan tugas baja, tiba-tiba…

“Jaguuung…
Jaguuung bakaaaar…”
Suara seorang laki-laki tua memecahkan keheningan malam. Sumber suara itu melintas di depan rumah kami, lalu perlahan-lahan mulai mengecil, menjauh. Namun, entah kenapa saya tiba-tiba beranjak dari tempat belajar, bilang sama ibu mau beli jagung bakar, lalu mengejar sumber suara tersebut.

“Mang, meser jagong…”
“Oh, sabaraha jang?”
-belum saya jawab-
“Bumina nu mana?”
“Eta nu di pengkolan, nu tembok bodas”

Dari percakapan di atas ada beberapa informasi yang bisa kita dapat:
-saya mau beli jagung bakar
-si penjual sudah berjalan cukup jauh dari rumah saya
-dia berharap saya membeli banyak, karena ngeliat saya rela mengejar dia dengan jarak sejauh itu


Saya pun kembali ke rumah diikuti si emang itu. Sampai di rumah:
“Neng, mau jagong?”
“Ngga.”
“Ade, mau?”
“Enggak.”
“Kalo Ibu, mau jagung ngga?”
“Ngga”
waaaaa…sugan teh, pada mau. Walaupun saya sebagai pembeli dan memiliki bargaining position yang tinggi, jadi asa ga enak juga euy ka si mang jagong. Yasudahlah.
Akhirnya, bener juga, penjual jagung tersebut nawarin buat ngabisin dagangannya. Ada enam jagung yang tersisa. Akhirnya, dengan beberapa pertimbangan yang datang dari hati, saya memutuskan beli empat jagung seharga Rp. 6000,00. Terus, adik-adik saya pada keluar, bukan mau mesen, tapi mau nonton si emang ngebakar jagung. Lalu, adik saya yang paling besar, yang lagi UN SMP, ngobrol dengan penjual jagung tersebut. Saya sendiri masuk ke dalam rumah.
Adik saya pun masuk juga setelah beberapa lama. Dia bercerita:
“A, si emang kasian tau…”
“Kenapa gitu?”
“Katanya teh…(bla…bla..bla)”
Dari percakapan tadi, saya pun tahu klo si emang membawa jagungnya itu (asli) dari Lembang. Dia dapat dari anak-anaknya yang tinggal di sana dan dia jual di sini (daerah Bandung Tengah agak selatan). Bukan anaknya yang mengantar jagung-jagung tersebut, tapi dia sendiri yang berangkat ke Lembang. Dan, hari ini, sejak pukul 4 sore, dia menjajakan jagung yang ia akui jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Kenapa sedikit? Katanya malu, soalnya jagung yang ini kebetulan kecil-kecil, jadi dia jual sedikit saja.
Hmmm…
Asa malu sama diri sendiri. Ternyata kita bisa banyak belajar dari lingkungan di sekitar kita. Banyak sekali. Seperti contoh di atas. Mungkin sebagian orang ada yang berpendapat, klo hal tersebut adalah kewajaran, ada orang yang susah, ada orang yang senang. Tapi, bagi saya sendiri, suka ada yang “bergejolak” di hati klo denger-denger cerita seperti ini. Melihat contoh nyata sebuah kerja keras, kesabaran, dan ketangguhan seorang manusia dalam menghadapi kehidupannya.
Sama halnya dengan sebuah contoh lain, waktu saya dan Ibu beli sate tahu di belokan Reog, Turangga. Ada seorang kakek-kakek yang berjualan baso tahu dari Cicadas (rumahnya) hingga Talaga Bodas, dan transit malam harinya di daerah Reog. Betapa jauhnya jarak yang ia tempuh. Lalu, setelah ibu ngobrol lebih jauh lagi, kami tahu ternyata si kakek memiliki anak-anak yang (saya simpulkan) sudah mapan dan logikanya bisa menghidupi si kakek. Lalu kenapa si kakek masih berjualan baso tahu dengan medan sejauh itu? Dia menjawab dengan simpel, “Jika kita masih bisa bergerak dan berusaha, kenapa harus diam? Rezeki itu harus kita cari, ini yang namanya perjuangan” (kata-kata ini saya rekonstruksi ulang tanpa menghilangkan makna, mengingat kejadiannya sudah lama).

“Jika kita masih bisa bergerak dan berusaha, kenapa harus diam? Rezeki itu harus kita cari, ini yang namanya perjuangan”


Cerita-cerita di atas bagi saya cukup memberikan beberapa kesimpulan:
1. Bersyukur, alhamdulillah kondisi saya tidak sesulit yang dialami orang-orang tersebut.
2. Kerja keras, diperlukan agar dapat mengatasi segala macam tantangan dalam hidup ini. Bisa jadi dengan kondisi kita yang lebih baik dari orang-orang tersebut, ternyata Allah menyiapkan tantangan yang jauh lebih besar bagi kita.
3. Berprinsip, harus dimiliki, agar bisa bertahan dalam perjuangan.
Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi kita dan bisa mengubah ke arah yang lebih baik lagi. Amiin.
Oia, akhirnya adik-adik saya tergoda juga buat makan jagung bakar itu..Huh!

2 Comments on "Cerita Penjual Jagung Bakar"


  1. uh, sedih ghan…mengingat selama ini aku selalu difasilitasi oleh orang tua, dan gak pernah merasakan kesusahan…alhamdulillah banget deh…huhuhuhuhu

    Reply

  2. wah,nis,sepikiran kita…kadang2 sy mau juga dapet keadaan susah,tapi kita jgn sampe kepikiran kaya gitu…bersyukur&lakuin aja yg terbaik yg bisa kita lakuin…saya sering baca biografi orang2 terkenal,trus dapet kesimpulan: semua orang besar pasti pernah mengalami kesulitan yang hebat dalam hidupnya…kita ga usah ngarep dapet kesulitan hebat deh kyny,tapi tetep sabar& itu tadi bersyukur+kerja yg terbaik…semoga saya pun bisa demikian..hehe

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *