Engineering for Life: Projecting Our Life

Kepikiran bikin tulisan ini waktu lagi bengong-bengong alias ngelamun alias terpana tak berkutik di depan laptop di lab. Mektan, mikirin caranya bikin model yang bener.

Waktu itu saya keinget pengalaman ngerjain tugas besar nge-desain bandara/lapangan terbang. Prosesnya itu, mulai dari nyari data-data jumlah penumpang dan kargo. Desain fasilitas sisi darat (gedung terminal, tempat parkir, jalur akses ke bandara). Desain fasilitas sisi udara ( taxiway, apron) & nganalisis windrose * buat nyari arah runway yang cocok. Serta fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.

Ngomong-ngomong soal desain/perancangan, ada proses yang namanya proyeksi. Proyeksi secara umum artinya memperkirakan. Dalam proses perancangan bandara ini pun dilakukan proyeksi terhadap jumlah penumpang dan kargo untuk beberapa tahun ke depan, sehingga infrastruktur (bandara) yang kita rancang masih bisa beroperasi dengan kapasitas tahun rencana tersebut. Proyeksi dilakukan berdasarkan rencana usia penggunaan bandara tersebut. Semakin sedikit umur rencana, maka hasil proyeksi tidak terlalu jauh dengan jumlah saat ini. Namun jika kita merencanakan jangka waktu penggunaan yang panjang, tentu hasil proyeksi akan jauh lebih besar. Disamping usia bandara yang panjang, konsekuensi yang muncul adalah biaya dan usaha untuk mewujudkannya menjadi sangat besar.

Bandara Soekarno Hatta

Tiba-tiba pikiran saya melayang lagi ke laptop. Model cantik yang ditunggu-tunggu masih belum keluar juga. Trus saya mikir status saya sebagai mahasiswa tingkat 4,…upss…tingkat 4++ maksudnya, yang sebentar lagi bakal menghadapi bulan Ramadhan (haha, mulai ga nyambung ya?). Yap2. Saya mau mengaitkan kondisi tingkat 4 dan kualitas ibadah. Dulu, pamong SMA saya pernah bilang: “Wah, ini kelas 3 pasti pada rajin ke mesjid ya. Ngga kaya kelas 1 atau kelas 2. Eh, tapi setelah lulus apa masih bertahan?.”

Sindiran itu, saat itu, memang tepat buat saya. Saya waktu itu mikir, bener juga ya, pas udah kelas 3, mau lulus, banyak banget orang-orang yang menambah kualitas & kuantitas ibadahnya. Tapi pas udah lulus, kondisinya suka balik lagi kaya sebelum itu. Dulu waktu SMP pun, saya kurang lebih seperti itu. Kelas 1 & 2 mah masih standar2 aja ibadahnya. Kelas 3 rajin banget. Eeeh, masuk SMA biasa lagi. Tapi setelah menyandang predikat kelas 3, ibadahnya rajin lagi.

Kesimpulan pengalaman saya itu, di tiap fase terakhir sekolah merupakan momentum dimana kualitas & kuantitas ibadah mencapai puncaknya. Entah itu dikarenakan dampak positif dari proses pembentukan diri yang baik atau semata-mata biar “bisa lulus dengan lancar”.

Jika ada orang yang memiliki frame berpikir seperti itu, jelas terlihat bahwa proyeksi dia untuk kehidupannya sangat pendek (saya pernah mengalaminya). Diibaratkan seperti merancang bandara yang hanya berumur 3 atau 4 tahun dan harus dibangun/diperbaiki tiap periode tersebut. Mental pun tidak harus disiapkan bener-bener, soalnya mpasti mikir gini: “Ntar,di tingkat akhir juga pasti bakal rajin dengan sendirinya”. Niat untuk istiqomah dalam kualitas ibadah tersebut hanya bertahan untuk 3 atau 4 tahun. Sekarang, di tingkat terakhir fase pendidikan tinggi ini sepertinya sudah tidak akan ada lagi momentum-momentum untuk jadi “rajin mendadak” seperti masa-masa sekolah dulu. Setelah ini, kita (saya sih sebenernya) dituntut untuk terus ningkatin kualitas & kuantitas ibadah.

Alhamdulillah, sebentar lagi kita (insya Allah) dipertemukan dengan bulan Ramadhan. Buat yang belum lulus, semoga momentum Ramadhan ini menjadi akselerator kualitas & kuantitas ibadah kita. Jika kita diibaratkan sedang merencanakan sebuah bandara yang usia rencananya tak terhingga, maka dibutuhkan sumberdaya yang besar untuk membangun fasilitas darat dan udara yang harus memiliki kapasitas sangat, sangat, sangat besaaaar banget. Nah, momentum Ramadhan nanti adalah sumberdaya tersebut. Kita tempa diri kita di bulan itu dan hasilnya akan kita pakai sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan setelah lulus.

Jadi, terlepas dari panjang-pendeknya umur manusia, mari kita proyeksikan diri kita sejauh-jauhnya!

*)windrose=diagram yang berisi 16 arah mata angin, dimana terdapat nilai probabilitas tiupan angin dengan kecepatan tertentu pada tiap-tiap arah mata angin tersebut.

Oia, saya sengaja bikin artikel-artikel dengan judul “Engineering for Life” ini dengan tujuan ngenalin ilmu / istilah-istilah Teknik Sipil & ngebuktiin klo kita bisa belajar apapun dari sumber apapun (nah loh, ngerti ga?). Karena kehidupan ini pada hakikatnya merupakan sebuah “sekolah besar” (dikutip dari: Rizal Dwi Prayogo).

Check it out!
Engineering for Life (Part 1)
Engineering for Life (Part 2)

2 Comments on "Engineering for Life: Projecting Our Life"


  1. dalam ilmu statistik, selain proyeksi harus ada uji korelasi dulu. saya ga lihat korelasi yang cukup baik antara proyeksi dengan kualitas ibadah. sepertinya variabelnya kurang jadi ga bisa mendefinisikan fungsi dengan cukup baik. hehe.*mabok pasca-TA transportasi yang statistik banget*

    Reply

  2. @aul:kamu cukup jeli juga ya…secara kasat mata emang hubungannya jauh/alias kurang bisa dilogikakan.Tapi, ada penjelasan lain nih:klo kita mau menghadapi ramadhan, kita bakal siap2 biar istiqomah & kuat melewati bulan itu kan?Persiapannya itu bisa diibaratin kita lagi memproyeksikan diri hingga akhir bulan ramadhan.Nah,setelah lulus, perjuangan itu masih panjang,sampai ke akhir hayat (asumsi panjang-pendeknya umur ga dimasukin). Untuk itu kita butuh persiapan yang hebat untuk memproyeksikan hidup kita sejauh itu. Nah, persiapannya itu bisa menggunakan bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan datang.Semoga bermanfaat.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *