Engineering: Antara Filosofi dan Prestise (1)

Suasana ‘kotak’ saya sesaat sebelum libur Idul Adha (sebenernya hari-hari biasa juga sama aja sih)
Sudah cukup lama saya mikirin tema tentang tulisan ini. Baru terbersit lagi untuk membahasnya setelah minggu lalu diminta presentasi tentang Teknik Sipil di SMA Alfa Centauri. Menyenangkan juga ya, berbicara di depan anak-anak SMA, lumayanlah buat tabungan ‘jam terbang’ ngajar. Sebelum saya menyiapkan presentasi itu, saya cari-cari dulu video tentang Teknik Sipil dari YouTube :

Saya pun menjelaskan, apa itu ‘teknik’ dan ‘Teknik Sipil’ ke anak-anak SMA itu…
Setelah memberi penjelasan tiba-tiba muncul juga pertanyaan lain bagi diri saya sendiri: Sebenernya untuk apa sih saya ada di bidang engineering ini?
Okelah, kita bungkus dulu kalimat terakhir saya itu. Kita mulai dulu dari sini:
Sebenernya apa itu ilmu teknik/ rekayasa/ engineering?

Ini hasil muara pemikiran saya dari beberapa sumber yang mengiringi perjalanan akademis saya selama ini.
Menurut saya, inti dari engineering itu adalah adding value and reducing cost.
Menambah nilai dan mengurangi biaya. Maksudnya?
Tahu Parthenon? Kuil besar yang dibangun untuk Dewi Athena tersebut dibuat dari batu-batu besar yang dipahat sedemikian indahnya dan disusun sehingga membentuk struktur kuil di Acropolis. Coba perhatikan, ahli-ahli bangunan saat itu hanya mengandalkan kekuatan tekan dari struktur-struktur batu tersebut. Mereka tidak memperhitungkan skema ‘tarik’ dari elemen struktur, karena memang material yang ada bukanlah beton bertulang seperti saat ini, melainkan batu yang bersifat ‘getas’. Akibatnya, struktur-struktur tersebut dibangun dengan dimensi yang besar-besar untuk mengakomodasi penyaluran beban secara aksial.

Parthenon, dibangun sejak abad ke-5 S.M. (gambar diambil dari Microsoft Encarta)
Sekarang, anggaplah Parthenon belum pernah dibangun, dan saat ini Pemerintah Yunani ingin membangun kuil pemujaan tersebut dengan menugaskan sekelompok ahli bangunan (yang sekarang disebut civil engineer/ insinyur sipil). Dengan kemajuan ilmu rekayasa selama ini, tentu mereka akan mendesain Parthenon yang sama megahnya dengan material yang berbeda yang akan lebih murah. Jika saya menjadi bagian dari tim engineer tersebut, saya akan membuat Parthenon seperti ini:
Modified Parthenon 😉
Dengan fungsi dan tampilan yang sama, saya dapat membuat Parthenon yang lebih kuat dan murah dengan rangka baja. Ornamen-ornamen yang ada dapat dibuat dari fiber atau gipsum yang lebih murah. Disinilah ilmu engineering bekerja. Menghitung sebuah struktur dengan teori-teori yang sudah berkembang saat ini, sehingga menghasilkan desain yang maksimum dengan biaya yang optimum. 😀
Sama halnya dengan Tembok Cina.
Orang zaman dulu bisa juga tuh bikin struktur yang gede-gede, bertahan pula sampai saat ini…
Sekarang coba bayangkan kalau di Cina saat itu, ilmu teknik sipil sudah berkembang seperti sekarang. Mungkin mereka tidak perlu membangun tembok yang sangat besar dan memakan waktu dan jumlah pekerja yang banyak, tapi mereka cukup membangun tembok seperti yang dibangun Israel di wilayah Palestina, untuk menghalau bangsa Mongol.
Great Wall (gambar diambil dari Microsoft Encarta)
Tembok pemisah Israel – Palestina di tepi Barat (gambar diambil dari sini)
Contoh lain…
Dari bidang teknik elektro…
Saya sempat blogwalking dan baca artikel menarik: Indonesia butuh 2% Entrepreneur (dan 98% Engineer). Disana diceritakan, untuk membuat 1 buah handphone yang harganya 2 juta rupiah, bahan-bahan baku yang dibutuhkan (plastik, tembaga, silikon, dll.) hanya berharga 20 ribu rupiah saja!
Jelas terlihat di sini, ada added value terhadap bahan-bahan baku tersebut. Dan itu dilakukan oleh engineer dengan ilmu engineeringnya.
Sudah mengerti kan sekarang, apa itu engineering?
Dengan filosofi adding value and reducing cost, seorang engineer dituntut untuk selalu mencari solusi atas permasalahan yang dia hadapi.
Hampir dua tahun lalu saya pernah mengunjungi seorang pakar gempa, Pak Engkon Kertapati, di kantornya di Kompleks Geologi Jl. Supratman, Bandung. Beliau seorang geologis, alumni Teknik Geologi Unpad, namun sering bekerja bersama ahli-ahli Teknik Sipil di ITB. Saat itu beliau menjelaskan perbedaan seorang saintis dan insinyur. Saat meneliti tentang kelayakan pembangunan subway di Jakarta, seorang saintis (geologis) menemukan bahwa struktur tanah di sana tidak cocok dari segi daya dukung dan rawan terhadap bencana jika dibangun subway. Namun dari sisi seorang insinyur, mereka harus menemukan cara bagaimana caranya agar subway tersebut bisa dibangun.
Sekarang, sudah mengerti kan, siapa itu engineer?
Untuk menutup sesi satu tentang judul tulisan ini, saya mau menuliskan apa yang pernah saya pikirkan tentang seorang engineer. Ini murni hasil pemikiran saya loh…gatau ya kalau ada yang pernah berkata sama 😀

“For an engineer, there is nothing impossible, there is just not feasible” – Ghani

2 Comments on "Engineering: Antara Filosofi dan Prestise (1)"


  1. klo dulu ilmu udah berkembang pesat,, ga akan jadi great juga.. yang bikin geleng2 kepala kan ga masuk akalnya itu,.. berarti udah pas atuh ya, salah satu kerjaan saya itu feasibility study,, he6

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *