Saat mendengar “Negeri Paman Sam,” pikiran saya otomatis tertuju ke Amerika Serikat, saking seringnya mendengar julukan itu. Namun saat mendengar “Negeri Paman Ho,” bagi saya julukan itu terasa asing dan tidak sadar bahwa itu merujuk kepada salah satu tetangga ASEAN kita, Vietnam. Paman Ho adalah nama panggilan untuk Ho Chi Minh, presiden pertama Vietnam. Menurut teman Vietnam saya, sebutan “Paman Ho” itu merupakan pilihan Ho Chi Minh sendiri. Ia lebih senang rakyatnya memanggil Paman Ho dibanding Presiden Ho Chi Minh. Sekarang Ho Chi Minh menjadi nama kota terbesar di Vietnam, Ho Chi Minh City (HCMC), yang dulunya bernama Saigon.
Dikarenakan penugasan dari kantor, tahun ini saya berkesempatan untuk menjalani Ramadhan di kota tersebut. Sama seperti kondisi di negara yang bukan mayoritas muslim lainnya, suasana Ramadhan di Vietnam mungkin tidak ‘semeriah’ di Indonesia. Namun, bisa melihat dan merasakan Ramadhan di negara yang berbeda ini tentunya merupakan pengalaman yang menarik bagi saya.
Tarawih pertama di Vietnam dimulai pada malam tanggal 28 Juli. Keputusan ini didasarkan pada hasil pengamatan dan musyawarah panitia hilal di Vietnam. Tapi ada rekan juga yang bilang kalau keputusan ini merujuk hasil pengamatan di Malaysia. Di malam pertama Ramadhan, masjid utama HCMC di Dong Du Street tiba-tiba penuh dengan jamaah. Hampir seluruh shaf terisi oleh muslim dari Vietnam dan juga muslim dari negara lain. Lokasi masjid yang strategis di pusat kota dan dikelilingi hotel-hotel juga menjadi faktor yang memudahkan ekspatriat atau tamu-tamu muslim untuk datang ke masjid.
Sahur dan Berbuka
Di Vietnam, terkecuali bagi orang-orang yang pernah berinteraksi dengan muslim, Islam dan bulan Ramadhan merupakan sesuatu yang asing. Sehingga perlu trik khusus jika kita berkunjung ke Vietnam dan ingin melakukan ibadah Ramadhan dengan nyaman. Salah satu diantaranya ialah menyiasati sahur. Untuk yang tinggal di apartemen atau rumah, mungkin mempersiapkan sahur tidak akan sulit karena bisa memasak masakan sendiri. Namun bagi saya yang masih tinggal di hotel, saya biasanya menyiapkan makanan instan seperti sereal dan mi instan. Untungnya di HCMC banyak produk-produk Indonesia dan Malaysia yang tersertifikasi halal, jadi tidak perlu khawatir. Trik lainnya adalah meminta early breakfast pada staf hotel. Biasanya hotel menyediakan free breakfast untuk tamu-tamunya, dan di sebagian hotel mereka juga menyediakan layanan khusus untuk sarapan lebih awal. Saya tinggal di hotel jepang dan mereka bersedia mengantar onigiri sebelum jam 4 pagi atau pada malam sebelumnya. Teman saya juga ada yang meminta diantarkan jus ke kamarnya hotelnya tiap dini hari. Jika ada hotel yang tidak bersedia melayani early breakfast, kita pun masih bisa memesan makanan untuk sahur dari restoran-restoran halal (biasanya restoran Malaysia) yang ada di sekitar Distrik 1 HCMC. Mereka bisa melayani pesan-antar.
Saat berbuka (iftar) biasanya masjid-masjid menyediakan makanan berbuka. Hampir sama dengan suasana di Indonesia, terkecuali menunya. Di sini bubur adalah menu yang wajib ada di samping buah-buahan dan kurma.
Buka Bersama Masyarakat Indonesia di Ho Chi Minh City
Jujur, saya merasa asing saat pertama kali menginjakkan kaki di HCMC. Meskipun dari segi fisik, orang Indonesia itu mirip orang Vietnam, tapi dari budaya dan bahasa sangat berbeda jauh. Dan hal pertama yang saya cari di sini adalah teman se-tanah air. Alhamdulillah akhirnya saya menemukan komunitas Indonesia yang rata-rata bekerja di HCMC dan wilayah sekitarnya. Di bulan Ramadhan ini pun, beberapa rekan Indonesia dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di HCMC bersedia menjadi host buka bersama. Bagi orang-orang yang berada di perantauan, kegiatan kumpul seperti ini bisa mengobati rasa rindu tanah air.
|
Buka puasa dan silaturahmi di Wisma Konjen. Alhamdulillah bisa mencicipi masakan Indonesia lagi 😀 |
Safari Ramadhan
Karena ini Ramadhan pertama saya di HCMC, untuk kali pertama pula saya mengikuti kegiatan Safari Ramadhan yang digagas oleh beberapa rekan di Masyarakat Indonesia (Masyindo) HCMC. Tiap tahun komunitas muslim Indonesia di HCMC mengumpulkan infak untuk disalurkan ke masjid-masjid di beberapa distrik di HCMC. Umumnya masjid-masjid yang dikunjungi adalah yang di luar Distrik 1 dan jarang terjangkau ekspat-ekspat muslim yang biasanya beraktifitas di Distik 1. Lokasi masjid-masjid ini beragam, ada yang di dekat jalan besar, tapi ada juga yang terletak di dalam perkampungan-perkampungan padat. Yang menarik bagi saya, saat mengunjungi salah satu masjid di kampung yang padat, suasananya mengingatkan saya pada daerah padat di Bandung seperti Kopo dan Cicadas. Seolah-olah ada bagian dari Indonesia yang dipindah ke Vietnam ini. Yang biasanya saya melihat banyak toko-toko dengan tulisan dalam bahasa Vietnam dan orang-orangnya berpakaian “vietnam”, saat masuk perkampungan ini, saya melihat banyak warung halal dan toko pakaian muslim yang sebagian ditulis dengan bahasa Melayu. Orang-orang yang saya temui pun banyak yang memakai baju koko, sarung, dan peci. Mirip sekali dengan Indonesia, apalagi muslim di sini kebanyakan adalah suku bangsa Cham yang secara fisik sama dengan orang Indonesia (rata-rata berkulit sawo matang).
|
Menu iftar (buka puasa) di masjid utama Ho Chi Minh City, di Dong Du Street, Distrik 1 |
|
|
|
Masjid Cholon di Distrik 5. Masjid yang cukup modern arsitekturnya. |
|
Masjid di Jalan Nguyen van Troi, arah menuju bandara Tan Son Nhat |
|
|
Menuju masjid |
|
Menunggu iftar |
|
Iftar bersama |
|
Buku-buku referensi agama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Rata-rata ustadz-ustadz di sini belajar Islam di dua negara tersebut. Karena selain sumbernya banyak, bahasanya pun “dekat” dengan mereka. |
|
Masjid yang hampir tidak dikenali jika dilihat dari luar |
|
Menyerahkan infak kepada pengurus masjid |
|
Kunjungan ke Masjid Niamatul Islamiyah |
|
Salah satu pengumuman Ramadhan di Masjid. Ditulis dalam bahasa Vietnam dan Indonesia |
|
PPT. Para Pencari Ta’jil 😉 |
|
Lingkungan muslim di Vietnam |
|
Makan bubur dari ember :p |
|
Tim Safari Ramadhan |
|
Tipikal menu iftar di masjid-masjid di Vietnam. Menu bubur selalu kami temui di tiap masjid yang dikunjungi. |
|
Silaturahmi dengan pengurus masjid 1 |
|
Silaturahmi dengan pengurus masjid2 |
|
Pasukan “santri” |
|
Dua anak Vietnam yang asik menikmati iftarnya |
|
Persiapan iftar |
|
|
|
|
Pengurus dan sesepuh masjid yang antusias mengantar kepulangan kami meskipun hujan sudah turun |
Di masjid yang lain, saya sangat terharu saat komunitas muslim yang menetap di sekitar masjid tersebut menyambut kami. Mereka terlihat sangat senang sampai-sampai memaksa kami untuk ikut berbuka di sana (saat itu kami ada agenda untuk mengunjungi masjid lain). Akhirnya minggu depannya kami kembali ke sana untuk berbuka bersama. Selain menyalurkan infak, kami juga terkadang membeli minuman untuk buka bersama, dan tak lupa berfoto bersama.
Dengan mengikuti kegiatan safari Ramadhan ini saya bisa melihat sisi lain Vietnam. Sisi lain yang menyingkap kehidupan saudara-saudara muslim di sana. Ternyata, meskipun pada awalnya saya menyangka akan susah menjadi muslim di Vietnam, karena susah makanan halal, pemerintah yang sekuler, dan banyaknya “fitnah” di jalan-jalan, setelah melihat kehidupan muslim di sini, saya mulai merasa nyaman. Ibadah Ramadhan pun terasa lebih menyenangkan, karena suasana yang didapat mirip-mirip dengan di Indonesia. Dan ternyata selidik punya selidik Bangsa Champa di Vietnam memiliki hubungan yang erat dengan Indonesia. Jika kita melihat sejarah wali songo, Sunan Kudus itu ternyata adalah orang Champa. Jadi safari ramadhan ini bisa pula menjadi salah satu wahana silaturahmi “saudara jauh” sekaligus sebagai sarana mengenalkan Indonesia. Mengenalkan dengan apa? Ya, dengan apapun yang kami bawa 😉 Dengan kunjungan ini pun kami berharap bisa mengenalkan bahwa orang Indonesia itu friendly dan tidak apatis. Mudah-mudahan kegiatan yang baik ini bisa berlanjut terus di masa mendatang. Amiiin.
(Sumber foto: Sebagian besar sumbangan Mas Bagas-Masyindo dan koleksi pribadi)