Menjajal Rute Pasundan Ride 2021

Sabtu minggu lalu seharusnya diadakan event Pasundan Ride. Namun sayangnya mendekati hari-H, panitia membatalkan acara. Mungkin dikarenakan kondisi pandemi yang masih mengkhawatirkan. Beberapa peserta dari luar Bandung yang sebagian besar sudah booking penginapan, banyak yang lanjut gowes dia hari-H nya secara mandiri. Sebetulnya saya sudah mengamati kegiatan ini sejak dulu di Vietnam. Sebelumnya namanya adalah Etape Pasundan. Acara bersepeda (yang agak kompetitif menurut saya) dengan rute “mengelilingi” Bandung. Dahulu rute yang dipakai adalah rute lomba sepeda di Sea Games. Melihat kondisi alam yang sangat memanjakan mata, saya pun berkeinginan suatu saat nanti bisa ikut gowes melalui rute ini.

Untuk acara serupa di tahun ini, kebetulan juga saya tidak kebagian tiket karena kuotanya langsung habis di hari pengmuman acara Pasundan Ride ini. Tapi kebetulan saat saya cuti di Bandung minggu lalu, akhirnya saya bergabung dengan senior saya di Sipil (Bang Manto & Kang Edwin) untuk ikut menjajal rute Pasundan Ride ini.

Rute ini tergolong long ride bagi saya. Terakhir kali long ride adalah di akhir Desember 2019 dengan rute Jakarta-Bandung. Namun saat itu saya hanya berhasil mencapai Cimahi karena jatuh di tengah jalan dan request immediate extraction. Hehe. Untuk rute Pasundan Ride ini, estimasi jaraknya lebih pendek dari rute Jakarta-Bandung yang pernah saya lalui, jadi saya merasa bisa untuk menuntaskannya.

Kami memulai perjalanan dengan berkumpul dulu di Balkot, seberang Taman Vanda. Perjalanan dimulai jam 5:45 dini hari. Rutenya adalah: Bandung – Ujung Berung – Cileunyi – Jatinangor – Tanjungsari (dan Tanjung-Tanjung lainnya…yang termasuk ke Kab. Sumedang) – Subang – Ciater – Tangkubanperahu.

Sampai setelah Jatinangor, everything seems so good… berikut foto-fotonya.

Meeting point di deket Balai Kota
Masih senyum di daerah Cileunyi
“Sudah jangan ke Jatinangor, dia sudah ada yang punya…”
Masih bertiga di Rancakalong
Melewati proyek tol Cisumdawu Sumedang

Tapi, melewati Tanjung2an (iya, banyak tempat yang dimulai dengan nama “Tanjung”), jalannya sudah mulai menanjak dengan gradien yang lumayan. Saya yang dibilang hanya bermodal tekad tanpa latihan yang memadai, mulai kewalahan. Dua senior sudah jauh di depan. Boleh dibilang saya menyusul dengan memanfaatkan momentum turunan untuk menambah kecepatan lalu bertahan sampai puncak hingga kondisi flat atau gowesable. Memasuki daerah Subang, otot kaki saya sudah mulai susah diajak kompromi, bagaikan mesin mobil yang ngga bisa narik lagi. Waahh…sungguh kondisi yang membuat saya banyak istighfar dan bersholawat. Untuk tetap bertahan, secara fisik, saya mulai makan nutrisi (kurma dan coklat yang saya bawa). Lalu beberapa kali saya berhenti: minum kelapa muda di warung, coklat dan refill air dan pocari sweat di Indomaret/ Alfamart. Saya pun sempat kram kaki gara-gara melakukan gerakan tiba-tiba saat roda ban saya melewati pasir. Ini pengalaman yang sangat berharga. Roda road bike itu halus permukaanya, jadi gripnya hanya efektif di arah aksial dan permukaan yang kaku. Saat ia dihadapkan di permukaan yang tidak rata dan tidak kaku (pasiran/kerikil), resultan gayanya tidak akan searah sumbu roda lagi, sehingga kondisi ini lah yang akan membuat rodanya nyorodot. Hehe.

Dari rute yang naik turun pun saya juga mengambil hikmah bahwa kehidupan ini tidak akan selamanya enak atau tidak akan selamanya buruk. Semua pasti akan ada naik turunnya, silih berganti. Saat saya dihadapkan dengan tanjakan yang cukup susah, sungguh sangat tersiksa. Tapi saat turunan, ditambah dengan angin yang menyejukkan dan pemandangn yang memanjakan mata, agaknya kesulitan-kesulitan sebelumnya saat tanjakan, sudah terlupakan. Cukup menambah pelajaran hidup bagi saya, seperti tulisan yang terukir di cincin Nabi Daud atas prakarsa anaknya, Nabi Sulaiman, “This too shall pass” (dan ini pun akan berlalu). Itu untuk mengingatkan Nabi Daud, saat senang akan berlalu, saat susah juga akan berlalu. Jadi perlu diingat dengan syukur dan sabar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 13:00 saat saya berada di sekitaran Ciater. Saat itu kondisi sudah parah, ngga bisa gowes lagi, dan terpaksa saya matador (manggih tanjakan, dorong) terus karena yang saya temui tanjakan tanpa henti hingga Tangkubanperahu (belum melewati Tanjakan Emen yang legendaris). Akhirnya dengan pertimbangan yang matang, setelah berjalan cukup jauh, saya memanggil emergency extraction sama seperti kasus di Cimahi dulu. Akhirnya adik-adik saya datang menjemput pakai mobil.

Lesson learned: untuk bisa menjajal tanjakan, perbanyaklah latihan, bukan meeting 🙂

Menunggu “extraction” sambil ngindomie 🙂
Resume perjalanan kali ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *