Beberapa hari lalu ada obrolan menarik di kantor yang mentrigger saya menulis artikel ini. Jika kita bertemu teman atau saudara, yang biasa kita lakukan adalah menanyakan kabarnya. Kata sapaan, “Apa kabar?”, atau “How are you“, biasanya memiliki template jawaban berupa, “baik-baik”, atau, “I‘m fine, thank you. And you?” (ini sih template banget kelas conversation Bahasa Inggris :)).
Apakah orang yang menjawab dengan jawaban seperti itu benar-benar dalam kondisi baik? Semoga iya. Tapi obrolan kami berlanjut dengan bagaimana kalau seseorang (bisa kita yang mengalami, atau orang lain) selalu dalam kondisi baik? Sedangkan orang di sekitarnya sepertinya ada yang mendapatkan kesulitan hidup atau “terlihat” mendapat cobaan. Seperti ada perasaan “resah” mengapa kita selalu dikasih yang enak, tapi orang lain dapat yang ngga enak.
Kita perlu ingat kembali bahwa cobaan itu akan selalu menimpa manusia. Sudah sunatullah bahwa manusia itu akan selalu dicoba. Bentuk cobaan pun bermacam-macam. Dilimpahi berbagai macam kemudahan juga merupakan cobaan. Apa yang di”coba”? Ujian apa yang sedang kita terima dalam kondisi tersebut? Salah satunya adalah ujian apakah kita bersyukur akan kemudahan tersebut. Jadi saat kita dilimpahi kemudahan, rasa enak, kebaikan-kebaikan, yang perlu kita lakukan adalah bersyukur untuk mengikat nikmat-nikmat tersebut. Malahan, kita harus hati-hati saat kita merasakan kenikmatan, tapi malah membuat kita tergelincir menjauh dari jalan yang benar.
Setiap nikmat yang tidak mendekatkan engkau kepada Allah hakikatnya adalah petaka
Abu Hazim, Al-Mujalasah wa Jawahirul ‘Ilm, hlm 203 (diambil dari buku “Sabar & Ridha Resep Hidup Damai dan Bahagia)
Lalu bagaimana dengan sakit? Sakit atau kondisi yang tidak mengenakkan yang kita alami jelas merupakaan cobaan juga. Sifatnya lebih “tersurat” daripada nikmat yang relatif “tersirat” (tersembunyi). Namun sebetulnya dalam sakit, ada proses “cleansing”. Dimana dosa-dosa manusia sedang digugurkan oleh Allah SWT. Jika kita merubah sudut pandang sedikit, sakit ini pun bisa berubah menjadi nikmat. Ini serupa dengan yang pernah saya post di sini: Menjemput nikmat dengan syukur dan sabar – Ghani’s Blog (masrurghani.com)
Saya kebetulan mengalami sakit dengan selang 2 minggu di bulan ini. Pada satu titik saya merasa bersyukur diberi sakit ini karena sesuatu hal.
Jadi kalau dipikir-pikir, sebetulnya sakit, nikmat, dan cobaan itu hal yang sama. Satu level. Interchangeable, bisa saling menggantikan . Cobaan sudah pasti akan kita terima. Bentuknya bisa berupa sakit atau nikmat. Saat diberi sakit, mungkin itu adalah nikmat. Saat diberi nikmat, jangan lupa, itu adalah cobaan, jika tergelincir, kita bisa sakit.
Hal itu juga terkait dengan satu makna ayat di Al-Quran yang tiap hari disebut dalam solat:
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
(QS Al-Fatihah:7)
Di ayat tersebut dan satu ayat sebelumnya, kita meminta ditunjukkan jalan orang-orang yang diberi nikmat. Ini bisa juga dimaknai dengan kita berharap untuk mampu menikmati sesuatu yang tidak diinginkan (seperti sakit, kesulitan, dsb.).
Wallahualam bishawwab.
Blessing in disguise
Blessing in disguise? Hehe jd mending yg mana
iya semuanya blessing, mau sakit/senang. Yang pasti keduanya akan datang silih berganti dalam hidup.
Bersama kesulitan ada kemudahan juga yah.
konsepnya sama kaya ‘bersama kesulitan ada kemudahan’ yah