Comeback di Pocari Sweat Run Indonesia 2022

Akhir bulan Juli lalu untuk pertama kalinya (lagi) setelah 3 tahun, saya kembali berlari dengan jarak 21 km (Half Marathon/HM) di acara Pocari Run di Bandung. Pendaftaran untuk acara ini sudah dibuka di bulan Maret. Awalnya pendaftaran ditujukan untuk lari virtual dengan disertai pilihan untuk daftar ballot untuk dapat mengikuti offline race. Namun setelah berapa lama, diumumkan juga peserta yang lolos “upgrade” ke offline event. Saya sempet berpikir kalau ini strategi marketing karena sepertinya semuanya lolos (ngga ada kuota). Dan orang yang lolos cenderung happy dan tanpa pikir panjang bayar biaya tambahan buat offline event tersebut. Temen-temen saya yang daftar ballot dapet slot semua soalnya.

Sama seperti acara Pocari Run terakhir yang saya ikuti di tahun 2019, tempat start dan finish nya ada di Gedung Sate. Namun yang berbeda di tahun ini, rute lari HM ini lewat daerah rumah saya di Turangga. Waktu start nya pun lebih siang sedikit yang artinya masih ada cukup waktu untuk salat Subuh dengan tenang di masjid. Saya ingat tahun 2019 itu waktunya cukup mepet. Tapi masih jauh lebih mending dibanding waktu saya ikut HM di Ho Chi Minh City dan FM di Singapore. Saya salat di halaman apartemen dan di kolong jalan layang.

Untuk persiapan HM kali ini saya tidak terlalu mengikuti program. Hanya lari kadang-kadang dengan teman saya, Mas Bobby dan Mas Eko, di Jakarta. Mungkin paling jauh kita lari 12 km.

Race Day

Di hari-H saya memutuskan untuk salat Subuh di Masjid Istiqomah lalu jalan ke venue yang tidak terlalu jauh dari sana. Dari awal start saya lari bareng Mas Eko. Saat itu kita lari antara pace 7:30 dan 7:45 menit per km. Parameternya, kita sempet ngejar pacer dengan balon 7:45.

Enaknya saat race, kita tidak perlu pusing-pusing membawa air untuk hidrasi. Water station yang disediakan cukup banyak dengan rentang yang acceptable. Mungkin ini juga hasil riset panitia. Belajar dari pengalaman race-race sebelumnya, untuk race kali ini saya berhenti tiap water station untuk sekedar membasahi kerongkongan. Di awal mula saya ikut event lari di HCMC, saya biasanya pantang untuk berhenti di km-km awal hanya untuk tetap mempertahankan pace lari saya. Terus setiap ketemu water station, saya minum habis semua air atau isotonik di cup. Alhasil perut makin kembung. Saya dapat pelajaran berharga dari pengalaman – pengalaman sebelumnya dan mengubah strategi di race pertama di 2022 ini.

Baru juga di km pertama, saya merasakan sakit bagian atas diafragma kanan. Padahal saat itu pace nya tidak terlalu kencang dan heart rate (HR) saya masih ada di Zone 2 atau 3 (aerobik). Akhirnya saya ingat metode pernapasan perut untuk menghilangkan sakit. Alhamdulillah berhasil! Rasa sakitnya perlahan-lahan hilang dan saya bisa berlari lagi dengan nyaman.

Rute larinya mengikuti rute angkot 01. Di Turangga saya juga bertemu suporter saya yang udah nunggu setelah saya kasih tau live position via wa. Lalu belok ke Lingkar Selatan, Buah Batu, Karapitan, Asia Afrika, ABC, Braga, Stasiun Bandung, Pajajaran, Riau, Istiqomah, akhirnya menuju Supratman lagi. Setelah melewati Masjid Istiqomah, saya sempat jalan sebentar karena otot di atas lutut mendadak nyut2an. Btw, nama ototnya ini “Vastus Medialis.” Di momen inilah saya merenungi pentingnya persiapan sebelum lari.

Vastus medialis. Saya sempet ikut kursus pijet di Udemy, dapet gambar ini 

Alhamdulillah setelah 2 jam 32 menit 55 detik berlari saya bisa menuntaskan HM ini. Average pace tercatat di 7’14” per km. Kegiatan dilanjutkan dengan popotoan serta makan-makan 🙂

Saigoneers
Post-run breakfast

Epilog

PSRI 2022 ini adalah acara yang saya khususkan untuk jadi momentum menemukan kembali alasan untuk berlari. Dulu saya mengikuti event lari pertama saya di sini : https://masrurghani.com/2008/03/24/lari-semangat-kejuangan/ dan lari sebetulnya memang pernah jadi bagian dari rutinitas saya dulu. Hingga akhirnya saya menjadi pelari pamrih, pelari ikut-ikutan, dan sempat jadi pelari yang benci berlari. Tapi dari momen ini saya menemukan makna bahwa berlari adalah bagian dari rasa syukur saya atas anugrah fisik yang saya dapat. Berlari juga bisa jadi sarana kontemplasi diri, sama seperti saat long ride. Tiap langkah bisa diubah jadi tasbih, apalagi saat saya mengalami kondisi sulit yang membuat hampir menyerah. Insya Allah mulai sekarang saya sudah bisa menemukan lagi alasan saya perlu lari. Saatnya #comebackstronger !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *