Cerita Pesepeda: Gowel Saba Baduy 2022

Sudah hampir sebulan sejak acara yang dimaksud, akhirnya saya ngga tahan untuk menuliskan pengalaman saya bersepeda sejauh 85 km dari Bogor ke Ciboleger bulan lalu. Ciboleger ini bisa dibilang adalah gerbang masuk area Baduy. Sepertinya dulu saya mengenal Baduy dari pelajaran Basa Sunda (Bahasa Sunda) dan Geografi di SD dan SMP. Masyarakat dan kawasan Baduy memiliki identitas yang unik. Masyarakat Baduy terkenal sangat menjaga lingkungannya dari pengaruh luar. Mereka sangat konservatif dalam menjaga lingkungan dan budayanya dengan melarang pengaruh asing, termasuk perkembangan teknologi, masuk ke kehidupan sehari-hari mereka. Ada hal positif dari prinsip hidup seperti itu, yaitu kondisi alam tempat mereka tinggal tetap terjaga dengan asri. Dan keunikan budayanya ini menambah kekayaan Bangsa Indonesia. Saya juga sempat bercerita dengan bangga kepada teman Jepang saya tentang masyarakat Baduy. Teman saya itu sudah mengerti bahwa keanekaragaman budaya di Indonesia sangat unik dan merupakan bentuk kekayaan yang intangible. Dari yang saya tahu, masyarakat Baduy ini dulunya adalah penduduk kerajaan Pajajaran yang memilih untuk tinggal di pedalaman jauh dari pusat kerajaan.

Akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke daerah Baduy (Ciboleger) setelah diajak teman untuk mengikuti acara “Gowel Saba Baduy 2022.” Gowel ini (katanya) adalah Bahasa Sunda-nya gowes. Tapi saya belum sempat dapat verifikasi yang tepat. Karena selama ini saya hanya tahu “ngaboseh” yang berarti bersepeda, dalam Bahasa Sunda. Saba, artinya mengunjungi (kata yang sama seperti “nyaba ka kota” = berkunjung ke kota). Jadi acara ini intinya adalah bersepeda mengunjungi Baduy. Singkat cerita, saya pun daftar untuk acara yang diselenggarakan oleh komunitas Bike to Work Bogor dan Dispora Bogor ini. Saya sudah keburu excited untuk bersepeda dengan jalur yang baru. Sayangya, mendekati hari-H, beberapa teman saya berhalangan untuk ikut acaranya. Karena sudah daftar dan menerima jersey, ibaratnya sudah mengibarkan layar kapal, saya tetap melanjutkan niat untuk berangkat. Jadilah di tanggal 22 Januari 2022 dini hari sebelum subuh, saya berangkat dari Jakarta. Sepeda saya loading ke dalam mobil. Karena titik start-nya dari Lotte Grosir Bogor, saya ikut parkir di depan rumah Pak Awan, kawan sekaligus guru saya yang pernah sama-sama tinggal di Vietnam dulu. Kebetulan rumahnya dekat dengan titik start tersebut.

Foto-foto malam sebelum gowes

Setelah ikut salat Subuh di pos satpam komplek Yasmin, saya mulai unloading sepeda dari mobil dan meluncur menuju lokasi start. Di tengah jalan kebetulan saya bertemu dua om-om yang tinggal di daerah komplek Yasmin dan akan ikut acara gowel juga. Saya baru sadar saat bersepeda ini, orang-orang memanggil satu sama lain dengan “om.” Mungkin sebutan yang cukup netral (tidak menuakan dan tidak menganggap muda) untuk lawan bicara yang belum dikenal. Alhamdulillah, karena pertemuan di tengah jalan itu, saya diajak melewati jalan pintas menuju titik start.

Sekitar kurang dari jam 6, para peserta sudah berkumpul di halaman parkir Lotte Grosir Bogor. Karena single fighter, saya memanfaatkan metode motoin dan difotoin untuk dapet jepretan-jepretan di awal acara. Sebelum memulai gowes, kami berdoa dulu dan menyanyikan Indoensia Raya. Ini acara sepedaan jarak jauh pertama saya yang dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sangat menyentuh. Selain karena lagu Indonesia Raya itu sendiri (lirik dan melodinya yang menggetarkan jiwa), perjalanan kali ini pun akan saya maknai dengan khusus. Sebuah perjalanan mengenal tanah tempat saya tinggal, mengenal orang-orang baru, budaya baru, mensyukuri alam yang akan saya lihat dan lalui, dan lebih khusus lagi perjalanan sendirian untuk mengenal diri saya lebih dalam lagi. Saat kita bersepeda, meskipun berbarengan dengan teman-teman dan orang-orang lain, ada momen dimana kita akan merasa ini adalah perjuangan seorang diri. Dan karena pergerakan kita dibantu sepeda, kita bisa merasakan sebuah momen “me time” yang bisa kita manfaatkan untuk merenung. Hmm…tentang “aspek spriritual” ini kayanya perlu lanjut di tulisan berikutnya deh.

Meluncur keluar dari Lotte, saya langsung kebut aja karena ngga punya beban untuk menunggu orang lain. Karena masih berada di jalanan kota yang relatif datar, kondisi tersebut menguntungkan buat saya dengan road bike. Satu per satu saya susul seolah-seolah kaya lagi balapan (haha, sombong…astaghfirullah). Tapi sebetulnya ini event gowes santai sih. Target saya untuk sampai lebih cepat lebih karena saya harus cepat kembali ke Bogor dan menyimpan energi untuk menyetir pulang ke Jakarta.

Jauh sebelum hari-H dan saat saya memutuskan untuk daftar acara ini, saya kira rute dari Bogor ke Ciboleger relatif datar. Karena saya merasa tidak ada gunung tinggi kalau lihat di peta. Lalu dari obrolan-obrolan di grup, ada opsi untuk pulang pergi selain opsi menginap di Baduy. Tadinya saya memilih menginap di Baduy untuk merasakan pengalaman baru, namun tidak jadi saya lakukan. Dengan bayangan “bisa pulang-pergi”, saya kira rute ini memang datar. Tapi ternyata tidak Ferguso… yang datar hanya saat masih berada di Kota Bogor, setelah masuk ke Kabupaten Bogor dan seterusnya menuju Provinsi Banten, ternyata elevasinya naik-turun. Untungnya saat tahun baru lalu saya sempat gowes nostalgia ke Tangkuban Perahu. Walaupun otot-otot kaki saya meringis dan jiwa saya bergetar karena medan tanjakan yang luar biasa (rasa tanjakannya sudah saya lupakan 10 tahun lalu), itu ternyata membantu badan saya untuk lebih siap di acara gowes ke Baduy ini. Tidak lupa sebelum berangkat ke Bogor saya sarapan dulu. Yes, sarapan sebelum bersepeda itu penting banget. Saya dulu sempat hampir black out di Kuningan saat menjajal rute dalam kota Jakarta dengan kecepatan yang dibilang kekebutan. Ternyata olahraga sepeda cukup berbeda dengan lari. Sebelum lari sebaiknya kita tidak makan terlalu banyak. Tapi sebelum bersepeda, terutama sebelum long ride, usahakan sarapan yang cukup. Ini membantu kondisi badan kita agar tetap fit selama bersepeda.

Hujan-hujanan dulu di awal

Selama perjalanan menuju Ciboleger saya menikmati pemandangan yang bervariasi, dari mulai lengangnya jalanan kota, macetnya jalur sempit di jalan provinsi, hamparan bukit-bukit berwarna biru di kejauhan, hijaunya hutan-hutan, hamparan sawah, kilauan air di beberapa sungai yang dilewati (yup, banyak banget sungainya), hingga terik matahari dan ganasnya tanjakan. Kami juga sempat diguyur hujan deras di awal-awal. Tapi dibalik kesusahan selalu ada kemudahan. Turunan pun sangat melegakan dan menghibur untuk saya. Seolah-seolah menjadi penawar dari kesulitan yang sudah dialami. Ada momen dimana saya berada di jalan yang lurus menuju perbukitan yang saling bertumpuk-tumpuk di latar belakang. Saya membayangkan bagaimana sulitnya leluhur-leluhur masyarakat Baduy dulu untuk mencari tempat menetap yang jauh dari ibukota kerajaan. Dan saya merasakan sebuah kewajaran dengan kondisi naik-turun di jalur yang akan mengantar kepada wilayah yang cukup aman dan nyaman untuk ditinggali hingga bergenerasi-generasi setelahnya. Pilihan untuk menetap di tempat yang sulit dijangkau ini kemungkinan adalah pilihan yang baik dari leluhur Baduy untuk meminimalisir kemudahan dijangkau oleh musuh atau ancaman-ancaman di jaman dulu.

Foto saat huhujanan di tengah kebun sawit. Saya baru tau juga ada perkebunan sawit di daerah sini. Kirain cuman ada di Pulau Sumatera. Kebun ini punya PTPN.

Selama perjalanan itu pula saya melalui landmark-landmark yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya: Kampus IPB di Dramaga, pertigaan menuju Prasasti Ciaruteun (yang sebelumnya hanya saya ketahui dari replikanya di Museum Sri Baduga), dan gapura perbatasan Jawa Barat – Banten. Di gapura, sekaligus cek poin pertama (setelah 50 km!) itulah saya ketemu Om Aly. Akhirnya setelah itu ada temen juga buat melanjutkan perjalanan. Memang betul, saat kita punya rekan seperjalanan, jauhnya jarak yang ditempuh dan letihnya perjalanan terasa berkurang.

Akhirnya gowes berkelompok. If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.

Total lama perjalanan (termasuk istirahat) sampai tiba di titik finish di Terminal Ciboleger adalah 7 jam. Kami tiba di titik akhir sekitar jam 1 siang. Sampai di Ciboleger, saya terkesima, karena ada Alfamart & Indomaret. Bayangan saya kurang tepat, ternyata daerah Baduy yang saya kunjungi bahkan belum dikatakan Baduy Luar. Saya memutuskan kembali ke Bogor dengan menggunakan pick-up (loading). Lumayan juga butuh waktu menunggu pick-up yang kosong. Beberapa peserta yang sampai lebih awal sudah menggunakan mobil-mobil pick-up yang ada, sehingga kami menunggu giliran mobil-mobil tersebut kembali dari Bogor.

Yeay.. finished!

Prediksi untuk sampai kembali ke Bogor sebelum matahari tenggelam juga meleset. Ternyata macet parah selalu terjadi sebelum masuk ke Kota Bogor. Kami terhambat lama di daerah Dramaga. Sampai di Kota Bogor, saya kembali memasukkan sepeda ke mobil, lalu beristirahat sejenak dan ngobrol-ngobrol dengan Pak Awan. Akhirnya saya mengerahkan sisa-sisa tenaga saya untuk tetap fokus menyetir kembali ke Ibu Kota. Weekend yang sangat well spent! Akhirnya saya merasakan kembali sensasi long-ride di jalur yang sama sekali baru. Pengalaman Gowel Saba Baduy ini mematri sebuah kenangan di pikiran saya dan sekaligus menggali lagi makna hidup yang saya renungi sepanjang jalan.

Resume perjalanan dari Strava

Mau lihat dokumentasi video nya? Bisa cek link Youtube di bawah ini. Ada saya di menit ke 5:30 hehe:

1 Comment on "Cerita Pesepeda: Gowel Saba Baduy 2022"


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *