Di awal bulan Ramadhan ini saya membaca buku berjudul “Shalat Sufistik” karya Prof. Dr. Nasarudin Umar, imam besar Masjid Istiqlal dan mantan wakil menteri agama RI 2012-2014. Kenapa saya bisa mendapatkan buku ini? Mungkin ini pun salah satu jalan yang Allah tunjukkan karena secara tidak sengaja saya melihat postingan rekomendasi buku ini di grup whatsapp dan entah kenapa saya merasa perlu membelinya. Buku ini membedah banyak rahasia dalam shalat termasuk persiapan shalat (wudhu, tayamum). Tentunya pembedahan dilakukan berdasarkan sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan, dari Al-Quran, hadis, dan pemikiran-pemikiran ulama.
Saya merasakan buku ini datang di saat yang tepat saat saya berusaha healing. Karena, pembahasan-pembahasan tentang makna gerakan dan bacaan wudhu dan shalat ini betul-betul mengungkapkan bahwa ritual ini adalah ritual batin. Karena, pada dasarnya kita manusia ini bukan hanya sekadar jasad. Kita pun adalah jiwa.
Sebagai contoh, saat kita berwudhu dengan menggunakan air, air tersebut berfungsi untuk mencuci dan meluruhkan dosa-dosa kita. Bisa juga kita “pakai” untuk membuang emosi-emosi negatif. Lalu makna gerakan mengangkat tangan saat takbiratul ihram, itu melambangkan kepasrahan kita terhadap Allah. Kita pasrahkan seluruh beban kita kepada-Nya. Juga saat gerakan sujud, jika kita amati posisi kita saat itu bagaikan kendi air yg sedang menuangkan atau membuang isinya. Posisi itu dapat kita maknai sebagai sarana bagi kita untuk membuang residu-residu luka batin dan meminta Allah mengisinya dengan sesuatu yang lebih “tinggi”. Saat telapak tangan saya menyentuh lantai sujud, saya berusaha untuk grounding, mentransfer emosi-emosi negatif (marah, sedih, sakit hati) kepada lantai tersebut. Memintanya untuk menyerap dan membuang jauh-jauh.
Sebetulnya konsep ini dijelaskan juga oleh David Hawkins sebagai konsep pelepasan/Letting Go. Kita perlu memasrahkan dan mengaharap Yang Maha Tinggi menolong kita. Konsep makna shalat seperti ini pun mungkin duluuuu sekali pernah saya dapatkan, tapi masih berupa “knowledge.” Sekarang terasa lebih bermakna bagi saya ditengah kebutuhan saya untuk healing.
Setelah mengetahui ilmu ini pun, saya juga semakin sadar bahwa waktu shalat adalah waktu saya untuk “slowing down.” Karena sepertinya agak susah untuk meminta libur secara sengaja kepada bos saya. Tapi selama ini saya tidak menyadari bahwa yang Maha Bos lebih tahu kebutuhan saya, untuk slow down 5x sehari. Saya menjadi sadar dan menjadi butuh untuk shalat tepat waktu. Setiap gerakan dan bacaan shalat menjadi sarana saya untuk sembuh. Shalat sekarang terasa lebih sophisticated untuk saya.
Permalink
Permalink