“Membangun jiwa jadi pemimpin,
usaha keras tak pernah berhenti,
melatih diri yakinkan hati,
demi esok cerah gembira…”
PKPS 8: Hurip Sunda !
Penyelenggaraan PKPS 8 di lingkungan militer di Pusdikbekang (Pusat Pendidikan Perbekalan dan Angkutan) Cimahi ini kembali mengingatkan saya dengan suasana pendidikan di SMA TN. Selama empat hari pertama kami tinggal di barak untuk materi indoor. Saya pun bernostalgia lagi makan dengan ompreng, tidur di barak, dan mandi di ‘bak besar’ . Untungnya di kamar mandinya ada tambahan sekat, walaupun tidak ada pintunya. Waduh, klo kejadian mandi bareng itu terulang lagi, ntar istri saya dapet apa dong?? Untungnya ga terjadi. Tiap subuh pasti orang-orang (peserta) balapan untuk mandi di wc masjid. Kontras dengan pikiran orang lain, saya melakukan mandi ‘ninja’ di kamar mandi barak. Akhirnya selama di Pusdikbekang, kejadian mandi bareng tidak terulang lagi. Fiuuh, untunglah.
Menimba Ilmu
Saya pernah bercerita tentang pengalaman saya di NLYC 2010 salah satunya ada filosofi tentang “Gelas Kosong”. Sebelum menerima ilmu, kita harus memosisikan diri kita sebagai gelas kosong. Artinya kita harus merendahkan hati, menghilangkan egoisme, melarutkan keangkuhan, dan membuka pikiran kita terhadap ilmu-ilmu yang akan kita terima. Insya Allah dengan begitu, kucuran ilmu akan kita dapatkan dan masuk ke gelas pengetahuan kita.
Hari Pertama
Pembukaan PKPS 8 dihadiri oleh elemen sipil, militer, dan pemerintahan. Suasana ini mengingatkan saya bahwa kemajuan Indonesia dan Jawa Barat khususnya tidak lepas dari peran masing-masing elemen. Saya bersyukur bisa bertemu dengan teman-teman yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Saya yakin perbedaan itu sangat diperlukan untuk saling mengisi dalam membangun tanah air ini ke depannya.
Materi indoor pertama disampaikan oleh Pa Rieza D. Dienaputra, dosen sejarah UNPAD. Beliau membawakan materi “Mengenal Sejarah Sunda”. Disini saya mendapatkan pencerahan pertama tentang kesundaan. Sunda tidak hanya terbatas pada keturunan, namun juga sosial budayanya. Orang yang memiliki leluhur dari daerah lain adalah juga “urang Sunda” saat dia peduli dan menjunjung kebudayaan Sunda. Dari beliau juga saya diingatkan bahwa kemajemukan bangsa Indonesia adalah mutlak. Hal ini sudah dipikirkan jauh-jauh oleh para pelopor bangsa. Dalam Sumpah Pemuda, poin 1 dan 2 tentang tanah air dan bangsa diawali dengan kata”…mengaku…”, sedangkan poin bahasa, diawali dengan kata “…menjunjung…”. Hal ini membuktikan bahwa kebhinekaan merupakan identitas bangsa Indonesia. Dan untuk mempersatukannya digunakan bahasa persatuan yang harus kita junjung tinggi.
Sumpah Pemuda:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Beliau mengungkapkan banyak tentang sejarah Sunda, salah satunya menurut penelitian beliau, Prabu Siliwangi yang selama ini dianggap sebagai raja Sunda sebenarnya hanyalah tokoh sastra yang merepresentasikan tiga raja Sunda, termasuk di dalamnya adalah Sri Baduga Maharaja.
Materi berikutnya adalah tentang Kesundaan oleh Pa Hidayat Suryalaga, atau biasa dipanggil abah Surya. Tokoh Sunda yang satu ini sudah sepuh tapi masih energik dan berjiwa muda. Saya jadi teringat dengan Pa Ahmad Mansur Suryanegara, dosen UNPAD yang menulis buku Api Sejarah. Kedua orang itu dari segi usia tidak lagi muda tapi masih memiliki passion yang tinggi dalam bidang yang ditekuninya.
Di materi ini akhirnya persepsi saya tentang kesundaan menjadi jelas. Sunda itu tidak bisa dianggap hanya sebagai suku bangsa, tapi merupakan estetika hidup. Hmmm…estetika hidup? Bukankah sebagai seorang muslim, pedoman hidup kita adalah Al-Quran? Ya, menurut saya, estetika hidup (Sunda) ini adalah nilai lokal yang mengacu pada Al-Quran. Menurut Abah Surya, ada 6 tatakrama manusia Sunda:
- Moral manusia kepada Tuhan (akidah, ibadah , syariah, muamalah)
- Moral manusia kepada pribadinya (IQ, EQ, SQ, AQ–>Actionality Quotient, atau kinerja seseorang saat bekerja)
- Moral manusia kepada lainnya (kesadaran berada dalam lingkungan yang multi religi, multi etnisitas, dan multi kultural)
- Moral manusia kepada alam (kesadaran ekologis dan geo politis)
- Moral manusia kepada waktu (kesadaran bahwa waktu hidup di dunia sangat singkat)
- Moral manusia dalam mencukupi kebutuhan lahir batinnya
Dengan banyaknya penjelasan dari beliau, saya merasa hanjakal, seharusnya saya tau ini sebelum aktif di LSS. Mau tau kenapa? Stay tune in this article.
Malamnya diisi oleh success story dari Ir. Rauf Purnama. Beliau adalah alumni Teknik Kimia ITB. Pa Rauf berhasil meningkatkan produktivitas dari perusahaan-perusahaan yang dipimpinnya. Sebut saja Petrokimia Gresik dan Pupuk Kujang. Dari beliau saya menangkap salah satu poin penting dalam membangun ekonomi negara, yaitu dengan meningkatkan nilai tambah sumberdaya alam.
Maksudnya??
Kita memiliki SDA yang berlimpah yang potensial untuk memajukan perekonomian negara. Untuk mengoptimalkan itu kita harus meningkatkan nilainya dengan kemampuan intelektual kita. Jadi, nanti tidak ada lagi cerita kita mengekspor barang mentah lalu mengimpor barang olahannya dengan harga yang lebih mahal.
Pa Rauf pun berbagi tentang salah satu prinsip hidupnya:
Dimanapun kamu ditempatkan, bekerjalah dengan sungguh-sungguh
Melihat kesuksesan beliau, saya jadi semangat untuk mempelajari ilmu manajemen dan ekonomi. Sebagai calon insinyur, saya tidak mau berkutat di bidang teknis saja. Saya banyak mendengar cerita bahwa engineer yang kurang memiliki soft skill hanya menjadi bawahan, sepintar apapun dia. I won’t be like that!
Saat materi beliau, iseng-iseng saya merancang peusahaan masa depan saya. Semoga tercapai. Amiin.
Hari Kedua
Sebenarnya ini hari ketiga sejak kami tinggal di Pusdikbekang. Materi pertama di hari ini diisi oleh Kang Djaka Badranaya, dosen di UIN Syarief Hidayatullah, sekaligus pupuhu GEMA Jabar. Beliau memberikan materi kepemimpinan. Materi yang diberikan beliau, mungkin bagi sebagian besar peserta sudah tidak asing lagi dan bisa berfungsi sebagai reminder. Namun bagi saya, penyampaian materi dari beliau adalah kesempatan yang baik untuk “menjiplak” gaya kepemimpinan. Saya pun lebih terinspirasi dari cara beliau berbicara dan menyampaikan materi. Penuh semangat, bisa mengendalikan situasi, dan visioner (terlihat dari isi dan arah pembicaraannya). Yah, akhirnya, gaya beliau resmi akan saya jadikan referensi.
Salah satu pesan beliau:
Ketika menjadi pemimpin, ambil 2 sumber yang abadi: moralitas, integritas, dan pengetahuan
Selanjutnya, materi dari Kang Tjetje Hidayat Padmadinata. Yeah, si “Akang” ini lahir tahun 1935. Gatau kenapa dipanggil akang. Mungkin karena semangatnya semangat pemuda. Yah, tidak beda jauh dengan Abah Surya. Kang Tjetje sudah menjadi aktivis sejak tahun 50-an. Beberapa kali masuk bui. Terakhir beliau adalah anggota DPR hingga tahun 2004 (kalau tidak salah). Kang Tjetje ber-sharing–sharing ria tentang perpolitikan…
Saya sebenernya agak ngga ngerti, tapi lambat laun sepertinya harus mempelajari ini juga. Apalagi kalau mau jadi walikota Bandung…
Lalu, materi tentang kreatifitas dari Pa Ridwan Kamil…beliau sih dipanggil Kang Emil, tapi berhubung dosen ITB juga, jadi segan manggil Kang. Heu…
Inspiratif. Beliau banyak memberikan sumber motivasi dari pengalaman-pengalamannya.
Networking is Everything. Beliau sudah membuktikannya. Pengalaman bekerja di Amerika, mengumpulkan jejaring, ternyata terbukti ampuh untuk kesuksesan di masa depan.
Cerita-cerita beliau di luar negeri juga sangat menginspirasi. Untuk survive di sana, kepercayaan diri yang tinggi sangat diperlukan.
Pada sesi diskusi, saya kebetulan bertanya tentang permasalahan yang dihadapi kota Bandung. Menurut beliau, salah satu penyebabnya adalah pengelola kota yang kurang bisa membaca perubahan zaman. Perencanaan kota seharusnya dimulai dari lingkup RW. Di zaman baru seperti sekarang ini, sudah saatnya warga kota peduli pada kotanya.
Kata-kata beliau, menurut saya bukan cuma ‘omdo’. Program community development yang dilakukan oleh Urbane (perusahaan konsultannya Kang Emil) membuktikan kata-kata itu.
Inspiratif.
Inspiratif.
Inspiratif.
Di sesi Kang Emil ini, sudah terbentuk di dalam pikiran saya apa yang seharusnya saya lakukan. Saya merasa tidak ada apa-apanya sekolah tinggi tapi belum bisa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap lingkungan sekitar. Yah, setidaknya saya bisa memulai berkarya dari lingkungan RW. Untuk scope yang lebih luas sepertinya saya harus kaya dulu. Ya, seperti kata Kang Emil, kira-kira begini pesannya: Daripada idealisme tergadaikan karena urusan perut, lebih baik kita fokus dulu mengamankan kehidupan kita, dan pada saatnya nanti barulah kita tebarkan prosperity kepada masyarakat di sekitar kita.
Makasih Kang Emil, saya beneran terinspirasi ini mah… semoga saya bisa memulai community development juga.
Pa Indra Perwira. Dosen Hukum di UNPAD.
Pa Indra menyadarkan saya tentang courage-keberanian.
Saya sangat sadar betul, keberanian adalah modal yang penting bagi seorang pemimpin. Saya pun sadar, saya kurang dalam hal itu. Kadang dalam beberapa kasus yang membutuhkan pengambilan keputusan, saya sudah bisa memprediksi kejadian yang akan terjadi. Tapi terkadang saya tidak berani mengambil keputusan. Hasilnya, penyesalan. Ya, kejadian yang telah diprediksi itu benar-benar terjadi dan saya tidak mengambil keputusan yang tepat. Kejadian seperti ini pernah saya alami dan mungkin banyak dialami juga oleh orang-orang selain saya.
Pa Indra menjelaskan, ada dua tipe orang Sunda: Petarung dan Pecundang. Petarung adalah orang-orang yang berani itu. Berani karena sudah yakin akan prinsip yang dipegangnya. Menurut saya untuk yakin terhadap prinsip yang dipegang, kita harus mengetahui banyak hal dulu. Kita harus banyak belajar. Dan saat kita sudah memahami sesuatu dengan baik, kita harus berani menyampaikan yang benar.
Salah satu aplikasi di alam demokrasi saat ini adalah, kita harus berani menjadi aktor intelektual. Aktor intelektual itu adalah seseorang yang membentuk sumber opini publik yang nantinya akan berkembang menjadi kehendak kolektif.
Untuk mendukung hal itu kita memerlukan solidaritas yang tinggi. Oleh karena itu silaturahmi harus selalu kita perhatikan.
Hari Ketiga
10 November 2010. Hari ini hari pahlawan. Kami diberi kesempatan untuk mengikuti upacara hari pahlawan di Pusdikbekang. Latihan PBB-nya…buat saya sih cingcay (hehe…piss), tapi ngatur ulang semua peserta yang background PBB nya bermacam-macam memang bukan pekerjaan mudah. Kami pun dilatih PBB oleh orang Jasmani Militer. Oia, saya dapet ide, sebenernya akan lebih baik jika dalam proses kaderisasi (di himpunan, unit,dll.) dan proses pelatihan-pelatihan macam ini yang butuh mobilitas tinggi, setiap peserta dikasih pelatihan PBB dulu. Ini sebenarnya buat memudahkan panitia juga sih untuk menjalani proses selanjutnya.
Pada upacara hari itu, untuk pertama kalinya lagi saya merasakan berbaris diiringi musik dari korsik.
Di hari ketiga ini, materinya tentang ekonomi, yang mengisi adalah ketua Kadin Jawa Barat Pa Agung dan Deputi Menteri bidang Koperasi dan UKM Pa Agus Muharom. Jujur, sama seperti perpolitikan, saya belum mengeti betul tentang ekonomi. Tapi, suatu saat saya memang harus betul-betul belajar tentang ini. Setidaknya materi perekonomian di PKPS 8 ini menyadarkan saya tentang kondisi ekonomi masyarakat Jawa Barat dan menuntut saya untuk mempelajari kembali tentang ekonomi.
Di sore harinya, diisi materi tentang tatar Sunda oleh Pa T. Bachtiar. Saya menunggu-nunggu materi ini, karena geografi adalah salah satu pelajaran favorit saya. Dari Penjelasan Pa Bachtiar, saya jadi tahu kearifan lokal masyarakat Sunda dalam menjaga kelestarian alam. Juga tentang morfologi tatar Sunda dan keindahan-keindahan alamnya.
Materi ini menginspirasi saya untuk lebih mengenal wilayah tatar Sunda, baik dari segi geografi maupun sejarahnya. Setelah materi beliau, saya berniat untuk membaca lebih banyak buku.
Kesimpulan 4 hari pertama
Empat hari di Pusdikbekang dan tiga hari diberi materi indoor, agaknya sudah cukup membentuk persepsi saya tentang kesundaan. Sebelumnya saya merasa Sunda dan berbagai falsafah dan adat-adat di dalamnya hanya bagian biasa dari suatu suku bangsa di Indonesia. Bahkan saya menganggap jika kita terlalu berpegang teguh pada falsafah-fasafah itu, kita dapat menjadi orang chauvinis, karena tidak melihat pada kebudayaan suku bangsa lain dan ideologi Pancasila negara ini. Namun ternyata saya salah.
Sunda, seperti yang dikatakan Abah Surya, adalah estetika hidup. Di dalamnya banyak terkandung falsafah dan pesan-pesan moral. Ini diibaratkan “membumikan langit”. Sebagai seorang muslim tentunya kita berpegang teguh pada Al-Quran dan Hadis. Dan nilai-nilai kesundaan yang ada saat ini menurut saya adalah nilai lokal yang berasal dari kedua sumber pedoman hidup itu namun “diadaptasi” agar bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Sunda.
Sekarang, hubungan Kesundaan dan Nasionalisme.
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan adat istiadat dan budayanya masing-masing. Mengembangkan kebudayaan Indonesia adalah kewajiban rakyat Indonesia. Manakah yang dimaksud kebudayaan Indonesia??
Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Aceh, Batak, Minang, Jawa, Sunda, Bugis, Dayak, dan lain-lain. Menurut saya setiap warga masyarakat HARUS melestarikan dan mengembangkan setinggi-tingginya budaya suku bangsa masing-masing. HAL INI BUKAN CHAUVINISME selama kita juga memegang teguh toleransi dan saling menghormati. Sebagai bangsa Indonesia, kita juga harus saling membantu dalam mengembangkan kebudayaan-kebudayaan ini.
Kira-kira inilah persepsi yang saya dapatkan tentang kesundaan dan hubungannya dengan nasionalisme. Nasionalisme bukan berarti menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada. Perbedaan-perbedaan inilah yang memperkaya kita, dan untuk itu kita harus bersatu untuk mempertahankan kekayaan kita. Hmmm…cukup jelaskan?
“Putra-putri Sunda…
Berani tegakkan keadilan
Putra-putri Sunda…
berjuang demi nusa dan bangsa
Putra-putri Sunda…
bersama mengusung kemajuan
Putra-putri Sunda…
Cinta TANAH AIR INDONESIA”
…to be continued…