Sore ini akhirnya saya merasakan perasaan lega setelah memperesentasikan rencana riset saya di seminar lab (lab zemi) setelah seminggu hingga dua minggu yang lalu sempat menelantarkan tugas-tugas dan baju-baju yang belum disetrika :p. Itu semua demi mengotak-atik modified direct shear di lab kami, nyuci tabung buret, dan buka-buka teori unsaturated soil mechanics. Alhamdulillah, well done…
Zemi hari ini berlangsung lebih cepat dari biasanya. Kami sudah kembali ke lab (dari ruang seminar) pada pukul 18.30 (zemi dimulai pukul 17.00). Sebelum pulang saya mampir ke ruang tengah, dimana teman sekaligus tutor saya sedang memotong-motong tabung PVC untuk keperluan risetnya. Setelah ngobrol kemana-mana, saya menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan akademik. Saya bertanya mengenai grading untuk mata kuliah tertentu, bagaimana sang profesor (sensei) memberi nilai untuk mata kuliah itu. Akhirnya dia bercerita tentang profesor tersebut yang sekaligus menjadi supervisornya. Tahun lalu untuk mata kuliah yang diajarnya, tidak ada ujian akhir, melainkan hanya report yang harus dikumpulkan. Laporan tersebut dibuat untuk menjawab pertanyaan dua baris mengenai apa strategi yang harus dilakukan untuk menanggualngi likuifaksi. Oke, sangat mudah sepertinya. Namun, yang cukup menarik di sini, sensei tersebut diberi tugas oleh pemerintah (di universitas kami, kebanyakan proyek berasal dari pemerintah, dan nantinya akan diaplikasikan) untuk melakukan penelitian mengenai likuifaksi. Dan saat beliau diharuskan memberi laporan ke pemerintah, beliau menggunakan ide yang berasal dari laporan-laporan mahasiswanya. Saya terkesan dengan sikap beliau yang, meskipun sudah meraih titel tertinggi di dunia akademis, tapi masih bisa merendahkan dirinya untuk belajar dari orang lain. Beliau tidak sungkan-sungkan menggunakan ide dari mahasiswanya.
Di sisi lain, hal itu juga membuat mahasiswa merasa dihargai dan diapresiasi. Tidak heran, teman saya itu sangat bersungguh-sungguh mengerjakan risetnya. Pelajaran yang bagus yang bisa diambil. Saya dulu sempat berhipotesis: akademisi yang sebenarnya adalah orang yang bisa menjadi padi, semakin berisi semakin merunduk. Jujur, sangat susah menjadi padi. Saya sendiri terkadang masih merasa “paling jago” saat dulu memberikan asistensi kepada praktikan praktikum saat studi sarjana.
Alhamdulillah, hari ini ada pelajaran baru yang saya dapatkan dari sikap sensei saya tersebut. Jadilah lifelong learner, bersedia belajar kapan pun dari siapa pun.
Itu sebenernya bagian dari kultur kita, ghan. Ngerasa jago kalo udah punya titel dikit. Mungkin kita gak menyadarinya, tapi kadang bibit-bibit itu di kita udah ada lho!What an awakening value of life! 🙂
@rhonita thx sudah berkomen..oke. Tapi darimana ya asal muasalnya? Klo boleh menganalisis, mungkin karena efek penjajahan kali ya. Dulu orang ingin keliatan hebat di depan tuan tanah dan akhirnya sifatnya nurun. Gitu kali ya…Wah, kalo bener di kita ada bibitnya, semoga ga tumbuh deh -harus di iradiasi dulu 🙂