Dalam periode tertentu International Center Advising Room Todai selalu menawarkan tiket gratis pertunjukan seni untuk mahasiswa. Kadang, bahkan tak jarang, jika peminatnya banyak dilakukan sistem pengundian. Pertunjukan seni yang ditawarkan itu bermacam-macam, ada pertunjukan tradisional Jepang seperti Sumo, Bunraku, Kabuki, hingga pertunjukan orkestra simponi. Beberapa kali saya melewatkan kesempatan itu karena waktu pertunjukan yang tidak pas dan kalah dalam undian. Saat itu saya pesan dua tiket untuk pertunjukan orkestra simponi, dengan pertimbangan nanti bisa ngajak teman siapapun itu. Ehh, ternyata sepertinya konser tersebut banyak peminatnya, dengan memesan dua tiket ternyata kans saya semakin kecil. Akhirnya niat saya untuk mencoba menikmati “konser mahal” pun tidak terlaksana. Sebetulnya saya bukan orang yang pandai bermusik ataupun “fans” musik klasik. Saya hanyalah simpatisan. Hal ini berawal dari hobi saya membaca komik biografi tokoh dunia saat SD yang diantaranya ada biografi Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven. Lalu saat SMA saya dikirimi ayah saya kaset musik klasik/ baroque karya Beethoven dan Mozart. Sejak saat itu hanya musik klasik dan lantunan Al quran saja yang bisa menemani saya belajar tanpa mengganggu konsentrasi. Kalau saya belajar sambil mendengar musik yang berlirik, konsentrasi saya pasti buyar.
Meskipun gagal dapat undian untuk nonton konser, akhirnya kesempatan lain pun datang. Salah satu teman saya diberi jatah tiket konser dari pemberi beasiswanya dan menawarkan satu tiket untuk saya. Ternyata kursinya pun dapet yang paling mahal, uwow! Beruntung banget. Akhirnya berangkatlah saya di hari Kamis sore tanggal 18 April itu. Sebenarnya siangnya saya sedang melakukan eksperimen, dan sore itu hasilnya kurang memuaskan, jadilah dengan emosi saya langsung escape dari lab :p
Konser Tokyo Philharmonic Orchestra |
Tempat konser ini berada di Tokyo Opera City Concert Hall dengan stasiun terdekatnya yaitu Hatsudai Eki (eki=stasiun), satu stasiun dari Shinjuku. Saya terkesima dengan begitu “niat” nya pemerintah Tokyo memfasilitasi warganya untuk menikmati musik dan mendukung perkembangan seni musik. Tokyo Opera City ini terdiri dari beberapa ruang konser dengan desain yang keren banget (saya ngga bisa mendeskripsikan pake style-style dalam arsitektur soalnya). Kayanya tempatnya bener-bener didesain untuk orang-orang yang hi-class, tapi di Tokyo ini orang yang punya penghasilan kecil atau besar masih bisa menikmati fasilitas yang sama. Namun setelah memasuki ruangan konser, suasana elegan pun benar-benar terasa. Sepertinya konser musik klasik semacam ini memang memiliki konsumen tertentu yang tidak biasa. Di tempat itu tampaknya hanya kami berdua saja yang memakai celana jeans. Haha.
Konser ini dibawakan oleh “Tokyo Philharmonic Orchestra” dengan konduktor Ken Takaseki yang akan membawakan Symphony No. 4 dan 6 dari Beethoven serta Piano Concerto No. 5 dengan pianis Hiroko Nakamura. Ternyata setelah saya baca-baca di buklet yang diberikan kepada penonton, Hiroko Nakamura ini adalah salah seorang pianis wanita yang terkenal. Beruntung pula saya bisa menikmati performancenya malam itu. Setiap satu simponi dimainkan rata-rata 35 menit. Cukup lama. Mungkin lebih dari setengah periode konser saya tertelap. Sungguh nyaman rasanya tidur di kursi empuk di blok paling mahal dengan diiringi alunan musik klasik. Hahahaha.
Concert Hall – Tempat tidur saya :p |
Saat performance |
Meski begitu pengalaman mengikuti konser orkestra perdana ini memberi saya banyak wawasan tentang orkestra dan simponi yang diciptakan musisi-musisi seperti Beethoven. Dari buklet yang saya terima plus googling sana-sini tentang orkestra, saya mengetahui secara garis besar tentang pertunjukan ini dan bagaimana komposer menyusun simponinya. Jika ada yang pernah menonton film “Cloud Atlas,” di sana digambarkan bagaimana sulitnya seorang komposer menulis sebuah lagu atau simponi. Jadi ternyata setiap simponi itu ada ceritanya masing-masing. Contohnya , Simponi No. 4 Beethoven, itu diciptakan Beethoven di musim panas tahun 1806 saat ia tinggal di kastil musim panas salah seorang bangsawan, dan diminta untuk membuat sebuah komposisi untuk in-house orkestra bangsawan tersebut. Komposisi itu perpaduan antara Simponi No.3 yang heroik dan Simponi No.5 yang “tragic”.
Lalu Simponi No. 5 yang juga dinamakan sebagai “Emperor”, memiliki ceritanya sendiri. Konon nama ini sangat kontroversial karena saat simponi ini dibuat, saat itu Napoleon Bonaparte dan pasukan Prancis nya sedang bersiap-siap menginvasi Wina, Austria. Komposisi musiknya pun berasal dari inspirasi dan kenangan yang didapat Beethoven dari pergaulannya dengan lingkungan sekitar.
Sedangkan Simponi No.6 menggambarkan kecintaan Beethoven pada alam. Diceritakan inspirasi untuk simponi ini didapat saat ia bepergian ke desa-desa untuk menenangkan pikiran. Dalam komposisinya pun dia menggunakan instrumen-instrumen orkestra untuk membuat suara yang menyuasanakan pepohonan, angin semilir, hingga badai. Ternyata karya-karya besar ini dimulai dari sebuah inspirasi dan cerita. Mirip seorang pelukis yang mau melukis.
Buklet yang bercerita tentang filosofi dibalik setiap Simponi yang diciptakan |
Selain mendapat wawasan tentang filosofi dari setiap simponi yang dimainkan, saya pun sedikit banyak tahu tentang tradisi dalam orkestra. Awalnya saya heran, mengapa setiap selesai satu simponi sang konduktor bolak-balik ke backstage tiga kali dan semua pemain duduk-berdiri beberapa kali. Ternyata saya menemukan jawabannya di sini. Sebuah ritual yang unik.
Sebagai tambahan, saya juga mau mengutarakan pendapat pribadi tentang manfaat nonton konser. Yang pertama, membantu mempertipis dompet kita (kecuali tiketnya gratisan kaya saya 😀 ). Yang kedua, memenuhi kebutuhan akan musik bagi yang membutuhkan (sejujurnya sih saya ngga merasa terpuaskan, cuma penasaran aja dan akhirnya jadi tahu tentang sejarah ke-orkestraan, maklum saya pecinta sejarah :D). Nah, yang terakhir, untuk networking. Sebenarnya teman saya dari Kyrgiztan yang bilang gitu. Kata dia, klo kita seneng musik klasik ada baiknya juga menghafal ini musiknya siapa, itu musiknya siapa. Siapa tau suatu saat saat kita sedang ada di pesta atau pertemuan dan diputar musik klasik, kita bisa memulai pembicaraan dengan membahas musik tersebut. Terlebih jika lawan bicara kita sama-sama antusia dalam musik klasik, hubungan pertemanan bisa terjalin. Begitu kata temen saya.
*) Tampaknya tulisan kali ini agak-agak kagok dibaca ya. Awal-awal bahasa saya formal banget, lama-lama jadi nyantai. Gara-gara udah lama ngga nulis nih. Maap ya.