Dari WC ke Saigon

Siapa yang sepakat klo cingogo atau duduk sambil melakukan “aktivitas” di WC itu adalah salah satu momen yang pas untuk berkontemplasi? Kadang dari situ bisa muncul sebuah solusi tentang masalah yang sedang kita hadapi atau muncul ide-ide brilian tentang rencana yang akan kita lakukan di masa yang akan datang. Bahkan beberapa orang membuat perpustakaan di WC untuk memanfaatkan waktu “luang” mereka seperti gambar di bawah ini.

No need to be explained further 😀 (sumber: koleksi pribadi)

Saya pun pernah melakukan hal yang sama. Di tahun 2008, saat baru menjadi mahasiswa tingkat tiga, saya sempat memikirkan tentang masa depan saya di dunia teknik sipil. Saat itu saya mengingat-ingat kenapa saya memilih jurusan teknik sipil. Sejak kecil saya punya keinginan untuk membangun sesuatu, tapi saya masih belum tahu profesi apakah itu, apakah jadi arsitek atau insinyur. Lalu saat saya mulai menyenangi mata pelajaran Fisika di SMA, akhirnya saya memiliki kecenderungan masuk jurusan teknik sipil. Setelah masuk jurusan inilah kemudian saya mulai berpikir, mau jadi apa saya nanti.


Di tingkat empat, seluruh mahasiswa teknik sipil di kampus saya harus memilih topik tugas akhir. Ada lima topik atau sub jurusan yang tersedia, yaitu struktur, geoteknik, transportasi, sumberdaya air, dan manajemen konstruksi. Saya memilih geoteknik, karena sejak kecil saya familiar dengan kata “geo”, ini dipengaruhi oleh pekerjaan bapak saya di bidang geologi. Saya senang melihat-lihat buku yang terkait bidang geologi karena penuh gambar dan warna, seperti beragam mineral, batuan, gunung, patahan, dan lain-lain. Bahkan saat saya SD saya pernah menghilangkan buku perpustakaan tentang gunung berapi gara-gara saya pinjam-perpanjang berkali-kali, hanya karena ingin buku tersebut ada di rumah meskipun sudah selesai dibaca. Kedekatan saya dengan “geo” ini pula yang membuat saya menyenangi mata pelajaran geografi. Meski begitu saya tidak tertarik masuk jurusan geologi, karena keinginan awal yang ingin “membangun sesuatu”dan mungkin juga karena dijabahnya doa bapa saya yang ingin anak-anaknya tidak mengikuti jejaknya masuk keluar hutan dan kerja di daerah terpencil, hehe.

Lalu setelah memilih geoteknik, ingin jadi apakah saya?
Saya pun berpikir, apa sih infrastruktur yang akan booming di masa depan? Apakah gedung-gedung yang semakin mencakar langit? Atau jalan dan jembatan yang semakin banyak? Saat berkuliah di Bandung, saya mengandalkan moda transportasi motor untuk bepergian. Sejujurnya, jika boleh memilih, saya lebih senang menggunakan angkot. Jika hari hujan, atau sedang panas terik, naik angkot sangat nyaman. Bahkan hari-hari biasa pun naik angkot sangat enak, saya bisa tidur siang di angkot. Tapi karena pelayanannya yang kurang, terutama dari segi kurangnya ketepatan waktu karena sering ngetem, saya pun menggunakan motor. Selama bermotor itu sesekali saya membayangkan kalau di bawah jalanan Bandung ada kereta bawah tanah. Alangkah enaknya. Biasanya bayangan itu muncul saat saya melewati jalan di belakang Gedung Sate (Jalan Cimandiri). Dan saat itu saya membayangkan lahan kosong di sebelah barat Gasibu adalah stasiun pusat kereta bawah tanahnya. Sayang sekali ternyata sekarang di atas lahan tersebut dibangun gedung komersial. Sistem transportasi kereta bawah tanah, atau biasa disebut subway, atau metro, akhirnya menjadi objek yang memotivasi saya untuk icikibung di dunia sipil-geoteknik. Karena saat itu saya yakin bahwa infrastruktur bawah tanah (underground space technology), termasuk transportasi kereta bawah tanah, akan menjadi masa depan infrastruktur dimana kita harus memanfaatkan lahan seoptimal mungkin dengan mengalihkan aktivitas ke dalam bumi. Dan di sana keahlian geoteknik memainkan peranan penting dalam perencanaan dan pembangunannya. Akhirnya hasil “bertapa” di WC itu menghasilkan sebuah impian, suatu saat saya ingin membangun infrastruktur kereta bawah tanah.

Keinginan itu saya mulai dengan mengikuti karya tulis dari PU, dengan topik ruang bawah tanah sebagai infrastruktur masa depan. Sayangnya karya tulis yang sebagian besar wacana ini belum mampu menembus “babak penyisihan” dari lomba karya tulis tersebut. Saya pun mendapat selembar sertifikat penghargaan sebagai peserta. Tapi dari proses riset dalam menyusun karya tulis tersebut, saya jadi paham sedikit tentang teknologi ruang bawah tanah. Saya jadi tahu tentang tunnel boring machine (TBM), mountain tunnelling, dan perkembangan metro/subway di beberapa negara.

Tahun berikutnya (2009) saya mencoba lagi peruntungan dalam menelurkan gagasan tentang kereta bawah tanah di Bandung, saya ikut lomba karya tulis PU lagi. Kali ini saya ingin membahas lebih teknis tentang potensi pengembangan kereta bawah tanah itu. Saat itu saya sampai beberapa kali menghubungi dosen transportasi untuk membantu saya menyiapkan karya tulis. Lalu beliau menyarankan saya untuk membaca beberapa hasil penelitian tentang transportasi di kota Bandung. Secara tidak sengaja, dalam satu kunjungan ke lab transportasi saya menemukan masterplan monorail kota Bandung yang telah disusun sejak lama (saya lupa tahunnya tahun berapa, tapi sekitar akhir 1990-an atau awal 2000-an) berikut rute dan stasiun-stasiunnya! Wew. Sudah bertahun-tahun disiapkan ternyata. Alhamdulillah walikota Bandung yang sekarang punya rencana untuk merealisasikan monorail. Semoga lancar. Kembali ke karya tulis PU, pada akhirnya setelah mempertimbangkan lagi, sepertinya ide tentang pembangunan kereta bawah tanah di Bandung belum feasibel. Dan untuk level karya tulis, usaha yang dapat dilakukan hanya sebatas gagasan, belum bisa aplikatif. Akhirnya saya pun batal untuk melanjutkan proses penulisan. Tapi saya dan rekan sama-sama punya keinginan suatu saat, kalau waktunya tiba kami ingin bikin kereta bawah tanah di Bandung.

Di Jepang
Proses scholarship hunting yang saya jalani sejak tahun terakhir kuliah akhirnya berbuah hasil dan mengantarkan saya ke negeri Sakura untuk menempuh pendidikan master di bidang teknik sipil. Topik tesis saya saat itu tidak berhubungan dengan konstruksi bawah tanah atau sistem kereta bawah tanah. Saya mengambil topik tentang kelongsoran dan melakukan uji laboratorium di bidang unsaturated soil mechanics. Saat saya melakukan riset itu, tidak terpikir oleh saya apakah jenis pekerjaan yang dapat didukung dari kegiatan sehari-hari saya di lab saat itu: mencampur tanah dengan air, menyetel alat-alat instrumentasi, menggeser tanah hingga hancur, mencatat, menganalisa, dan sebagainya. Terkecuali melanjutkan profesi di bidang riset atau bekerja di laboratorium mekanika tanah, tidak terpikir oleh saya perusahaan mana yang mau menggaji karyawan untuk keahlian dan pengalaman seperti itu. Namun, saya ingat sebuah hipotesis yang saya ciptakan sendiri karena pengalaman pribadi: “Tidak ada ilmu yang sia-sia.” Sumber ilmu itu adalah Allah. “Katakanlah: Jika lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Q.S. Al-Kahfi:109). Dari ayat tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa segala macam pengetahuan itu datangnya dari Allah dan pasti ada manfaatnya. Sama seperti yang dulu pernah bapak saya katakan saat saya mengeluh harus ngerendem baju dan nyuci pagi-pagi buta saat sekolah di asrama, “Inget aja, orang-orang besar juga dulu seperti ini.” Intinya apapun kegiatan positif yang kita lakukan, kita akan dapat ilmunya, dan akan berguna suatu saat nanti.

Saat di Jepang ini pula saya begitu terkesima dengan sistem perkerataapiaannya, tidak terkecuali kereta bawah tanah. Bermula dari jalur Ginza line dengan kedalaman 16 meter dari permukaan tanah, Jepang memulai jaringan kereta bawah tanahnya. Pembangunan jalur pertama itu dibantu oleh Siemens, Jerman. Setelah itu mereka bertahap menyerap ilmunya dan mulai membangun subway (kereta bawah tanah) dengan sumberdaya sendiri. Pengalaman selama di Jepang ini memperkuat imajinasi dan mimpi saya untuk bisa membuat sistem kereta bawah tanah, setidaknya dari sisi teknik sipilnnya.

Di Singapura
Yang Maha Berkehendak menciptakan skenario yang meloloskan saya dalam seleksi salah satu perusahaan konstruksi Jepang dan menerbangkan saya ke Singapura, dimana divisi internasional mereka berada. Bayangan tinggal di negara yang sangat dekat ke Indonesia dan punya direct flight ke kampung halaman saya, cukup membuat saya girang. Apalagi saat saya tahu saya akan ditempatkan di proyek Mass Rapid Transit (MRT) paket underground yang sudah lama saya impikan! Tapi ternyata, tepat sebelum saya boarding di Haneda, datang berita bahwa visa kerja saya ditolak dan perusahaan akan menempatkan saya di Vietnam. Vietnam? Tidak pernah terpikir sekalipun untuk mengunjungi negara ini.

Sebelum terbang ke Vietnam saya menjalani masa on the job training di Singapura. Masa satu bulan ini boleh dikatakan sangat menyenangkan, saya me-review lagi ilmu-ilmu teknik sipil tanpa banyak tuntutan dalam pekerjaan. Saya seperti turis yang dibayar saat itu.

Di Vietnam
Enam tahun setelah peristiwa cingogo itu, saya berdiri di depan Opera House yang menjadi salah satu landmark Ho Chi Minh City, pusat bisnis dan industri Vietnam. Di depan gedung inilah stasiun bawah tanah pertama Vietnam akan dibangun. Saya bergabung dalam tim yang akan bekerja untuk proyek lima tahun ini. Di minggu pertama bergabung, atasan saya menjelaskan kalau lingkup pekerjaan yang akan kami jalani sangat langka. Dalam satu paket kami akan membuat dua stasiun bawah tanah dan terowongan bawah tanah. Satu stasiun berada di pusat kegiatan, sangat sensitif karena banyak bangunan bersejarah dan kedalamannya paling dalam. Stasiun lain dibangun di pinggir sungai yang sifat tanahnya sangat sensitif juga. Terowongan yang akan dibangun juga ada dua jenis, yang satu adalah cut & cover tunnel dan satunya bored tunnel dengan menggunakan mesin TBM, teknologi yang paling mutakhir di bidang ini. Kesempatan ini, jika saya menjalaninya dengan sungguh-sungguh, akan benar-benar berharga untuk modal saya membangun MRT di tempat lain. Banyak sekali ilmu yang bisa diambil.

Di posisi ini pula ilmu yang saya dapat di Jepang bisa bermanfaat. Meskipun tiap hari berkutat di laboratorium sempit dengan berbagai macam instrumentasi, pengalaman saya memroses data dari instrumen-instrumen laboratorium seperti load cell, sensor deformasi, dan lain-lain membuat saya bisa menginterpretasi data mentah dari monitoring lapangan. Peran monitoring di sini sangat penting dalam proses penggalian tanah (ekskavasi). Monitoring digunakan untuk memantau pergerakan tanah, penurunan tanah, deformasi dinding penahan tanah, ketinggian air tanah, hingga pergerakan gedung-gedung sekitar akibat aktivitas konstruksi. Ibaratnya jika kita menghiraukan monitoring, sama seperti kita menyetir mobil dengan mata tertutup. Pengalaman nge-lab di Jepang itu membuat saya sangat strict dengan data. Pernah suatu ketika sub-kontraktor yang menangani monitoring mengeluhkan bahwa output dari sensor sungguh aneh dan di luar ekspektasi. Saya lalu teringat kata-kata sensei saya saat riset dulu. Saat itu saya juga pernah mengalami hasil percobaan yang tidak sesuai ekspektasi, aneh, dan dirasa tidak berguna. Tapi sensei saya berkata, “Don’t throw away any unsatisfied result, it will be useful later!” Dan itu terbukti saat saya butuh menganalisis apa permasalahan yang terjadi, saya bandingkan satu-satu dan akhirnya kesimpulan pun didapat. begitu pula dengan kondisi di proyek ini, akhirnya saya meminta sub-kon untuk mengumpulkan data-data yang ada, lalu saya susun sedemikian rupa hingga akhirnya bisa diinterpretasikan dalam satu “cerita.” Mengapa terjadi penurunan tanah di sekitar area ini? Bagaimana level galian saat itu? Bagaimana kondisi muka air tanah? Bagaimana deformasi dinding penahan tanahnya? Hal-hal tersebut bisa didapatkan dari data monitoring. Sejenak saya berpikir, jikalau tanah-tanah ini bisa berkata, mungkin mereka akan dengan jelasnya menjelaskan kondisi mereka saat itu dan dampak terhadap aktivitas konstruksi kami. Bukankah di hari akhir tanah pun akan bersaksi?

Kembali…
ke cingogo tadi. Ternyata impian saya saat cingogo di WC, lamunan saya saat naik motor, dan doa-doa saya di waktu lain beberapa tahun lalu dihantarkan oleh Allah dalam bentuk terdamparnya saya di Saigon dan tergabung di proyek infrastruktur kereta bawah tanah. Di sebuah kota yang hanya pernah saya dengar di pelajaran sejarah dan geografi. Tempat merantau lain dimana saya bertemu teman-teman baik yang mengajarkan saya berbagai macam ilmu. Dan kota di mana, insya Allah, mudah-mudahan, saya bisa menemukan misi hidup saya. Amiiin.

Kalau begitu, untuk mengikuti tren kamusisasi kosakata yang lagi nge-hits saat ini bolehkah saya mendefinisikan:
cingogo (cing-o-go) v. sebuah kegiatan jongkok yang jika dilakukan sendiri di tempat kecil dan tertutup biasanya untuk mendukung “aktivitas lain” yang dalam waktu lama mengakibatkan munculnya imajinasi yang jika di follow up dengan baik dan benar bisa menjadi kenyataan;
😀

Allah itu sesuai dengan prasangka hambanya.

Foto perempatan Nguyen Hue-Le Loi sebelum saya obrak abrik
Tempat saya menimba ilmu saat ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *