Da Nang dan pengalaman triathlon pertama saya

Bersepeda adalah hobi saya sejak dulu. Seingat saya, itu bermula sejak saya dibelikan sepeda Wim Cycle Metalizer tahun 1997 oleh Bapak, tepat setelah peresmian renovasi masjid Al-Miftah di Jalan Turangga, Bandung. Saat bersepeda saya selalu membayangkan sebagai seorang pembalap. Saat itu daerah bermain saya hanya di gang-gang sekitar rumah dan tidak jarang saya jatuh dari sepeda karena banyak gaya di tikungan-tikungan gang yang sempit. Saat kuliah saya mulai bersepeda lagi dengan range yang lebih luas. Passion untuk bertualang dengan sepeda mulai membesar pada masa-masa ini. Silakan simak cerita lain saya tentang pengalaman bersepeda di label ini: cycling.

Baru sekitar tahun lalu, setelah tinggal di Ho Chi Minh City, Vietnam, saya tertarik untuk mengikuti perlombaan (race). Mungkin karena efek lingkungan, saya jadi mulai ikut event lari-larian. Sepertinya tidak terlalu cocok disebut lomba lari, karena tujuan saya hanya untuk mencapai garis finish (jadi finisher). Nah, dari situlah ekskalasi dimulai. Setelah mengikuti beberapa event lari dari mulai 5k, 10k, hingga half-marathon, saya merasa tertantang untuk mencoba triathlon. Saya lupa persisnya dari mana saya mulai “keracunan,” mungkin dari instagram atau media lainnya, tapi yang membuat keinginan itu makin kuat adalah karena kesenangan saya terhadap sepeda. Apalagi setelah beli road bike baru (hasil “keracunan”), keinginan untuk ikut triathlon mulai membesar. Tapi saat itu setahu saya hanya akan ada event 70.3 Ironman di Da Nang, padahal saya hanya ingin mencoba jarak yang lebih pendek. Saat publikasi untuk event 70.3 Ironman mulai beredar di jagad sosmed di HCMC sekitar awal Januari 2018, ternyata saya baru tahu ada pra-event juga berupa “Sunrise Sprint,” yaitu triathlon dengan jarak yang paling pendek: 750 m renang, 20 km bersepeda, dan 5 km lari. Tanpa pikir panjang saya langsung daftar!
Masa Persiapan
Untuk persiapan,… sepertinya saya terlalu menyepelekan persiapannya karena menganggap jarak lomba yang pendek. Sebenarnya saya ikut grup facebook Viet Nam Triathlon Club (VNTC) dan banyak tawaran untuk latihan-latihan bersama, termasuk latihan renang di laut terbuka di Vung Tau. Tapi karena kesibukan dan kurang niat, saya tidak pernah ikut. Praktis saya hanya belajar teori-teori dari forum-forum di internet (termasuk grup facebook VNTC), instagram, YouTube dan blog-blog. Saya menganggap saya cukup mampu bersepeda kebut-kebutan, renang juga bisa, lari juga bisa dijajal. Tapi yang saya lupa adalah kesemuanya itu digabung dan belum tentu stamina saya cukup untuk melakukan semua sesi lomba itu. Beberapa bulan sebelum hari-H persiapan saya hanya belajar teori dan beli triathlon suit (trisuit) :). Trisuit ternyata cukup mahal 🙁 Sebetulnya olahraga ini saya pikir cukup menguras dompet, karena selain perlu beli gears renang, sepeda, dan lari, kita juga perlu menyiapkan tiket dan akomodasi selama lomba. Tentunya lomba triathlon ini diadakan di tempat-tempat spesifik yang memiliki laut/sungai/danau/kolam renang.
Tadinya saya berpikir cukup menggunakan celana renang (atau hanya beli tri short), lalu ganti baju saat transisi. Saat bersepeda pun, saya berencana menggunakan sepatu lari. Tapi kebetulan ada diskon tahun baru Cina di web site keypower sports yang merupakan distributor 2XU. Akhirnya saya beli trisuit di sana. Semua ini saya anggap investasi 😉
Latihan brick (perpaduan 2 sesi, contoh: renang-sepeda atau sepeda-lari) saya lakukan 3 minggu sebelum hari-H. Saya berlatih renang hingga 1,6 km non-stop (salah satunya saya lakukan di kolam renang Horison Bandung saat cuti), sepeda sekitar 20 km, dan lari 5 km. Saat latihan sepeda, saya yang merasa sudah mengerahkan kemampuan maksimal masih bisa disusul oleh pengendara sepeda anonim. Saat itulah saya berpikir untuk membeli (investasi) sepatu sepeda (cleat & clipless pedal) untuk meningkatkan efisiensi tenaga. Karena dengan menggunakan sepatu sepeda, daya kayuh yang dihasilkan tidak hanya pada saat kaki kita menjejak pedal, tapi juga saat kaki kita menarik pedal. Sehingga, secara teori 100% tenaga yang kita beri dari gerakan kaki, bisa tersalurkan ke gear. Saya pun secara instan latihan untuk menggunakan sepatu sepeda dalam waktu 4 hari sebelum akhirnya sepeda saya harus dipacking. Menggunakan sepatu sepeda ini memang butuh latihan karena tidak mudah untuk melepasnya. Apalagi jika dipakai di jalanan kota yang ramai dan sesekali kaki kita butuh untuk turun. Saya pun sempat terjatuh dua kali saat gagal melepas sepatu pada waktunya. Untuk memulai sesi sepeda di triathlon, ada satu trick melakukan “flying mount” yang saya temukan di YouTube. Yaitu dengan menggunakan karet gelang untuk membuat posisi sepatu tetap datar saat di transisi. Tips ini cukup membantu untuk memudahkan beralih ke sepeda setelah kita menyelesaikan sesi renang. Mengenai latihan, akhirnya saya hanya sempat melakukan brick renang-sepeda dan sepeda ke lari. Saya tidak sempat melakukan keseluruhan sesi untuk memperkirakan waktu yang saya butuhkan dalam menyelesaikan lomba. Akhirnya dengan metode visualisai (membayangkan), saya merata-ratakan hasil tiap latihan dan membuat prediksi waktu untuk lomba, yaitu:
Renang 750 m: 21 menit
Transisi 1: 3 menit
Sepeda 20 km: 46 menit
Transisi 2: 3 menit
Lari 5km: 30 menit
Total: 103 menit
Packing sepeda dan latihan menanggulangi ban bocor (flat tire)
Menurut saya, hal yang membedakan triathlon dari running race adalah adanya hal teknis (mekanikal) yang harus dikuasai dari sesi sepeda. Contohnya, saat race kita harus menguasai cara mengganti ban dalam atau menambalnya, lalu cara menanggulangi rantai sepeda yang putus, bahkan packing sepeda pun kita harus tahu tips-tipsnya. Beruntung saya bisa belajar lewat YouTube dan seorang bapak pemilik toko sepeda di Ho Chi Minh City yang baik hati mau mengajarkan cara packing sepeda dan mengganti rantai yang putus. Sebenarnya mengganti rantai agak ribet dan saya berharap itu tidak terjadi pada saya. Sebelum race saya hanya belajar mengganti ban dalam via video ini. Untuk packing sepeda, sejak awal saya tidak berniat membeli tas khusus sepeda yang ber-cushion karena harganya yang mahal. Untungnya saya pernah membeli tas “cover” sepeda di kosambi (TRB bike) yang bisa mengcover kardus sepeda. Harganya cukup murah dibanding tas-tas sepeda yang mahal (cushion atau hard-case), hanya saja kita perlu mencari kardus sepeda yang biasanya lebih panjang dan menambahkan bantalan untuk melapis frame sepeda kita. Berikut ini video saat saya mengepack sepeda termasuk membungkus bagian-bagian penting dengan bubble wrap.
Salah satu tips yang cukup penting menurut saya adalah menandai konfigurasi stang sepeda dan level sadel kita dengan menggunakan tip-ex (atau spidol) agar saat kita re-assembly di tempat tujuan tidak perlu lagi menyetel posisi stang dan sadel. Oia, bubble wrap agak tebal (beberapa lapis) juga diperlukan untuk membungkus crank sepeda yang tajam agar tidak mengenai ban. Ban juga jangan terlalu dikempesin agar masih tersisa sedikit udara untuk cushioning. Oia, rantai sepeda juga harus di set ke posisi paling dalam (gear kecil) untuk mencegah benturan.
Konfigurasi stang yang perlu ditandai
Level seat post yang perlu ditandai
Sepeda dan tas sepeda (di dalamnya ada kardus/cardbox sepeda)
Perlu diperhatikan juga saat kita travelling dengan membawa sepeda, apakah maskapai yang kita pakai menerbitkan syarat-syarat khusus atau tidak. Misalnya, dulu saat saya membawa sepeda dari Indonesia ke Vietnam, saya harus beli sport baggage khusus buat sepeda di Air Asia. Namun saat saya ke Da Nang kemarin, sepeda bisa dianggap ke jatah bagasi biasa (20 kg) tetapi kita harus melapor ke customer service Vietnam Airlines (minimal 1 hari sebelum keberangkatan) mengenai dimensi dan berat setelah di packing.

Tiba di Da Nang

Salah satu skyline kota Da Nang yang dijuluki kota jembatan

Da Nang adalah kota pesisir pantai yang terletak di Viet Nam tengah. Panjang pantainya mencapai hingga 60 km. Pantainya sangat bersih menurut saya karena betul-betul diurus oleh pemerintah daerahnya. Akses ke pantai juga cukup mudah dan sangat membantu dengan adanya fasilitas shower/air bersih untuk membilas setelah renang dan tempat penitipan barang. Yang menarik selama saya tinggal di Vietnam adalah kebiasaan masyarakatnya yang gemar olahraga. Kalau di Ho Chi Minh City saya biasa menemukan banyak orang yang olah raga di taman, dari mulai jogging, senam, badminton (hingga 3 lawan 3), di Da Nang (mungkin karena faktor geografis) banyak orang yang renang pagi. Saya lihat kebanyakan orang-orang tua. Saat saya bersepeda untuk mengecek rute H-1 sebelum race, jam 5 pagi orang-orang sudah mulai mengunjungi pantai.

Cek rute sesi sepeda dengan latar belakang gunung marmer
Masyarakat Da Nang yang dengan mudahnya bisa renang pagi di laut setiap hari
Karena terinspirasi orang-orang yang sudah “mantai” sejak dini hari, setelah beres melakukan cek rute sejauh 20 km, saya kembali ke hotel dan mengajak istri untuk ke pantai sekaligus cek ombak. Ini benar-benar cek ombak, karena sebelumnya saya belum pernah renang di laut bebas. Kami pun jalan kaki ke pantai terdekat dan… masya Allah, ombaknnya di luar dugaan saya. Selama ini saya kira open-water swimming di laut untuk triathlon pasti dipilih laut yang cukup tenang. Itu berdasarkan hasil observasi saya via instagram saat melihat kondisi laut di Sungai Liat Triathlon. Saya juga sempat ke berwisata ke Pulau Tidung dan menganggap kondisi lautnya akan tenang seperti di sana. Ternyata ombak di Da Nang cukup besar saat itu. Akhirnya saya mencoba renang dengan gaya katak (gaya yang akan saya pakai buat race) tapi saya tidak bisa maju karena hempasan ombak. Mulai saat itu saya khawatir apakah bisa menyelesaikan race besok atau tidak. Mulai terbayang saya akan DNF (did not finish) karena sesi renang yang berombak. Apalagi cut-off time buat renang hanya 30 menit. Sedangkan dari latihan di kolam saja saya membutuhkan waktu 21 menit rata-rata dalam kondisi non-ombak.
Sekembalinya ke hotel, saya langsung research via YouTube cara menghadapi ombak. Akhirnya nemu video ini. Di sana dijelaskan saat menghadapi gulungan ombak, kita harus menyelam jangan sampai tetap dipermukaan karena akan terhempas leh ombak tadi. Lalu setelah ombak lewat, kembali lanjutkan renang. Begitu seterusnya sampai melewati beberapa ombak dan akhirnya mencapai laut yang agak tenang (indikasi kalau kita sudah sampai di laut dalam).
Setelah cukup istirahat, siang harinya saya melakukan registrasi ulang dan di sore harinya saya melakukan bike check-in, yaitu menaruh sepeda kita di area transisi. Proses check-in nya sangat profesional karena beberapa kali foto kita diambil untuk memastikan pemilik, nomer BIB, dan sepeda yang di bawa. Hal ini cukup penting mengingat sepeda-sepeda yang dipakai bisa mencapai harga yang fantastis. Setelah saya check-in saya sempat melihat deru ombak yang besar, sejenak saya merasa ragu tapi tidak bisa kembali lagi dan proses ini harus dilanjutkan hingga garis finish! Saya baru tahu kemudian, ternyata ombak di Da Nang ini termasuk besar. Bahkan saat briefing untuk 70.3 Ironman race ada wacana mengganti sesi renang menjadi lari (duathlon) dikarenakan ombak yang cukup besar. Beberapa media lokal dan media khusus tentang triathlon mengcover kondisi ombak di Da Nang saat kami race.

Setelah registrasi ulang untuk “Sunrise Sprint”. Backgroundnya sih 70.3 Ironman. Biar keren, hehe
Bike checked-in
Race Day
Mungkin karena gelisah menghadapi race triathlon pertama saya, saya beberapa kali terbangun sebelum akhirnya bangun pukul 3 pagi. Saya mengisi perut dengan beberapa kurma dan pinggiran pizza yang dibeli semalam. Setelah solat subuh saya mulai menempelkan tato nomer BIB di lengan atas dan kaki bagian belakang. Untuk race triathlon, tatoo nomer ini berfungsi untuk identifikasi saat sesi renang. Untuk sesi sepeda, nomer ditempel di seat post (bawah sadel) dan helm. Sedangkan untuk sesi lari, BIB harus terlihat di pinggang di bawah perut. Biasanya agar peniti tidak merusak trisuit kita, kita menggunakan BIB belt untuk menempelkan BIB untuk lari.
Lalu dengan menggunakan grab, saya pun menuju ke tempat transisi untuk check-in sebelum race. Saya menyiapkan gears yang akan digunakan pada race day itu.

Morning on the race day
Gears yang saya siapkan di area transisi di pagi hari sebelum race

Saat warming up sebelum memulai sesi renang, race director juga memberitahu tips melewati ombak, yaitu dengan dive-in saat ombak datang dan lanjut renang saat ombak telah lewat. Tapi yang paling saya ingat saat itu adalah “breath….and have fun!” Suasana race pun menjadi cair buat saya dan saya menjadi excited untuk memulai lomba. Start lomba dibagi menjadi beberap kloter tiap 5 detik. Masing-masing kloter berjumlah 6 orang untuk menghindari kerumunan (crowd) saat mulai renang. Oleh karena itu kita juga perlu menaksir apakah renang kita cepat atau tidak. Kalau merasa renang kita lambat, kita perlu memosisikan diri di belakang. Dan memang, saat mulai memasuki air tantangan pertama muncul: melepaskan diri dari rombongan orang. Saya pun kesulitan bergerak maju karena tidak ada ruang untuk bergaya katak tanpa menendang orang-orang di sekeliling saya. Dan ombak pun terus menghantam kami. Di saat itu saya sempat panik hingga air laut pun terminum dan parahnya air masuk ke kacamata (google) renang saya. Saat itu saya memang tidak memasang kacamata renang dengan baik. Seharusnya saya mengikuti petunjuk cara memasang yang benar dengan mengepaskan lensa dulu ke mata, baru menarik tali kacamata ke belakang kepala. Saya pernah mencoba cara itu yang menyebabkan sekeliling mata terasa sakit karena sangat ketat. Tapi itu lebih baik daripada kebocoran air di tengah race. Akhirnya saya harus bergerak dan di saat bersamaa membetulkan kacamata. Saya mencoba menghindari kerumunan dengan mengambil rute melambung, walaupun agak jauh sampai akhirnya bisa melewati deburan ombak dan kembali renang ke rute paling dekat. Saat mulai renang di laut dalam, tantangan berikutnya muncul: mental. Saat saya renang dan hanya melihat kesan hijau (karena banyak plankton) dan laut yang tak berbatas, rasa panik muncul. Sempat terbesit pikiran “bagaimana kalau saya tidak bisa kembali ke darat?” Tapi akhirnya saya memaksa logika saya untuk berpikir “waktu latihan di kolam saja, dimana kaki saya tidak menyentuh dasar kolam, saya bisa melewatinya maka saya pun harus bisa melewati ini. Ini hanya kolam besar dengan tambahan air yang bergerak (bergelombang).” Setelah berpikir positif seperti itu saya melanjutkan renang menuju turn-around buoy dan akhirnya kembali ke darat. Salah satu hal penting di sesi renang di laut ini adalah cara untuk tetap renang di jalur yang tepat. Karena kadang karena laut yang bergelombang arah renang kita menjauh dari rute yang sebenarnya. Itu cukup merugikan, karena kita menambah jarak renang kita. Di situlah pentingnya sesekali melihat ke depan saat menggunakan gaya bebas.

Berita di media lokal tentang kondisi laut saat kami race

Alhamdulillah akhirnya saya berhasil mencapai darat dan segera berlari ke area transisi untuk melanjutkan ke sesi sepeda. Saat keluar dari laut saya merasa perut sudah kembung. Mungkin gara-gara meminum air laut. Tapi secara keseluruhan, sesi renang di laut ini addictive buat saya. Saya memulai sesi sepeda dengan agak berat, tapi akhirnya saat mulai menyalip peserta-peserta lain, rasa excitement saya muncul dan jadi lebih bersemangat. Saya menggunakan sepatu sepeda khusus untuk triathlon, jadi tidak memerlukan kaos kaki. Dan dengan menggunakan teknik memasang sepatu yang sudah saya jelaskan sebelumnya, masa transisi saya bisa lebih pendek. Sesi sepeda merupakan sesi yang paling menyenangkan buat saya karena pada akhirnya saya bisa merasakan kegembiraan balap sepeda lagi setelah masa kecil dulu dengan aman karena kita balapan di jalur yang terpisah dengan lalu lintas umum. Saya merasakan efek sepatu sepeda yang sangat membantu. Saat latihan, biasanya kecepatan rata-rata saya 25-27 km/jam. Namun saat race kecepatan saya bisa 30 km/jam. Tapi pada akhirnya di 5 km terakhir saya memperlambat kayuhan saya karena nyeri di perut kanan bagian atas. Mungkin karena terlalu banyak makan atau terlalu banyak minum air laut, saya tidak tahu pasti penyebabnya.

Bike leg – sesi sepeda, sesi paling menyenangkan buat saya
Sesi lari, sesi yang paling butuh evaluasi dan peningkatan buat race berikutnya
Masuk ke sesi lari, kondisi perut saya masih sakit. Saya pun memulai lari dengan pace 6:45 menit/km dan berangsur-angsur melambat ke 7:45 menit/km. Saya hanya berusaha untuk tidak jalan dan mencapai garis finish. Untuk triathlon sprint distance ini sepertinya kita tidak perlu menyiapkan banyak nutrisi (gel,dll.). Cukup dengan air di tiap water station dan yang disimpan di sepeda. Untuk race kali ini saya menyiapkan 2 buah kurma, salt stick (1 kapsul), dan satu gel di sepeda. Tapi saya hanya memakan 1 kurma saja. Kurma yang lain saya coba makan tapi tidak sanggup karena perut masih kembung dari sesi renang. Akhirnya saya bisa finish dengan catatan waktu seperti di bawah ini.

Catatan waktu triathlon pertama saya
Untuk sesi renang, sepeda, dan transisi hasilnya sesuai prediksi. Tapi untuk lari, ini di luar prediksi karena sakit perut (kram? “kamerkaan”?) yang saya rasakan. Mungkin karena kurang latihan juga. Dari race triathlon pertama ini saya belajar banyak hal tentang lomba ini dan persiapannya yang intinya sebagai berikut:
1. Jangan sepelekan latihan, walaupun sprint distance 😀 Terutama brick training. Ada artikel bagus untuk dijadikan referensi buat porsi latihan “last minute” di sini: Two weeks until your first triathlon: now what?
2. Untuk open-water swim, sebaiknya saat race bukanlah pengalaman open-water swim pertama kita. Untuk saya, itu bukan kali pertama juga kok. Karena saya sudah pernah berenang di laut lepas…sehari sebelumnya! hehe. Bukan contoh yang baik untuk ditiru. Tapi pengalaman renang di laut H-1 yang lalu itu sungguh membantu untuk menyadarkan saya bahwa ombak itu nyata dan harus dihadapi 😉
3. Penting untuk membekali diri dengan kemampuan teknis di luar latihan, seperti: cara pasang kacamata renang yang baik, cara packing-unpacking sepeda, cara mengganti ban dalam saat bocor, cara menanggulangi rantai yang putus, termasuk “hacks” seperti menggunakan karet gelang untuk menahan sepatu sepeda pada tempatnya.
4. Persiapkan mental, terutama saat renang dan saat berusaha menamatkan race. Tetap tersenyum dan have fun! Karena yang terakhir itu yang kita cari.
Epilog
Akhir dari race day ini kami tutup dengan menikmati seafood tepi laut. Da Nang sungguh kota pesisir yang cantik. Semoga saya bisa kembali lagi ke sini dan ikut triathlon yang versi 70.3. Amiiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *