Kebanyakan dari kita pasti pernah main game. Mulai dari game di PC, konsol (PS, Switch), boardgame yang manual (monopoli, halma, ular tangga, dan banyak boardgame tematik akhir-akhir ini), cardgame (UNO, Pokemon), atau bahkan permainan seklasik catur. Pernahkah saya dan kalian salah langkah dalam permainan tersebut? Biasanya kalau salah langkah saya tinggal “load” file yang di “save” terakhir lalu melanjutkan permainan dengan pilihan yang berbeda. Ini sering saya lakukan saat main game-game strategi (AoE, Starcraft, Civilization, Hearts of Iron – saya pernah nulis review nya di sini, dll.) atau building simulator (Railway Tycoon/Empire, SimCity, The Sims, Tropico, Civilization, dll). Bahkan saat main catur pun kita bisa minta kompromi ke lawan main untuk mengulangi langkah terakhir kita. Biasanya lawan kita yang lebih pintar akan mengiyakan karena dia pun ingin dapet challenge yang lebih seru.
Lalu, setelah bisa mengulang permainan dan menyelesaikan tantangan yang sulit (karena sudah bisa kita prediksi), kita akan mendapatkan kepuasan. Pada akhirnya storyline game tersebut bisa kita mengerti. Dulu saya pernah addicted dengan Starcraft. Game strategi peperangan di luar angkasa. Saya sudah khatam dengan Starcraft 1. Lalu masa-masa awal kerja, muncullah Starcraft 2 dan sekuelnya yang memiliki cerita lebih menarik. Karena saya terbiasa load-save atau bahasa gamenya, sering restart/reload kalau dapat masalah, saya cepet banget namatin game nya. Mirip-mirip film Edge of Tomorrow yang dibintangi Tom Cruise. Pada akhirnya saya hanya ingin menikmati storyline game tersebut. Dan di sekuel Starcraft 2 yang terakhir saya hanya cukup menonton review di YouTube, lalu puas, dan tidak berhasrat lagi memainkan game itu dari awal.
Bagaimana dengan kehidupan kita?
Opsi re-load atau restart tidak bisa kita lakukan kalau kita “merasa” salah pilih. Langkah yang kita pilih, apapun konsekuensinya adalah skenario Allah dan kita bertanggung jawab untuk menuntaskan “quest” yang diberikan. Seumpama ujung dari pilihan tersebut adalah sesuatu yang tidak mengenakkan, selalu ada hikmah yang bisa dipetik dari perjalanan tersebut. Kita perlu dengan sadar (mindful) berusaha melihat hal-hal yang berguna sebagai bekal bagi perjalanan hidup kita ke depan, meskipun itu tersembunyi dalam sebuah musibah.
Dan sudah sunatullah juga kita tidak bisa mengulang waktu dan melihat nasib akhir perjalanan hidup kita ke depan. Ini juga hikmah dimana kita dituntut untuk terus berusaha dan berhasrat untuk memperjuangkan hidup kita ke arah yang lebih baik.
Berdoalah agar dalam setiap langkah kita selalu berada dalam jalan yang “lurus”, yaitu jalan yang diridhoi Allah SWT.
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Q.S. 74:38
Ibadah paling afdal adalah ridha terhadap ketentuan-Nya. Sementara dosa paling buruk adalah kecewa terhadap ketentuan-Nya.
Mukasyafatul Qulub (Imam Al Ghazali)
Ketidakmampuan seseorang mengambil pelajaran berharga di balik musibah yang menimpanya adalah musibah yang lebih besar daripada musibah itu sendiri.
Al Mujalasah wa Jawahirul ‘Ilm