Aku Mati Sebagai Mineral

Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir sebagai hewan.
Aku mati sebagai hewan dan kini menjelma menjadi manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang belum kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
Memasuki kekosongan, kesejatian.
Karena hanya dalam kesejatian itu
terdengar nyanyian luhur.

Syair di atas adalah syair yang ditulis oleh Maulana Jalaludin Rumi, seorang ulama yang lahir di wilayah Khurasan  di Persia pada 6 Rabiul Awal 604 H atau di tanggal 30 September 1207 M (wah sama nih tanggal lahirnya). Beliau adalah ulama di bidang tasawuf yang karya-kayanya pun diakui dunia. UNESCO pernah menyatakan tahun 2007 sebagai Tahun Rumi. Peringatan tentang itu juga diadakan di kota Kona, Turki, tempat beliau dimakamkan.

Kamis minggu ini (9 September 2021) saya mengikuti pengajian Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali yang dibimbing oleh Ust. Kuswandani Yahdin. Kebetulan pada malam itu dibahas makan dari syair Rumi di atas (Aku mati sebagai mineral… )

Sebetulnya saat membaca sekilas isi bait-bait nya, saya langsung terpikir tentang jasad kita, yang memang tercipta dari tanah, dan syair ini agak nya menceritakan tentang “recycle”. Namun maknanya ternyata jauh melampaui itu. Memang, butuh guru untuk dapat menyerap sari pati ilmu dengan benar. Atau setidaknya kita perlu merujuk ke buku-buku yang valid. Kadang, pemikiran pun bisa menjadi salah apabila tidak diarahkan. Bisa jadi sesuatu itu dianggap menjadi kebenaran hanya karena pemikiran kita yang belum tervalidasi. Itu juga yang menjadi alasan pentinya untuk selalu memohon “tunjukilah kami jalan yang lurus” (Q.S. Al-Fatihah:6).

Jadi, makna syair Rumi di atas adalah terkait dengan perjalanan jiwa manusia. Mineral adalah asosiasi kondisi hati kita yang seperti benda mati, layaknya mineral. Tidak bisa merasakan, tidak bisa tumbuh, tidak bisa bergerak. Kondisi jiwa yang mungkin pada tahap ini adalah kondisi yang seperti batu, keras kepala, tidak bisa menerima petunjuk, dan tidak berusaha mencari petunjuk/kebenaran. Lalu, dia akan bertransformasi seperti tumbuhan. Namun tumbuhan, meskipun hidup, ia tidak bisa bergerak. Lalu, jadi lah seperti hewan. Hewan itu bermacam-macam, dan sifat hewan pun dapat dimiliki manusia. Jika ada manusia yang serakah, banyak makan, maka sifat tersebut dengan mudah dapat terasosiasi dengan hewan babi. Tikus pun adalah sifat yang mungkin bisa dimiliki manusia. Biasanya kita melambangkan koruptor sebagai tikus. Hewan pengerat yang makan apapun juga. Pada akhirnya kita akan bisa menjadi manusia yang seutuhnya, yang bisa menggunakan akalnya dan memiliki kemampuan untuk bersosialisasi. Namun, manusia pun masih perlu berjuang untuk mengendalikan nafsunya. Nafsu itu cenderung menuju kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat (Q.S. Yusuf:53). Di dalam diri manusia, kita memiliki potensi seperti malaikat yang penuh ketaatan. Pun, setelah kita meraih level jiwa yang penuh ketaatan, pada akhirnya kita akan mati, karena yang Maha Hidup adalah hanya Allah SWT. Setelah itu, hanya Allah yang tahu akan jadi seperti apa kita saat dibangkitkan kembali. Begitulah interpretasi syair Rumi di atas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *