Haus

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diserang “demam” Star Wars lagi, gara-gara sempet namatin nonton series Mandalorian dan mulai nonton ulang series Clone Wars. Saya awalnya tertarik dengan Episode “Attack of The Clones” yang menggambarkan produksi tentara-tentara kloning Republik di Planet Kamino. Saya memang dari dulu suka kisah-kisah kepahlawanan yang melibatkan perang-perangan. Singkat cerita, akibat demam ini, saya jadi ingin punya figurin Clone Troopers. Tapi figurin/plastic model yang bagus yang produksi Bandai susah dicari, akhrinya saya beli figurin Storm Troopers. Itu pun setelah scrolling sana-sini dan bandingin harga dari setiap online shopping platform. Prosesnya menyita waktu saya.

Saat itu di pikiran saya, saya sangat ingin punya figurin yang bisa saya explore untuk foto-foto cool dengan berbagai skenario aksi. Saking ngebetnya, saat paketnya tiba, saya langsung rakit. Namun setelah beres, setelah merasa puas sesaat, saya merasa hampa. Hmm…saya jadi ingin nambah koleksi lagi, biar figurin-figurin ini jadi sebuah grup atau peleton pasukan. Kayanya makin keren. Tapi saya urungkan niat saya, setelah berupaya keras.

Tidak hanya kasus di atas, banyak contoh dalam hidup kita dimana kayanya ada aja yang diinginkan. Bahkan kalau belum berhasil mendapatkan sesuatu, kita terus kepikiran. Akhirnya banyak yang suka beli-beli barang, yang akhirnya setelah dibeli tidak dipakai secara optimum. Mungkin inilah yang dinamakan impulsif. Seakan-akan kita haus, tapi dahaga tersebut tidak pernah hilang.

Bukan hanya memiliki barang. Kehausan dari pandangan juga kadang terjadi. Ada yang suka melihat – lihat cowo/cewe ganteng/cantik. Sampai browsing sana-sini, hanya sekedar ingin lihat. Matanya haus, tapi dahaga tersebut tidak pernah terpuaskan.

“Kehausan” seperti ini sebetulnya bukan dari fisik kita. Kalau haus fisik, atau lapar fisik, bisa kita tangani dengan mudah. Minum air dan makan. Tapi ada haus yang sebetulnya berasal dari bagian non-fisik dari diri kita. Itulah syahwat yang sebetulnya perlu kita kendalikan.

Kehausan non-fisik ini hanya bisa dicukupi dengan sesuatu yang menjadi fitrahnya. Jiwa kita itu adalah bagian diri yang dulu pernah ketemu dengan Penciptanya. Jiwa kita akan selalu “kangen” untuk bertemu atau melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Sang Rabb. Pernahkah merasa, saat bersedekah, ada sebuah kebahagiaan yang datang kepada kita? Kita kehilangan sesuatu secara fisik, tapi muncul rasa bahagia. Itu adalah salah satu perbuatan yang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Cara lain menjawab kehausan ini adalah dengan membaca Al-Quran. Karena, Al-Quran ini adalah makanan jiwa yang sebenar-benarnya. Dalam suatu kisah pernah Alm. Buya Hamka menghabiskan waktu dengan Al-Quran selepas ditinggal wafat istrinya. Beliau mengatakan dengan membaca Al-Quran, jiwanya bisa terisi dari kekosongan karena ditinggal oleh istrinya.

Semoga kita bisa diberikan kebijaksanaan untuk dapat memeriksa diri kita dan memenuhi kebutuhan jasad dan jiwa kita dengan jalan yang benar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *