Mengolah rasa lewat Ancika

Saya ngikutin cerita Dilan-nya Ayah Surayah a.k.a Pidi Baiq sebelumnya hanya lewat film. Sepertinya saat sebuah novel sudah diangkat ke layar lebar, jadi bikin males untuk ngikutin cerita aslinya lewat buku. Beruntung dulu saya baca duluan novel Harry Potter, jadi imajinasi yang melekat di memori saya jauh lebih kompleks dan menarik daripada dari filmnya. Kebetulan adik saya beli novel Ancika ini, yang merupakan lanjutan seri novel Dilan dan Milea. Setelah adik saya beres baca, saya pinjem novel ini. Sepertinya sudah cukup lama semenjak saya baca novel fiksi terakhir. Mungkin novel fiksi terakhir yang saya baca adalah Deception Point. Saya memang baca beberapa novel karya Ahmad Fuadi, tapi saya merasa itu novel non-fiksi. Eh, sebetulnya Ancika ini juga sepertinya diambil dari kisah nyata nya Pidi Baiq. Jadi apakah ini novel non-fiksi? Entahlah, saya nikmati aja deh. Intinya saya ingin coba mengolah rasa dari buku-buku yang menceritakan kehidupan sehari-hari.

Ancika ini adalah pacarnya Dilan selepas Milea. Settingan ceritanya masih di Bandung era 90an pertengahan ke akhir. Saat itu Dilan sudah kuliah di ITB. Dia bertemu Ancika, saat itu masih SMA, yang merupakan keponakan temannya. Karakter Dilan, mungkin kita sudah tau dari novel dan filmnya. Dia orang yang intinya berprinsip dan menjalani hidup tidak normatif. Dilan tampaknya asik menjalani hidupnya. Saya rasa karakter seperti Dilan ini terbentuk karena dia atau lingkungannya (keluarga terutama) dikelilingi ilmu pengetahuan. Dia kritis dan tahu apa yang perlu dilakukan dalam berbagai macam situasi. Semua pemikirannya berdasar, meski nyeleneh. Tapi benar secara logis. Kalau kita punya teman seperti Dilan, mungkin kita pun akan menjadikan dia sebagai panutan.

Namun, di novel ini ada suatu episode atau adegan di mana Dilan tidak bisa mengontrol dirinya. Saat dia seperti jaga image di tengah hubungannya dengan Ancika, sebetulnya dia mengalami sesuatu yang namanya “jatuh cinta”. Hal yang memang sulit bisa dikontrol secara logis. Pidi Baiq menceritakan kisah ini dengan cukup natural. Sepertinya memang ini adalah pengalaman asli yang pernah dirasakannya dulu (saya ngga bilang kalau Dilan itu Pidi Baiq, tapi kalau melihat dari cocokloginya, ya kayanya hampir 100% kisah Dilan itu adalah kisah Pidi Baiq). Di satu periode, dia merasa insecure karena status kedekatannya dengan Ancika tidak jelas. Dia ingin memiliki Ancika sebagai pacarnya. Dan di kisah itu terlihat bagaimana sifat kekanak-kanakan (atau mungkin keremajaan) nya muncul, seperti, ingin mencium Ancika. Padahal sebelumnya dia yang selalu menjaga diri dan imagenya seolah-seolah seperti orang dewasa bijak.

Intermezzo: Jatuh cinta memang mekanisme biologis yang muncul dan tertanam di jasad manusia yang turun-temurun diturunkan sejak dulu. Tanpa kesadaran akan aturan, norma, atau syariat, dia akan menguasai manusia untuk memenuhi tujuannya untuk beregenerasi. Jatuh cinta ini biasanya akan hilang dalam waktu 6 bulan. Setelah itu hubungan, kalau yang halal, perlu digantikan dengan kesadaran untuk mencintai. Thus, mencintai lebih sulit daripada jatuh cinta. Jatuh cinta itu gratisan (sumber: 5 Bahasa Kasih/ Five Love Languages).

Sebaliknya, Ancika, yang awalnya merasa diberi harapan oleh Dilan, akhirnya menganggap Dilan hanya sebatas kakak dan mencoba tetap menjaga norma dalam hubungan. Dia sangat marah saat Dilan pertama kali mencium keningnya tanpa persetujuan. Ancika memiliki karakter kuat juga sebagai perempuan. Dia memiliki prinsip masa bodoh dengan lingkungannya, terutama kepada teman-teman laki-lakinya yang menunjukkan rasa suka kepadanya. Agaknya lingkungan (keluarganya) di mana dia dibesarkan, cukup harmonis dan merasa dia belum membutuhkan orang lain untuk meminta atau memberi kasih sayang. Dia adalah anak pertama dari dua bersaudara dan memiliki keluarga besar yang cukup solid.

Pada akhirnya, Ancika setuju untuk menjadi pacar Dilan. Sepertinya Dilan ini satu-satunya pacar Ancika. Dan untuk Dilan, Ancika ini pacar kedua dan terakhirnya. Karena, di novel ini diceritakan bahwa hubungan Dilan dan Ancika berlanjut hingga menikah dan berkeluarga. Saat Dilan membawa Ancika yang sudah menjadi pacarnya ke Bunda (ibunya Dilan), Bunda bertanya apakah Cika (panggilan Ancika) sudah mengetahui tentang Milea (pacar Dilan sebelumnya).

Dia berpesan, “Apa pun alasannya, Ancika tak perlu terobsesi oleh apa pun di masa lalu Dilan. Dilan berhak atas sejarah hidupnya. Cika juga sama. Dilan punya waktunya sendiri bersama orang-orang di dalam hidupnya, baik sekarang maupun di masa lalu, sebagai sesuatu yang harus Dilan lalui. Masa lalu tak perlu disikapi sebagai hal yang mengganggu. Tapi kalau kamu tetap memandangnya begitu, silakan saja, tak ada yang melarang. Hanya saja, itu pasti akan membuat hidupmu runyam dan akan membuat hidupmu tak nyaman.”

Lalu, Bunda juga berpesan kepada Dilan,” Kebersamaanmu dengan Cika sekarang, tidak perlu dianggap sebagai ujian kecocokan untuk memilih mana yang terbaik di antara Cika dan Lia…, atau dengan siapapun di dunia ini. Membandingkan hubungan yang telah berakhir dengan yang sedang berlanjut, sama saja seperti membandingkan hidup dengan kematian, gak ada gunanya. Cinta di masa lalu itu cuma fantasi yang tidak nyata. Cika adalah yang lain dengan segala hal yang ada di dalam diri Cika. Tiap orang punya bagiannya sendiri. Menjadi tokoh di dalam ceritanya sendiri. Cika pantas mendapatkan yang jauh lebih baik daripada membiarkan dirimu terjebak dalam ingatan yang berlebihan. Itu bodoh.”

Pesan-pesan Bunda dalam adegan itu cukup kuat dan akurat. Dan saya merasakan bahwa Bunda ini seorang yang berilmu atau setidaknya orang yang mampu mengikat makna hidup, dan kurang lebih sifat itu yang diturunkan kepada Dilan. Ini adalah pesan terselubung bagaimana untuk move on dari hubungan yang telah lampau. Bagi Cika, dia tidak perlu mengkhawatirkan lagi masa-masa lalu Dilan, dia teryakinkan untuk tetap percaya kepada Dilan. Yakin bahwa Dilan, dengan karakternya yang memikat, adalah pilihan yang tepat untuk dia terima dan dia jaga. Bagi Dilan pun, dia jadi yakin bahwa lembaran baru ini adalah kesempatan dia untuk menjadikan Cika merasa bahwa dia adalah perempuan yang beruntung.

Lalu, setelah Dilan dan Ancika menikah, diceritakan pula bagaimana Dilan yang giat bekerja dan Ancika yang selalu mewanti-wanti Dilan untuk tidak ikut dalam kegiatan mahasiswa menumbangkan rezim Orde Baru. Saat itu banyak kasus hilangnya aktivis karena diculik oknum. Masa-masa Dilan dan Ancika berkeluarga juga sedikit digambar secara realis. Saya melihat Dilan pun, saat sudah punya tanggung jawab sebagai kepala keluarga, perlu giat bekerja untuk menjemput rezeki. Saya melihat fase ini sebagai realitas yang terjadi di kehidupan kebanyakan orang. Meski dulunya nyeleneh, tapi kita tetap perlu menunaikan kewajiban kita, dalam hal ini bagi Dilan adalah bekerja sebagai pencari nafkah di keluarga. Mungkin kalau dibedah lebih lanjut akan ada juga fase-fase cobaan dalam rumah tangga nya Dilan dan Cika, sebagai manusia.

Selain kisah-kisah humanis yang menarik dari novel Ancika ini, saya juga dibuai oleh bayangan tentang Bandung tempo dulu. Bandung di masa saya masih kelas 2 hingga 5 SD. Settingan ini membawa flashback bagi saya ke daerah Gatsu sebelum adanya TSM (karena rumah saya dekat situ). Lalu daerah Kiara condong, daerah Ciwastra (yang buat saya ga kebayang sih, waktu mahasiswa aja masih banyak sawah, apalagi dulu. hehe..punten orang Ciwastra. Kalau disuruh nganter ke daerah sini pasti hare-hare), daerah Dago, ITB, Unpad, yang bagi saya tak terjamah saat masih SD dulu. Tapi yang pasti ada yang benar, bahwa Bandung masih dingin dan berkabut dulu. Saya masih ingat saat saya naik angkot ke sekolah di Jalan Sasakgantung.

Secara keseluruhan, saya mendapatkan enjoyment dari membaca novel Ancika ini dengan jokes-jokes atau kejenakaan Dilan dan Ancika dan teman-temannya, dan juga mendapatkan pelajaran yang humanis seperti yang saya ulas sebagian di atas. Makasih Ayah Pidi Baiq! Nice book 👍

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *