Di akhir September yang lalu, saat saya kebetulan sedang cuti di Bandung, saya terpikir untuk mencoba camping dengan saudara-saudara saya. Idenya memang tiba-tiba sih, karena saat itu saya berpikir mumpung di Bandung tidak salah memanfaatkan segala kebaikan susu… eh, kota ini, untuk menutrisi jiwa dan raga agar fresh kembali. Saya rikues cari tempat yang bisa berkontemplasi, di bawah langit berbintang, dikelilingi pohon pinus, dan di kejauhan ada gemerlap lampu-lampu kota. Ternyata ada tempat seperti itu: camp site Gunung Putri, Lembang. Adik-adik dan sepupu-sepupu saya pernah ke situ juga. Jadilah akhirnya kita camping go show!
Persiapan kami hanya satu hari. Di malam sebelum hari-H, kami berbelanja perbekalan makanan. Alhamdulillah ada sepupu saya yang jago masak. Jadi perbekalan kami sebetulnya lebih banyak makanannya. Dan, jujur, ini camping mewah karena menu makanannya yang premium. Hehehe. Dengan bekal yang banyak, saya teringat camping pertama saya waktu kelas 4 SD. Saat itu di SD Assalaam Bandung rutin mengadakan jambore ekskul setiap 2 tahun sekali. Saat itu ibu saya membekali saya dengan berbagai perlengkapan dan makanan di satu tas carrier milik ayah saya. Bayangkan anak kelas 4 SD membawa tas carrier besar. Akhirnya tas saya harus digotong oleh 4 orang dari Regu Harimau, regu Pramuka saya. Kebalikannya, saat SMA saya mengalami pengalaman camping dengan bawaan paling minimum. Hanya tas ransel kecil dan ponco. Saat itu adalah kegiatan hulubalang dimana kami dilatih sebagai pembawa pesan dan di lepas satu per satu di gelapnya malam untuk menuju titik yang ditentukan.
Hari Sabtu siang, kami pun meluncur ke Lembang. Saat itu kami menyewa tenda, matras, dan kompor di tempat penyewaan yang baru buka di Jl. Gumuruh. Yang akan nge-camp total ada 6 orang. Tapi 3 orang berangkat lebih dahulu. Lokasi Gunung Putri ini ada di antara Lembang dan Tangkuban Parahu. Ancer-ancernya, sebelah kiri /sebrang Gubug Makan Mang Engking. Sebelumnya akan ada Hotel Augusta di kiri dan alfamart. Dari situ masuk ke Jalan Gunung Putri dan ikuti terus sampai ke puncak. Sepanjang jalan, sudah terasa suasana dingin dengan segar khas pegunungan. Di kiri-kanan banyak lereng yang dipenuhi perkebunan dan rumah warga.
Setelah kurang lebih 10 menit dari Jalan Raya Tangkuban Parahu, kita sampai di gerbang area campingnya. Jalan menuju campsite ini tidak terlalu lebar. Setelah melewati gerbang, ada jalan bercabang, jalan yang lurus menuju ke arah perbukitan dan jalan menurun ke kiri menuju ke lapangan parkir yang dikelilingi beberapa toko: toko makanan, penyewaan tenda dan perlengkapan, juga yang menjual kayu bakar. Kami membeli dulu dua ikat kayu bakar. Harganya 15 ribu Rupiah per ikat.
Sebetulnya saat kami datang campsite tersebut ditutup secara resmi (karena PPKM mungkin). Agak heran, padahal mall saja sudah dibuka, dan ini lokasinya di alam terbuka. Petugas yang jaga pun agak was-was karena (katanya) diawasi Koramil. Jadinya kita tidak dibolehkan nge camp di titik terdekat ke gerbang. Sebagai gambaran, campsite nya ini ada di atas bukit. Kita perlu mendaki dulu (cukup terjal) melalui jalan zig-zag. Namun karena untuk menghindari kecurigaan pengawas, kami diminta berjalan memutari bukit. Awalnya kami ikuti petunjuk petugas jaganya dengan berjalan lurus, namun kami rasa jalan tersebut sangat jauh. Akhirnya kami mengikuti satu keluarga yang juga akan camping dengan mulai mendaki bukit.
Lumayan cangkeul juga, karena kami todak membawa banyak ransel carrier. Hanya tas kanvas selempang yang penuh barang. Campsite nya itu, di bagian depan (arah selatan) terdiri dari beberapa undakan yang memiliki lapangan datar yang luas. Jadi seperti punden berundak. Nah, kami diminta nge camp jauh ke dalam hutan pinus. Oke lah, kami ngikut aja. Akhirnya kita sampai ke daerah hutan pinus setelah melewati track yang penuh ilalang di kiri kanan.
Ternyata sudah banyak orang-orang yang mendirikan tenda. Mereka mencapai area ini dengan menggunakan motor. Akhirnya kami mencari daerah yang cukup datar untuk memasang 2 tenda. Saat kami sampai, suasana sudah mulai maghrib, saya buru-buru solat Ashar di tengah selingan menyiapkan tenda.
Saat malam tiba, adik dan saudara saya yang lain datang menyusul. Kami menjemput mereka. Ternyata ada blessing in disguise saat kita ditempatkan jauh di dalam hutan pinus. Kami bisa menikmati keheningan malam, terutama ada puncak bukit yang memiliki pemandangan langsung ke daerah Lembang. Saat siang tiba, kita bisa melihat observatorium Bosscha dari sini. Sepupu saya yang jago masak mulai menyiapkan makan malam kami. Dia sudah menyiapkan menu makan malam, menu nyemil malam, dan menu begadang. Haha. Kami bawa daging slice untuk digoreng. Tak lupa popmie sebagai makanan wajib. Dan juga kopi sachet. Malam itu kami bercengkarama di bawah langit yang bertabur bintang dinaungi oleh dedaunan dan cabang-cabang pohon pinus. Suasana yang pas untuk healing. Saya jadi ingat ceramah Ust. Hanan Attaki yang menyarankan untuk solat di tengah alam yang menyejukkan dan hening seperti itu. Sebenernya lumayan dingin dan gandeng sih. Setiap tenda memainkan musik dan lagu2an. Kami makan malam ditemani alunan musik2 klasik dan country seperti The Beatles dan John Denver.
Keesokan paginya, kami bisa menikmati sunrise dari puncak bukit yang tidak jauh dari tenda kami. Alhamdulillah, kesegaran udaranya dan cahaya yang mulai menerobos pepohonan dan awan di sekitar kami sangat relaxing. Suasana yang langka yang bisa saya dapatkan di Jakarta. Sepertinya kegiatan back to nature ini akan kami jadikan acara rutin bulanan.
Kami sarapan sandwich dengan daging dan sayuran. Sandwichnya ala-ala hotel, karena memang saudara saya adalah chef. Sekali lagi, ini camping yang paling mewah buat saya. Hehe. Sebelum jam 8 pagi kami beres-beres dan packing untuk kembali ke Bandung. Camp site Gunung Putri ini overall sangat menyenangkan dari segi landscapenya. WC juga tersedia dengan sumber air yang terjaga dari torren. Dan pastinya, kita dimanjakan dengan keindahan alam dan tidak mungkin tidak bisa memuji Sang Pencipta.
Jadi, kemana lagi nih tujuan camping berikutnya? Ada saran?
Ini video resume perjalanan kami :