
Buku ini pertama kali saya dapatkan waktu masih tinggal di Ho Chi Minh City di tahun 2016. Saya agak lupa tepatnya, mungkin buku ini saya terima saat saya sedang cuti di Bandung. Saat itu saya sudah selesai sekitar 4/5 bagian buku. Lalu entah mengapa saya tergerak menyelesaikan membaca buku ini di bulan September 2021 lalu. Dan ternyata ada bagian-bagian terakhir yang sangat menyentuh dan menginspirasi saya. Masya Allah, semuanya sudah diatur bahwa saya harus baca bagian tersebut dan mengambil hikmah untuk kondisi saya yang sekarang.
Buku ini adalah otobiografi (kisah hidup penulis) Ranti Aryani. Kalau lihat gambar cover, beliau mengenakan seragam perwira Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF). Itulah keunikan kisah hidupnya. Ternyata ada orang Indonesia yang menjadi Captain America! Mba Ranti ini adalah seorang dokter gigi yang menempuh pendidikan di negeri Paman Sam. Setelah lulus, beliau mengikuti program nya USAF. Mungkin kalau di Indonesia seperti program perwira karir yang merekrut perwira-perwira non kombatan. Sebagai info, dokter gigi itu adalah pekerjaan yang cukup prestisius dan yang paling dicari orang, nomer 2 setelah pengacara di Amerika Serikat (AS). Buku ini mengisahkan perjalanan hidup Mba Ranti yang sebagian besar ber-setting di AS. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil.
Tentang Amerika Serikat, awal kesan saya terhadap negara tersebut adalah negara yang suka bertindak sewenang-wenang. Apalagi dulu saat mereka menginvasi Afghanistan dan Irak, saya agak gemas dan tersulut emosi (waktu itu saya masih duduk di bangku SMP). Juga dengan kebijakan-kebijakan luar negerinya yang selalu terkesan menjadi Polisi dunia. Lalu dengan banyak film-film action Hollywood yang menggambarkan ngerinya hidup di AS. Namun, setelah saya bisa berpikir dengan agak bijak, sebetulnya pada dasarnya tidak ada manusia yang ingin berbuat jahat karena kita semua punya hati nurani. Americans pun tidak bisa digeneralisir dari kebijakan luar negeri negara mereka dan film-film Hollywood-nya. Selama saya hidup pengalaman saya berinteraksi langsung dengan orang Amerika bahkan bertolak belakang dengan kesan awal saya di atas.
Sebagai contoh, di tahun-tahun akhir kuliah, bahkan setelah lulus, saya rutin mengikuti acara yang diadakan oleh American Corner di Perpustakaan Pusat ITB. Saat itu ada volunteer WN AS yang suaminya sedang sekolah di Sesko TNI, untuk memberikan kami speaking lesson. Sebetulny lebih ke diskusi dan membahas budaya-budaya Amerika. Ms. Jenny namanya, orangnya baik hati dan sabar untuk ngajarin kami. Dia orang Amerika yang keturunan Korea. Berkat program di American Corner ini saya lebih pede untuk ngomong bahasa Inggris (lumayan meningkat lah). Lalu, saat saya sekolah di Tokyo, saya berkenalan dengan dua orang AS. Yang satu saya lupa namanya, saya bertemu dia di kereta menuju asrama. Orangnya sangat-sangat ramah. Dia berasal dari New York dan mengambil program Arsitektur di Todai. Lalu di acara party asrama, saya juga ketemu mahasiswa AS lainnya, Kyle, yang mengambil jurusan astronomi. Orangnya sangat jenaka. Dan waktu saya di Vietnam, saya punya tetangga dan sahabat yang baik hati, keluarga Amerika-Indonesia, Jack & Mba Enop. Alhamdulillah sepanjang hidup saya, ternyata saya ketemu orang Amerika yang baik-baik. Atau mungkin saya belum diuji seperti di kisahnya Mba Ranti.
Kembali ke perjalanan Mba Ranti, ternyata yang beliau hadapi adalah sikap tidak mengenakan dari beberapa orang Amerika dan bahkan institusi USAF. Setelah tahu ada perwira berjilbab, Mba Ranti mengalami diskriminasi sistemik. Sebetulnya ada beberapa atasannya yang masih baik dan simpatik. Perjuangan pun dimulai hingga akhirnya USAF memecat beliau dengan alasan performance. Namun, kebenaran harus terus diperjuangkan. Mba Ranti masih menempuh jalur hukum untuk membersihkan namanya. Bagusnya di Amerika, iklim demokrasi dan egaliternya sudah berfungsi. Semua warga negara betul-betul memiliki hak yang sama di mata hukum, atau setidaknya bisa memperjuangkannya dan ada sistem yang mendukung itu.
Pada akhirnya perjuangan beliau membuahkan hasil. Pengadilan memutuskan untuk mengganti alasan pemberhentian beliau dengan lebih terhormat dan menganugerahkan medali penghargaan. Memang sebagai dokter gigi tidak dipungkiri selama masa pengabdiannya di USAF, Mba Ranti sudah membantu ribuan staf atau pilot untuk service ready. Memang untuk pilot terutama, hal-hal kecil pun perlu sangat diperhatikan. Adanya lubang di gigi bisa membahayakan keselamatan.
Cerita-cerita di buku juga menggambarkan perjuangan lain Mba Ranti dan suaminya, Rich, untuk bertahan di Amerika. Seperti ada masanya mereka berdua mencari-cari pekerjaan baru, lalu berpindah-pindah negara bagian, persis seperti perjalanan hijrah. Dan memang banyak hikmah atau makna hidup yang diikat oleh Mba Ranti dan ditulis di buku ini. Hiburan saya dalam menikmati buku ini adalah di bagian bagaimana Mba Ranti mendeskripsikan situasi alam dan perasaan tinggal di Amerika. Mudah-mudahan saya bisa ke sana juga nanti.
Buat saya sendiri, buku ini mengajarkan saya perlunya bertawakal dalam hidup ini. Menggantungkan harapan pada yang Maha Kuasa. Bukan kepada makhluk. Lalu bagaimana kita ridho dengan apa yang ditetapkan Allah swt atas kita (takdir). Dan saya melihat bagaimana seseorang yang level keimanannya sudah tinggi (di mata saya), dihujani cobaan yang semakin berat. Intinya tiap orang akan mengalami cobaan yang berbeda-beda. Ada yang dicoba sisi finansialnya, keluarga, pasangan, pekerjaan dan lain-lain. Perjalanannya menghadapi takdir badai dan pengucilan oleh USAF mengantarkan beliau kepada pemahaman hidup seperti yang dicerminkan dari kisah-kisah para Nabi:Nuh, Daniel, dan pemuda-pemuda Kahfi. Takdir itu suci dan mensucikan. Suci, karena datangnya dari Allah. Mensucikan karena ia menjadi pembersih untuk memurnikan hati kita, sehingga kita bisa benar-benar bersaksi bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”. Dan betul-betul merasakan, tidak ada yang dapat menolong kita kecuali Allah SWT.
Melihat perjalanan hidup Mba Ranti, saya juga sadar bahwa hidup ini sebetulnya hanya perjalanan kita seorang diri. Apapun yang datang kepada kita, itu hanya titipan. Tantangannya adalah bagaimana kita mengambil manfaat dan mengambil hikmah dari setiap kejadian yang terjadi untuk membuat kita semakin kuat menjalani perjalanan ini dan akhirnya nanti bisa menuntaskan misi hidup kita, sebagai (khalifah) pemakmur bumi.
Dari buku ini, ada juga satu penggalan cerita pewayangan yang dikutip yang menarik bagi saya.
Alkisah, Kumbakarna mengamuk ketika mengetahui bahwa adik bungsu yang dicintainya, Gunawan Wibisana, tewas dalam peperangan melawan Alengka. Gunawan Wibisana sudah berpihak kepada Rama melawan kerajaannya sendiri, Alengka, yang saat itu diperintah oleh kakaknya yang lalim, Dasa Muka. Saat itulah, pamannya mendekati dan menasihati Kumbakarna.
Pamannya menasihati Kumbakarna untuk tidak membenci negerinya dan menghancurkannya. Meski negerinya jahat, bukan demi kejahatan itu ia membela negerinya, tapi demi kebaikan yang kelak akan bertahta di atas kejahatan. “Ksatria itu tahu kejahatan negerinya, tapi toh ia harus mempertahankannya dan mencari kesucian di dalamnya. Kalau tidak, ia bukan seorang ksatria, Nak,” ucap Pamannya Kumbakarna.
Cerita itu menjadi inspirasi bagi Mba Ranti dan mungkin bisa jadi inspirasi bagi siapapun yang sedang berkarya di tengah kondisi negeri yang tidak kondusif atau suportif kepadanya.
Saya jadi ingat lagu kebangsaan Amerika, “The Star Spangled Banner.” Kebetulan saya hapal juga karena pernah saya jadikan selingan saat plank. Soalnya pas 1 menit. Hehe. Amerika juga dibangun dari hasil perjuangan mereka melepaskan diri dari penjajahan Inggris seperti yang dilukiskan di lirik lagunya. Dan para penduduknya, yang hijrah ke Amerika tentunya menginginkan kehidupan baru yang lebih baik. Tetangga dan saudara baru yang baik dan seterusnya. Jadi, dimanapun kita berada, berusalah untuk menjadi orang baik. Mudah-mudahan kebaikan tersebut bisa menular, bermekaran, dan menghilangkan kejahatan.