Tulisan ini adalah sebuah ide yang #latepost. Atau mungkin #double #latepost. Izinkan saya membawa Anda bolak-balik mengikuti timeline yang saya ceritakan di sini.
Bulan lalu tepatnya saat Maulid Nabi Muhammad SAW, saya membaca postingan yang cukup menyentuh di akun IG nya Salim A. Fillah. Postingan yang berjudul “Bagaimana Kiranya?” itu mengajak kita untuk berpikir dan merasakan apabila kita disapa oleh Rasulullah sebagai orang-orang yang dirindukan (dan merindukan) beliau meskipun belum pernah ditemuinya. Saya mencoba flashback ke masa-masa bagaimana awal mulanya saya mengenal manusia yang mulia ini.
Bandung, bertahun-tahun yang lalu
Mungkin secara tidak sadar dan saya pun tidak ingat persis, orang tua atau keluarga saya pernah mengenalkan atau yang pasti pernah memperdengarkan namanya di tiap doa atau shalawat sejak saya kecil. Tapi jika saya mencoba mengingat-ngingat, memori saya akan tertuju pada sebuah buku kuning berjudul kisah 25 Nabi dan Rasul yang disimpan di susunan rak buku milik Bapak yang sering saya baca. Bukunya pada akhirnya jadi lecek dan halamannya terlepas-lepas, terutama bagian terakhir yang menceritakan kisah nabi penutup ini, karena sering saya baca. Saya ingat kisah Nabi Muhammad diceritakan dengan jumlah halaman yang lebih tebal daripada nabi-nabi yang lain.
Bandung, 2000-2002
Lalu, seiring saya beranjak besar, saya mendapat pendidikan agama dari sekolah formal yang saya lalui dan TPA di masjid dekat rumah, atau dari mana pun itu yang pastinya tidak lepas dari kisah Nabi Muhammad SAW. Saya ingat juga dulu waktu SD kelas 6 dan awal-awal SMP, saya sempat menjadi pengunjung setia Perpustakaan Daerah Jawa Barat yang dulu ada di belakang Museum Konperensi Asia Afrika di sebelah sungai terpanjang di dunia, Cikapundung, yang membelah Asia dan Afrika. Di sana saya sering membaca seri komik Nabi Muhammad terbitan Mizan, selain juga baca-baca buku komik GI Joe, Gen Si Kaki Ayam, komik Avante dan 4WD lainnya, kisah Nasrudin Hoja, dan buku lain yang saya tidak ingat judulnya (makanya ngga saya sebutin). Saat itu saya sudah cukup tahu tentang Nabi Muhammad. Nama yang selalu saya sebut di tiap salat, selawat, azan dan doa. Sekarang pun saya sudah tahu tentang Nabi Muhammad. Namun rasa yang saya miliki terhadap beliau saat itu, belum sekuat sekarang. Oleh karena itu saya membuat tulisan ini.
Sekarang saya mau pindah ke kisah yang lain. Flashback ke masa yang berbeda.
Jakarta, 2021
Pernah ngga berpikir cara kita bertumbuh di dunia ini salah satunya adalah dengan cara “mimikri”? Saat saya dihadapkan pada suatu tantangan, cobaan, atau hambatan, saya mencoba mengingat-ingat seseorang yang saya kenal yang dapat diandalkan di situasi serupa. Saya membayangkan apa yang orang tersebut akan lakukan di posisi saya. Misalnya, saat saya didaulat atau ditodong untuk memberikan speech di suatu acara, saya akan ingat seseorang yang saya kenal yang cukup percaya diri untuk ngomong dengan spontan dan mencairkan suasana. Lalu saya akan bayangkan menjadi dia dan akan saya copy tindakannya di situasi yang saya hadapi. Begitu pula misalnya, saat saya kena scolding (eh, pernah ngga ya…) atau ditekan dengan pertanyaan bernada tinggi di kantor, saya akan langsung teringat kepada beberapa manajer senior yang pernah mengalami situasi serupa yang bisa tetap tenang dan merespon secara objektif dengan kepala dingin. Orang-orang yang saya refer dalam situasi-situasi tersebut, biasanya adalah orang-orang yang punya skill atau kepribadian spesifik yang saya anggap lebih baik dari saya. Nah, kali ini saya ingin ngomongin tentang salah seorang sahabat yang saya kenal dan yang saya rasakan punya banyak teladan yang bisa saya mimik (tiru) darinya.
Tokyo, 2012-2014
Saya mengenal dia saat berada di lab yang sama di rentang tahun 2012-2014. Perawakannya tinggi besar, murah senyum, punya sorot mata yang teduh, ramah kepada setiap orang, dan punya aura yang menenangkan. Selain itu secara akademik pun dia pintar. Tidak heran dia banyak diandalkan dan juga dituakan dalam kegiatan informal di lab atau komunitas kami (yang beririsan dengan saya adalah komunitas muslim di kampus). Dosen pembimbing saya juga selalu mengandalkan dia untuk mengkoordinasi berbagai kegiatan riset karena kemampuan komunikasinya yang bagus dan logikanya yang sangat baik. Oia, dia bukan orang Indonesia btw. Dia berasal dari Pakistan.
Saya banyak belajar dari sahabat saya itu. Salah satu (softskill) yang saya pelajari dari dia adalah kemampuan berkomunikasi dan presentasi. Sebagai seorang yang dapat dikatakan native speaker Bahasa Inggris, saya menjadikan dia sebagai role model dalam berkomunikasi. Saya pernah sharing dengan dia bahwa saya selalu merasa kesulitan untuk menangkap kata-kata yang dilontarkan native speaker, terutama yang punya british accent. Dia berkata, sebetulnya tujuan komunikasi itu adalah tertangkapnya pesan kepada orang yang dituju dengan baik. Makanya, meskipun native speaker dia selalu melihat lawan bicaranya dulu dan berusaha menyesuaikan kosakata dan artikulasinya agar dapat dimengerti orang lain. Ya, memang itulah yang dia lakukan sehingga orang-orang juga senang berkomunikasi dengan dia, meskipun orang lain tersebut tidak lancar berbahasa Inggris. Kadang untuk orang Jepang, atau orang non-native English speaker lain, bisa jiper duluan kalau berhadapan dengan orang yang cas-cis-cus ngomong Inggrisnya. Style dia dalam presentasi pun saya tiru. Bahkan hingga saat ini, jika saya berbicara dengan Bahasa Inggris, saya masih memakai artikulasi-artikulasi khas-nya untuk menekankan poin pembicaraan.
Di area riset, dia salah satu orang yang menjadi wasilah terbukanya titik terang dalam penyelesaian tesis saya. Sempat ada titik dimana saya sangat desperate dan merasa tidak bisa menyimpulkan hasil riset saya. Kebetulan saat itu kami berada di grup riset yang sama tentang landslide. Dengan bantuan dia, saya bisa menyusun data-data yang saya kumpulkan selama ini dan merekonstruksi narasi tesis saya. Saat itu saya mendapat booster sehingga kembali percaya diri dengan hasil usaha yang saya lakukan. Kejadian itu membekali saya dengan pengalaman pentingnya melihat masalah dari berbagai macam sisi untuk mendapatkan solusi. Beberapa kali saya juga mencoba “menjadi dia” saat saya menjadi peer untuk kolega saya, atau saat saya diamanahi sebuah tim dan bertugas untuk memberikan feedback atau memberikan solusi terhadap permasalahan yang kami hadapi. There is always a way out from a problem. Cara ini sejalan dengan pemikiran Edward de Bono dengan “topi 6 sisi”-nya untuk melihat pemecahan dari suatu masalah dari sisi yang berbeda-beda.
Masih tentang dia. Dari segi ukhrawi, saya melihat dia adalah sosok muslim yang taat. Saya tidak perlu mendeskripsikan bagaimana ibadahnya, namun kualitas agamanya terlihat dari cara dia bergaul. Saya bisa katakan bahwa teman saya ini adalah salah satu contoh muslim yang baik dan patut dicontoh. Atau secara umum, dia adalah salah satu orang yang baik. Karena inti agama, after all, adalah membuat orang berakhlak baik. “Ad-diinul husnul khuluq,” kata Rasulullah SAW. Teman-teman kami baik yang muslim dan non-muslim mudah sekali dekat dengan dia. Perkataannya halus dan tidak pernah menyakiti orang. Tapi dia tetap tegas untuk masalah prinsipil, seperti makanan halal dan waktu salat. Namun dia tidak pernah secara eksplisit menuntut pemberian priviledge ini. Tapi, alhamdulillah anggota lab kami sudah cukup pengertian untuk “kebutuhan khusus” tersebut.
Ada contoh sikap baik dan bijak lain yang pernah ditunjukkannya yang masih saya ingat. Pernah saat kami berkesempatan trip ke Seoul dalam rangka presentasi di sebuah workshop tahunan tentang Unsaturated Soil Mechanics, saya dan dia menyempatkan berkunjung ke Masjid Agung Seoul. Di sana kami melihat seorang pemuda Korea yang celingukan dan sepertinya penasaran dengan isi Masjid. Akhirnya kami mengajak dia masuk. Lalu dia pun tertarik untuk membuka-buka Al-Quran. Tanpa melarang dia untuk memegang Al-Quran, teman saya ini dengan sigap membukakan lembaran Quran untuk pemuda Korea tersebut. Lalu teman saya dengan sabar mulai menjelaskan isi surat Al-Fatihah dan 5 ayat pertama Al-Baqarah. Menurut saya, tindakan yang teman saya lakukan sangat cerdas dan bijak. Dia sebetulnya sudah mengenalkan Islam dari akhlaknya.
Dari deskripsi saya di atas, percaya kan, ada orang yang sangat baik, humble, sociable, pintar, dan dapat diandalkan? Saat saya mengenalnya saya kira dia sudah tua dan berkeluarga. Tapi ternyata usianya hanya terpaut 2 tahun dari saya dan saat itu masih single. Namanya Muhammad Irfan. Atau, saya biasa memanggilnya Irfan bhai (bhai = brother dalam bahasa Urdu). Namanya mungkin juga banyak dipakai di Indonesia. Dia menyandang nama Nabi Muhammad dan nama Arab, Irfan, yang artinya pengetahuan.
Jakarta, 2021
Kembali ke masa sekarang.
Beberapa bulan yang lalu sepupu saya pernah sharing pengalamannya saat umrah ke tanah suci. Dia menceritakan betapa terharunya dia melewati tempat-tempat yang dikisahkan di sirah Nabi Muhammad SAW. Bahkan dia sempat nangis. Waw.
Saat itu saya tersentil. Pernahkah saya nangis saat mendengar atau membaca kisah hidup Rasulullah SAW? Mmm…mungkin pernah, tapi saya ngga yakin. Sepertinya belum pernah sih sampai merasakan kisah hidup Rasulullah SAW sampai sedalam itu. Akhirnya sepupu saya merekomendasikan saya dan meminjamkan saya buku “The Great Story of Muhammad”, buku yang tebalnya 600 halaman dan full colour karena disertai juga beberapa gambar atau peta-peta yang relevan. Saya pun bertekad untuk membaca sampai habis buku itu demi mendapatkan “rasa” yang didapatkan sepupu saya itu.
Jazirah Arab, 570 – 632
Butuh beberapa minggu di sela-sela kesibukan saya hingga akhirnya saya bisa menamatkan buku tersebut. Betul juga ya, membaca sirah atau kisah Nabi Muhammad dengan kondisi saya yang sekarang dibandingkan membaca kisah tersebut saat saya kecil, memang menghasilkan perasaan yang berbeda. Saat saya menyelami kehidupan beliau yang diceritakan lewat Al-Quran maupun hadis lalu di narasikan lewat buku-buku sirah semacam yang saya baca, saya bisa memahami bagaimana beratnya penderitaan yang dialami Nabi Muhammad. Saya sudah mengalami usia-usia yang dilalui Nabi Muhammad setidaknya hingga 33 tahun, lalu membayangkan dengan usia yang serupa dengan saya betapa banyak cobaan yang dilaluinya dari mulai lahir sebagai anak yatim, lalu juga kehilangan ibundanya, kehilangan kakek yang menyayanginya, dan nanti pada saatnya beliau diberi tugas yang berat untuk membawakan kebenaran kepada masyarakat yang menganggap normal kemaksiatan. Bayangkan bagaimana sulitnya membalikkan keadaan masyarakat Arab saat itu dengan karakternya yang keras menuju masayarakat yang lebih beradab dan berakhlak baik. Berbagai macam kekerasan fisik dan non-fisik dialami beliau untuk menuntaskan misi hidupnya.
Sesungguhnya membaca sirah Nabawiyah (kisah hidup Rasulullah SAW) adalah bentuk terapi juga. Untuk melihat miniatur hidup kita yang digambarkan dengan perjalanan hidup Rasulullah SAW. Dengan begitu kita bisa berpikir, bahwa jika kita mengalami penderitaan dalam hidup, itu pun sudah pernah dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan bisa dilewati olehnya. Beliau telah mencontohkan kegigihan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai tantangan, cobaan, dan hambatan sepanjang hidupnya. Beliau masih tetap menghadapi semua itu dengan akhlak yang baik. Masih bisa tersenyum, masih bisa menjadi penenang, penentram, dan panutan sahabat-sahabatnya.
Bagi saya, saya bersyukur bisa mengenal sahabat seperti Irfan. Lalu saya membayangkan, seseorang berkali-kali lipat lebih baik dari dia. Orang tersebut, menunjukkan jalan hidup yang perlu kita lalui. Bayangkan perasaan kita apabila dapat bertemu dengan orang tersebut, Rasulullah SAW. Bayangkan jika kita bisa meniru beliau, membayangkan apa yang akan beliau lakukan dalam setiap kesulitan yang kita lalui. Bayangkan apabila kita memiliki beliau sebagai sahabat? Bayangkan apabila kita memiliki beliau sebagai tetangga kita? Bayangkan apabila beliau membangga-banggakan kita, yang selalu merindukan kita meski belum pernah bertemu.
Dua hari yang lalu, saya menemukan video yang merepresentasikan perasaan saya tentang ini. Dan video ini sukses menyentuh hati saya. Alhamdulillah.
Jika kita merasa bersyukur bisa mengenal Nabi Muhammad SAW, masih beratkah kita mengucapkan shalawat untuknya?
Permalink
Permalink