Semakin bahagia dengan memberi

Dua minggu yang lalu saya diingatkan kembali di Kajian Ihya Al-Ghazali dengan Kang Dani mengenai peran kita di bumi. Setiap orang diberi kemudahan masing-masing dalam bidang atau kondisi yang dia alami untuk melakukan amal solehnya. Ada orang yang dimudahkan untuk mengumpulkan harta, maka amal soleh yang mungkin dimudahkan Allah SWT adalah berderma misalnya.

Dengan berderma atau mengeluarkan harta di jalan Allah SWT lewat infak (memberi nafkah keluarga) atau sedekah, jika niatnya karena-Nya, tentu akan diganjar pahala, Insya Allah. Selain itu ada juga dampak yang akan langsung terasa oleh diri kita yaitu perasaan senang atau bahagia. Entah bagaimana mekanisme kimiawi yang terjadi di dalam tubuh, namun tidak dapat dipungkiri jika kita membantu orang atau memberi orang lain sedekah, misalnya, perasaan tersebut akan muncul.

Kalau begitu, apakah kesempatan untuk bahagia itu hanya dimiliki orang yang memiliki harta? Jika kita telaah lebih lanjut, yang menimbulkan efek bahagia tersebut sebetulnya adalah tindakan “memberi” – nya. Dan ini tidak terbatas dalam hal materi.

Masih dua minggu yang lalu juga, saat saya sedang menuju Ancol di bus Transjakarta, saya duduk di seberang satu keluarga yang sama-sama baru transit di halte Senen. Mereka, bertiga, ibu-bapak dan anak laki-lakinya yang kira-kira kelas 3 SD atau lebih besar dari itu, sepertinya berencana untuk piknik ke Ancol juga. Si anak, yang berperawakan gempal dan rambut agak cepak, tampak excited dengan perjalanan tersebut meskipun wajahnya sudah berkeringat karena berjalan kaki sebelumnya saat transit. Scene berikutnya, sang bapak berusaha sok ide mengisi botol aqua anaknya dengan minuman jus di botol plastik juga. Dengan kondisi bus yang sedang berjalan, tentu hal ini sangat sulit dilakukan. Si anak hanya pasrah saja melihat usaha bapaknya sembari sesekali mengelap peluh di pelipisnya.

Di dalam Bus TJ

Saya “disconnected” sementara dari gadget dan melihat adegan di depan saya. Berusaha mengolah rasa, merasakan apa yang orang lain rasakan. Seketika itu pula saya merasa gemas dan senang melihat interaksi keluarga tersebut. Saya tiba-tiba ingin mendoakan anak itu agar bisa tumbuh dengan baik, melewati masa-masa kecilnya dengan keceriaan, dan mendapatkan pengalaman berharga dari perjalanan bersama kedua orang tuanya ini. Berharap keluarga tersebut bisa harmonis dan memberikan dampak yang baik bagi mental si anak.

Well, setelah harapan dalam hati tersebut, saya merasakan suatu sensasi kesenangan sama seperti yang saya rasakan bila mengeluarkan uang untuk sedekah. Saat itu pula saya menyimpulkan, untuk merasakan kebahagiaan tidak hanya bisa dilakukan dengan pemberian materi, namun juga bisa lewat doa yang baik.

Kalau diingat-ingat, kakek-nenek atau ua/paman/bibi/tetangga saya terkadang suka spontan berdoa jika bertemu saya atau anggota keluarganya yang lain. Semisal, saat baru bertemu setelah sekian lama mereka kadang nyeletuk, “Aduh si soleh, si kasep, bageur… dst2 (ini contoh aja ya)” Ucapan spontan tersebut adalah doa yang baik. Dan saya mengamati orang yang dengan “murah” melontarkan ucapan-ucapan baik itu memang biasanya terlihat bahagia.

Jadi, untuk berusaha membahagiakan diri sendiri tidak melulu harus mengeluarkan materi. Berbagi kasih dan sayang pun bisa membuat diri ini bahagia. Bukankah itu yang selalu jadi harapan kita saat mengucapkan basmallah atau Al Fatihah? Beberapa kali dalam sehari kita mengucapkan nama Ar-rahman & Ar-rahim. Pengucapan itu dapat pula kita maknai sebagai permintaan kita agar Allah menyematkan sifat rahman & rahim di dalam diri kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *