Menyapa dan menanyakan kabar teman-temannya sebisa mungkin.
Menebar senyum.
Being there when your friend is in trouble…
Adalah trademark yang melekat di sosok yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Bahkan pernah rekan kerja Vietnam menanyakan dalam beberapa kesempatan, “Pergi sama siapa?” Saya dengan mantap menjawab, “with my brother!” (btw, rekan kerja saya nanyanya pake bahasa Inggris tentu 😛)
Waktu saya datang ke Vietnam pertama kali di tahun 2014, saya mengenal dia saat kita makan siang bareng teman-teman Indonesia sebelum Jumatan. Dulu ada namanya KMK (Kelompok Makan Siang), karena kita rutin bertemu untuk. makan siang. Biasanya kita makan siang di Restoran D’Nyonya Penang di sebelah Masjid Musulmane Saigon. Kesan pertama yang saya tangkap dari sosok ini, orangnya bossy, suka ngatur-ngatur, koleris sanguinisnya yang dominan. Tapi saya tahu kemudian itu yang membuat dia bisa achieve banyak hal terutama di bidang pekerjaan dan pertemanannya.
Hari-hari, minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun berikutnya di Vietnam, saya banyak menghabiskan waktu bareng dengan beliau. Dari mulai sekedar makan-main bareng, hingga obrolan-obrolan deep dimana saya juga menikmati sebagai pendengar saat dia mulai berbicara. Sepertinya dia tidak pernah kehabisan bahan untuk cerita. Dari sini juga saya banyak belajar tentang kehidupan kerja dan di luar kerja, tentang bagaimana menghandle krisis, manage orang, atau sekedar hanya menyerap pengalaman travellingnya. Saat itu posisinya adalah manager di salah satu brand outfit ternama. Dan saya juga tahu dia banyak belajar otodidak untuk mencapai kapasitas dirinya yang sekarang. Itu pun menjadi sumber motivasi saya untuk terus belajar. Salah satu implementasinya adalah program rutin saya untuk beli minimal satu buku tiap bulan. Kebetulan, entah kenapa buku-buku impor di Vietnam harganya relatif murah dibanding di Indonesia.
Hal lain yang saya ingat dari dirinya adalah bagaimana spesialnya dia memperlakukan ibu dan keluarganya. Mungkin dia adalah contoh nyata anak yang berbakti kepada ibunya. Tidak heran sepertinya hidupnya dilimpahi berkah. Rezekinya lancar dan karirnya moncer. Setidaknya itu yang saya lihat. Mungkin juga hal-hal tersebut dikarenakan kedermawanannya, ketidakraguan untuk “memberi” lebih dulu, atau eratnya menyambung silaturahmi dengan teman-teman yang lain. Pernah saya sakit dan istri saya yang sedang di Indonesia memberitahukan kondisi saya ke dia. Saya seperti dikunjungi personil 911 dengan kehadiran dan perhatiannya.
Di hari terakhir saya di Vietnam, dia adalah orang yang terakhir melepas saya. Bahkan sampai memastikan barang-barang saya agar tidak tertinggal. Saya yang pergi, tapi dia yang sibuk. Hari itu, penghujung Desember 2018, saya tidak berniat untuk menjadi orang yang melankolis mengingat relokasi saya kembali ke Indonesia serba diburu-buru. Saya hanya mendapat short notice dalam waktu 2 minggu untuk berkemas dan pindah ke proyek lain. Tapi entah mengapa, pelukan terakhir saya ke dia membuat tangisan saya meledak. Betul-betul tidak tertahankan aliran air mata ini untuk berpisah dengan sosok yang sudah saya anggap kakak saya sendiri. Hingga taksi Vinasun saya sudah setengah jalan menuju Bandara Tan Son Nhat pun, saya masih terisak-isak.
Di awal 2019 kami masih bisa bertemu di Jakarta. Lalu di akhir Ramadhan pun kami bertemu di Masjid Istiqlal karena dia punya keinginan untuk mencoba tarawih di sana. Ternyata malam itu, 1 Juni 2019, di Istiqlal adalah perjumpaan kami yang terakhir di dunia ini. Saya memang sempat berkonsultasi dengan dia sekitar bulan September 2019. Namun setelah itu kondisi kesehatannya memburuk (saya baru tahu kemudian). Akhirnya di awal 2020, Allah memanggil kembali orang baik ini ke pangkuan-Nya.
Bagi saya, saya sangat bersyukur bisa mengalami chapter hidup di Vietnam, dipertemukan dengan teman-teman yang saya kenal hingga sekarang. Dan untuk teman yang satu ini, saya merasa Allah menskenariokan kehadiran dia agar saya bertransformasi menjadi orang yang lebih baik di dunia kerja, keluarga, dan lingkungan sekitar.
Semoga di alam kubur beliau diberi cahaya, diluaskan, dilindungi, hingga dimasukkan ke dalam surga-Nya. Insya Allah kita akan berjumpa lagi Mas Sapto.
Sapto Adi Jalu Budihanto
16 Februari 1977 – 30 Januari 2020