Mengangkot

Ini kisah hari kemarin lusa…

Jumat, 19 November 2010.

Hari ini saya kembali ke kampus setelah sekian lamanya. Haha, padahal cuma 2 hari ngga ke kampus, tapi rasanya sudah lama sekali.
Agenda hari ini, ngambil majalah di Yosay, liat festival Monju, dan ke nikahannya Kang Prio. Entah mengapa, selepas solat Jumat saya jadi ingin naik angkot (buat yang belum tau – kacida pisan – angkot itu singkatan dari: angkutan kota). Mungkin ini akibat efek semalam, saat saya pulang dari Jakarta, sampai di pool X-Trans Cihampelas jam setengah 11 malam, tapi masih ada angkot yang bisa mengantar saya sampai rumah. Dengan relatif cepat. Dan hari ini saya pun ketagihan.

Jadilah saya naik angkot. Seperti masa-masa TPB, saat saya belum menggunakan motor, saya naik angkot 01 (Kalapa-Caheum) dilanjutkan dengan angkot 03 (Kalapa-Dago). Sebenarnya kalau boleh memilih, saya lebih senang naik angkot. Di angkot saya bisa mengisi waktu saya dengan membaca buku, tidur, ngeceng (ups…bukan yang ‘itu’ maksudnya) alias memerhatikan gerak-gerik orang dan menebak sifatnya dan mengambil pelajaran daripadanya (haha…bahasanya gaya kan?). Yup, saat itu saya terinspirasi sebuah pemikiran tentang angkot dan warga Bandung.

Angkot Dago yang saya naiki berhenti di pertigaan depan Taman Lalulintas. Masuklah 4 orang anak SMP 2 yang sedang terburu-buru. Tampaknya mereka akan ikut berpartisipasi di Festival Musik di Monju, karena masing-masing membawa angklung (FYI: hari itu adalah hari diresmikannya angklung sebagai warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO). Anak-anak SMP itu recok pisan. Mengingatkan saya saat usia saya sama dengan mereka. Pulang angkot bareng teman-teman, dan yang pasti ribut. Entah itu ngobrolin pelajaran, tempat-tempat sepanjang perjalanan, CS, dan lain-lain. Back to angkot…Si anak-anak SMP itu ngobrolnya asa rame, ngobrolin pelajaran, organisasi, pengalaman-pengalaman mereka, sampai ngobrolin orang (waduh, ghibah neng…hehe). Nah, saat itulah saya sadar kalau angkot ini erat hubungannya dengan perilaku masyarakat Kota Bandung.

Bayangkan, tiap kali kita naik angkot, jika kita (setidaknya) mengucapkan: “Bade ka mana Pak?” kepada salah seorang penumpang di dekat kita, berapa banyak lagi percakapan yang akan menyusul? Dengan orang itu kita bisa berbicara tentang pekerjaan, kehidupan keluarga, bahkan permasalahan kota. Dan bukan tidak mungkin dari obrolan itu, kita dapat menambah teman atau relasi baru.

Terbayangkah hubungan antara angkot dan warga Bandung? Bagi saya angkot dengan fungsi seperti itu dapat meningkatkan interaksi sosial yang ujung-ujungnya mengasah rasa empati dan meniadakan apatisme dalam diri kita.
Tapi menurut saya hambatannya juga ada, yang pertama adalah keberanian untuk memulai dan yang kedua adalah fenomena beralihnya penggunaan transportasi publik ke transportasi pribadi.

Hambatan pertama mungkin dapat diakali dengan sosialisasi dan kampanye besar-besaran, atau bahkan Perda jika perlu. Yaa…siapa tau suatu saat nanti ada Perda wajib senyum dan sapa saat naik angkot.
Sedangkan untuk hambatan kedua, ini cukup kompleks menurut saya. Status angkot saat ini lebih condong sebagai private transportation (transportasi swasta). Dimana sopir-sopir angkot berada dibawah kekuasaan juragan angkot. Hal itulah yang mengurangi kinerja angkot dalam melayani penumpang. Sopir angkot dituntut untuk nyetor uang, sehingga rela ngetem lama. Nah, saya rasa pemerintah perlu memikirkan bagaimana caranya mengubah status angkot dari kepemilikan swasta, murni menjadi angkutan publik di bawah pengawasan pemerintah kota. Mungkin sang juragan-juragannya cukup menjadi kreditur mobil angkotnya saja, atau ada subsidi silang dari pemerintah untuk angkot dan membuat sebuah sistem yang dapat mengatur lalu lintas angkot (misal, seperti MRT, dengan jadwal khusus–jadi jumlah angkot dihitung dan diperkirakan durasi selang tiap angkot yang datang dan pergi).

Masalah angkot dan MRT? Next time kita bahas…saya juga sebenernya lagi mikirin sesuatu tentang ini.

Kembali ke cerita…

Akhirnya hari itu saya menyelesaikan semua agenda yang telah direncanakan.
Oia, btw, waktu mendengar nama Festival Monju, kirain saya Monju itu nama tempat di Korea (kan di sana ada Pulau Jeju…hehe). Ternyata Monju itu singkatan dari Monumen Perjuangan.

Monju World Music Festival: Suasana saat pengukuhan angklung sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO

Festivalnya, menurut saya, walaupun pengisi acaranya bagus-bagus tapi manajemen acaranya kurang bagus. Apalagi dengan mengklaim sebagai world music festival.

Okey…begitulah kisah saya di hari Jumat kemarin lusa. Oia, buat Kang Prio dan Teh Rina, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah. Amin.

5 Comments on "Mengangkot"


  1. Bener gan, sebenerna naek angkot teh ngeunah. BIsa sabari maca oge. Tapi, ya si angkotnya malah merendahkan mutu mereka sendiri : sering ngetem, melanggar lalu lintas, bau rokok.Ceuk urang mah, Bandung heurin teuing ku angkot. Kmh nya solusina? Subway? Busway? Trans Metro Bandung?

    Reply

  2. @ijal:Untuk paragraf pertama:klo kata saya itu bisa diatasi dengan pengarahan/brifing untuk peningkatan mutu layanan/sejenisnya dari pihak pemerintah. Masalahnya, walopun angkot itu \”plat kuning\” tapi kenyataannya ga dipegang sama pemkot. Coba liat DAMRI, yang jelas2 dibawah Dishub.Pekerja (sopir)-nya bisa ditingkatkan kinerjanya.Masalahnya sekarang berarti bagaimana ngubah \”private transportation\” itu menjadi \”public transportation\”Untuk paragraf kedua:Urang sebenerna pernah memimpikan Bandung dengan subway.Tapi sekarang2 jadi sadar klo \”Mass Transport\” jenis itu agak kurang feasible untuk beberapa tahun mendatang. Monorel mungkin yg paling feasible. Tapi kayanya angkot juga harus dipertahanin. Diubah statusnya jadi \”paratransit\”.Angkutan kecil dg jadwal yg rapi.Soalnya untuk ngubah angkot ke moda lain butuh analisis sosial-ekonomi-budaya yang mendalam juga.Ngga cukup dengan solusi teknis (langsung mengadakan moda angkutan baru).Yah,begitulah pendapat saya.

    Reply

  3. manajemennya amburadul ya?! coba tonton lagi yang 2011 kalo ga salah tanggal 18 juli sekarang

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *