Akhir bulan yang lalu saya iseng-iseng window shopping di Gramedia Grand Indonesia. Biasanya saya menghabiskan waktu di area rak self-improvement atau non-fiksi. Tapi saat itu saya coba berkeliling area lain di Gramedia: seksi cerita anak dan fiksi. Sepertinya sudah lama saya tidak membaca-baca buku fiksi. Dulu sepertinya banyak buku-buku atau novel fiksi yang saya baca, mulai dari seri Harry Potter, buku-bukunya Raditya Dika, Adhitya Mulia, Perahu Kertas-nya Dee (saya mau cerita tentang ini lagi next time), hingga novelnya Habbiburahman El-Shirazy dan Asma Nadia yang bertema religi. Agaknya kesenangan membaca novel fiksi ini berkurang dengan semakin banyaknya film-film yang diangkat dari novel dan semakin mudahnya kita mengakses film-film tersebut via internet (Netflix, Disney, dll). Lebih hemat waktu untuk menikmati cerita fiksi dengan nonton film. Mungkin hal tersebut bukan hanya dialami saya saja. Betul tidak ya?
Tapi akhirnya saya ingin coba “slow down” lagi dan merasakan momen membaca dengan sabar buku fiksi dan tenggelam dalam keasyikan membuka-buka tiap lembarannya. Tidak sengaja mata saya terpaku kepada buku cerita kecil berjudul “Le Petit Prince” atau “Pangeran Cilik” yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dari bahasa aslinya yaitu bahasa Prancis. Saya pernah melihat cover buku ini di Goodreads, di list buku yang dibaca orang lain. Penasaran dengan buku ini, saya pun memutuskan untuk membelinya.
Eh, ternyata peruntukan buku ini bukan untuk anak kecil, meskipun banyak ilustrasi berwarna yang dibuat pengarangnya. Ya, mungkin anak kecil juga bisa membacanya sih. Tapi yang saya tangkap banyak satire yang terselubung yang ditujukan untuk orang dewasa. Buku ini mengisahkan seorang penerbang yang pesawatnya rusak dan terdampar di tengah gurun. Lalu dia bertemu dengan seorang pangeran kecil yang berasal dari luar angkasa. Di sana si Pangeran Cilik ini hidup sendiri di sebuah asteroid. Dia bercerita bahwa hanya ada dia, sekuntum bunga mawar yang dirawatnya, dan dua buah gunung kecil di planetnya.
Si Pangeran Cilik ini sangat kritis, layaknya anak kecil yang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan random yang sering tidak diduga oleh orang dewasa. Di sinilah saya menangkap tema satire yang ada di buku ini. Terkadang orang dewasa melakukan sesuatu yang esensinya tidak terlalu penting untuk hidupnya sendiri. Selain percakapan antara dia dan penerbang, si Pangeran Cilik ini menceritakan kisah kunjungannya ke planet-planet (asteroid) kecil yang lain yang hanya dihuni oleh satu orang tiap planetnya. Dia selalu bertanya ke tiap penghuni planet tersebut. Karakter si Pangeran Cilik ini adalah dia tidak akan lupa dengan pertanyaannya dan tidak akan pergi sebelum pertanyaannya dijawab meskipun jawaban yang dia terima kadang aneh (wajar untuk orang dewasa, tapi tidak masuk akal di pikiran kecilnya).
[Spoiler Alert] Dari kunjungan-kunjungannya ke planet lain itu, dia mendapat banyak pengalaman dari tiap karakter penghuni planet. Si Pangeran Cilik itu heran mengapa orang dewasa sangat gila hormat, padahal tidak ada manfaatnya. Lalu ada juga penghuni planet yang selalu sibuk menghitung hartanya, padahal tidak ada gunanya. Ada juga penghuni planet yang mengerjakan sesuatu yang rutin tanpa tahu esensinya. Dia menghidup-matikan lampu yang ada di planetnya karena rotasi planetnya sangat cepat (siang-malam berganti sangat cepat).Pelajaran yang cukup menarik perhatian saya adalah saat dia pertama kali turun ke bumi dan mengunjungi kebun yang penuh dengan mawar, sama seperti bunga mawar miliknya. Lalu ada seekor rubah yang meminta dia menjinakkannya. Rubah tersebut awalnya termasuk binatang liar, tapi saat dia dijinakkan, dia akan selalu mengingat si Pangeran Cilik. Pangeran Cilik itu berkata, kalau dia tidak akan tinggal lama di bumi, pasti saat dia pergi rubah akan bersedih. Tapi bagi sang rubah, jika dia sudah dijinakkan dan ditinggal, pengalaman tersebut akan bermakna untuknya. Saat dia melihat hamparan kebun jagung yang berwarna keemasan, dia akan ingat dengan si Pangeran Cilik. Pun sama halnya dengan kebun mawar dibandingkan dengan setangkai mawar milik si Pangeran Cilik. Walaupun mawar-mawar di kebun sangat indah dan banyak, itu tidak sama dengan mawar “jinak” miliknya di planet asalnya. Sang rubah menunjukkan bahwa mawar si Pangeran Cilik sudah memberi makna pada hidup si Pangeran dan dia tidak perlu tergoda untuk mengambil mawar-mawar lain di kebun itu. Kalau bahasa Indonesianya, “Jangan terbuai dengan lebih hijaunya rumput tetangga.” Mungkin di Prancis yang dijadikan perumpamaan adalah bunga mawar, bukan rumput.
Secara keseluruhan, buku ini adalah message in disguise untuk orang dewasa. Banyak hal-hal yang berupa sindiran untuk pola pikir kita sebagai manusia dewasa. Buat saya pribadi, karakter si Pangeran Cilik yang kritis dan tidak ada beban dalam bertanya adalah pengingat untuk bisa menggali esensi kehidupan, untuk terus mencari makna dari apa yang kita lalui di hidup kita ini.
Bener sih, bahkan ada yang ngulas kalau ukuran tiap-tiap planet yang diceritain itu ada maksudnya