Home Leave 2022

Di suatu malam Jumat di bulan Juni 2022, seperti biasa saya berusaha ikut kajiannya Kang Dani. Kadang kalau sempat, ikut langsung via zoom. Namun kebanyakan saya catch up isi ceramah dan diskusinya via youtube. Tidak terasa sudah lebih dari setahun saya menimba ilmu melalui beliau, meskipun belum pernah bertatap muka langsung.

Tema kajian pada malam tersebut membahas tentang kurban, karena suasananya dekat-dekat Idul Adha atau Idul Qurban. Kurban, yang mempunyai dasar kata “q-r-b” di dalam Bahasa Arab juga bermakna “mendekat”. Dalam konteks ini mempersembahkan kurban berarti juga mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kita menyerahkan hal-hal yang kita cintai hanya untuk Allah SWT.

Penjelasan verb “q-r-b” dari The Clear Quran Dictionary

Ternyata saat melaksanakan ibadah kurban, hewan kurban yang dianjurkan untuk disembelih adalah yang sudah kita rawat sendiri sejak kecil. Seiring berjalannya waktu, akan timbul rasa kepemilikan /keterhubungan, dan saat sudah cukup umurnya, hewan tersebut kita kurbankan. Bahkan dianjurkan pula kita sendiri yang menyembelih hewan kurbannya. Atau setidaknya kita hadir saat pemotongannya. Disitu akan terasa sekali makna kurbannya. Keikhlasan kita diuji saat melepas “attachment” terhadap sesuatu yang kita cintai. Mirip seperti yang dirasakan oleh Nabi Ibrahim saat diperintahkan Allah SWT untuk menyembelih anaknya.

Saat itu saya merenung, jika selama ini kurban yang saya lakukan adalah semudah memainkan jari di atas aplikasi mobile banking, kurban bagaimana yang bisa mendekatkan diri saya kepada Allah SWT?

Umroh

Kira-kira 2 minggu sebelumnya saya dapet DM dari salah satu agen travel yang dulu pernah saya kontak. Saya memang pernah berencana untuk umroh di tahun lalu. Namun karena ada syarat karantina yang menambah biaya, saya pending dulu niat tersebut.

Tidak ada sesuatu yang kebetulan, segala sesuatu yang terjadi itu sudah kehendak Allah. Kombinasi dari kajian Kang Dani malam itu, DM dari agen travel, dan hasil renungan saya, memberikan percikan ide bahwa saya perlu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mengorbankan harta (hewan kurban) yang selama ini saya rawat dan besarkan untuk ongkos berangkat umroh.

Qadarullah, temen saya, Ijal, kebetulan sedang umroh juga dan sempat posting suasana di sana lewat status Whatsapp. Akhirnya saya pun konsultasi ke dia mengenai pemilihan travel umrohnya. Ini salah satu manfaat baik “sharing nikmat.” Asalkan niat kita murni untuk “menyatakan nikmat” seperti yang Allah SWT katakan di QS Ad-Dhuha:11, sharing pencapaian ataupun kegiatan ibadah (nikmat spriritual), menurut saya bukan sesuatu yang perlu dihindarkan. Manfaat “sharing” tersebut bisa berdampak positif seperti munculnya kesadaran untuk ikut beribadah atau dalam kasus saya, saya jadi bisa berdiskusi tentang persiapan umroh.

Undangan menuju Tanah Suci

Menjaga niat adalah bagian yang paling sulit dalam beribadah. Seorang ulama, Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling berat yang aku hadapi daripada niat, karena niat selalu berubah-ubah.” Sejak awal proses persiapan umroh ini saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa umroh ini untuk mendekatkan diri kepada Allah dan umroh ini adalah undangan. Hanya Sang Pengundang yang bisa memutuskan siapa yang layak untuk diundang. Dan Dia lah yang akan memampukan yang diundang.

Tidak ada sesuatu yang paling berat yang aku hadapi daripada niat, karena niat selalu berubah-ubah.

Sufyan Ats-Tsauri

Oleh karena itu meskipun sudah bisa memenuhi syarat finansial, kita mesti siap-siap juga. Persiapan dari sisi ukhrowi dengan memperketat beramal dan membaca referensi keilmuan tentang umroh, juga membaca sirah Nabi SAW. Dan kita juga perlu siap, siapa tahu Sang Pengundang memberikan “seleksi” dulu. Dan itulah yang saya rasakan.

Ujian kesabaran beberapa kali kami rasakan sejak proses pemenuhan syarat-syarat administrasi. Dari mulai mepetnya waktu untuk memperpanjang paspor yang hampir habis, susahnya log in sistem paspor online, atau saat petugas imigrasi kelupaan mengabulkan rikues penambahan nama di paspor baru. Di seluruh proses tersebut selalu ada momen dimana kami bisa memilih untuk menggerutu, marah – marah serta komplain, atau tetap bersabar dan ikhlas terhadap kejadian yang berada di luar kontrol.

Di lain waktu saya juga mengalami sakit yang cukup serius. Setidaknya saya mengalami tiga kali sakit. Dan yang paling parah adalah sakit terakhir tepat seminggu sebelum berangkat di mana saya juga perlu dirawat inap. Di setiap sakit itu saya merasakan bahwa saya sedang “dicuci”. Saya perlu melewati proses tersebut dan berharap itulah mekanisme pengguguran dosa-dosa saya sebelum berangkat ke tanah suci. Sudut pandang saya saat itu sudah berubah. Saya mensyukuri tiap momen sakit itu sebagai, mudah-mudahan, pembersih setiap khilaf, lalai, dan maksiat yang saya ketahui dan tidak saya ketahui.

Hampir tidak jadi berangkat

Di bulan Agustus kami sudah tenang-tenang saja karena semua persyaratan administrasi dan pembayaran biaya umroh sudah selesai. Namun tiba-tiba ada kebijakan baru dari pemerintah yang memperbolehkan maskapai untuk menaikkan harga tiket. Secara tidak langsung keadaan ini memengaruhi status ticket issuance dari maskapai. Saya akhirnya dihubungi pihak travel bahwa paket umroh yang saya pilih terpaksa harus dialihkan dan saya diminta untuk memutuskan secepatnya, kalau tidak semua slot akan terisi dan ada kemungkinan tidak dapat seat lagi.

Sayangnya saat itu saya tidak langsung memutuskan pengalihan paket umroh ke tanggal-tanggal yang disediakan. Alasannya saat itu kami sudah memilih paket umroh plus Turki. Dimana dengan harga yang relatif tidak terlalu besar selisihnya, kami bisa menikmati tur di Istanbul dan Cappadocia sebelum terbang ke Tanah Suci. Masih ada rasa denial dan berharap bahwa keputusan pemindahan ini bisa berubah.

Namun malamnya saya teringat sebuah potongan kisah di Sirah Nabawiyah pada masa setelah Perang Hunain. Perang Hunain merupakan perang pertama setelah penaklukan Mekah. Saat itu kekuatan pasukan muslim sangat besar setelah bergabungnya kekuatan-kekuatan baru dari Mekah dan sekitarnya yang baru masuk Islam. Beberapa orang yang baru masuk Islam itu menyombongkan diri dengan kekuatan besar mereka. Namun hampir saja pasukan Muslim dikalahkan di awal Perang Hunain ini kalau tidak dikarenakan orang-orang setia di lingkaran Rasulullah SAW.

Singkat cerita, dari Perang Hunain ini, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang berlimpah. Rasulullah SAW pun kemudian membagi-bagikan rampasan perang ini kepada umat Islam. Namun, yang diprioritaskan oleh beliau adalah mualaf (yang baru masuk Islam) setelah penaklukan Mekah. Sebagai contoh, ratusan unta dan kambing diberikan kepada Abu Sufyan dan keluarganya. Mungkin di jaman sekarang unta ini bagaikan mobil Land Rover. Bayangkan betapa banyaknya harta yang dibagikan itu!

Keputusan Rasulullah SAW ini menimbulkan desas-desus di kalangan kaum Anshar bahwa beliau berat sebelah, lebih condong ke keluarganya dari Suku Quraisy dalam pembagian ghanimah. Akhirnya situasi ini terdengar oleh Rasulullah SAW. Beliau meminta orang-orang Anshar untuk berkumpul. Beliau pun berbicara kepada mereka.

“Hai kaum Anshar, apakah hati kalian dipenuhi keinginan terhadap kekayaan dunia yang kugunakan untuk membujuk jiwa-jiwa mereka agar mau tunduk dan patuh kepada Allah sedangkan keislaman kalian telah aku percayai? Apakah kalian tidak bahagia, wahai kaum Anshar, orang lain membawa domba dan unta, sementara kalian membawa Rasulullah ke rumah kalian? Jika semua orang, kecuali kaum Anshar, pergi ke suatu jalan dan orang Anshar ke jalan lain, aku akan pergi ke jalan orang Anshar. Allah Maha Pengasih terhadap kaum Anshar, dan terhadap anak cucunya.”

Kaum Anshar yang berkumpul menangis hingga janggut mereka basah dengan air mata. Serentak mereka berkata, “Kami berbahagia dengan Rasulullah sebagai bagian kami.

(percakapan ini disalin dari Buku Muhammad karya Martin Lings)

Ingatan akan kisah itu tiba-tiba membuat saya bergetar. Seakan-akan Rasulullah SAW berkata, “Ada aku di Madinah. Di Turki mau ke siapa?” Mirip dengan situasi saat kaum Anshar berharap ghanimah yang banyak namun tidak sadar mereka diberi nikmat untuk selalu dekat dengan sosok yang mulia. Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tathimushalihat. Akhirnya saya sadar bahwa pengalihan paket umroh yang di luar kuasa saya ini adalah anugerah Allah yang pastinya terbaik bagi saya.

Apakah kalian tidak bahagia, wahai kaum Anshar, orang lain membawa domba dan unta, sementara kalian membawa Rasulullah ke rumah kalian?

Jauh sebelum kejadian tidak terduga ini, sebetulnya saya juga memiliki dilema apakah keputusan saya untuk mengambil paket umroh +Turki ini baik atau tidak. Di satu sisi sepertinya banyak keuntungan seakan-seakan sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, sekali pergi dua negara terkunjungi. Namun ada juga perasaan khawatir bahwa fokus perjalanan ini akan lebih condong ke Turki, dibanding menumpahkan kerinduan di Kota Nabi dan di Kota Suci Makkah. Terlebih ini adalah perjalanan pertama saya ke sana. Lagi-lagi saya perlu meluruskan niat.

Alhamdulillah kegalauan saya langsung diputuskan oleh Allah. Di sini saya juga diingatkan oleh adik saya untuk meneladani salah satu prinsip Ali bin Abi Thalib. Beliau lebih bahagia kalau keinginannya tidak terkabul. Karena dengan begitu beliau mendapatkan hal-hal yang lebih baik yang dikehendaki Allah.

Latihan untuk “Pulang”

Saat masih secondment dulu, saya mendapatkan jatah home leave selama 2 minggu untuk pulang ke tanah air, ke kampung halaman. Saat sudah bekerja di Indonesia, fasilitas itu tidak saya dapatkan lagi karena sudah jelas saya berada “at home.” Namun perjalanan umroh kali ini mengingatkan lagi tentang masa-masa home leave dulu. Saat-saat saya excited dan tidak sabar untuk kembali ke kampung halaman, ke kota kelahiran, dan bersua dengan orang-orang tercinta. Perjalanan umroh ini pun saya maknai sebagai “home leave baru” saya. Sebuah perjalanan pulang atau bisa dikatakan “latihan” untuk “pulang”. Saya tidak sabar untuk bertemu seseorang dan mendekatkan diri kepada pusat yang selama ini saya hadapkan wajah saya setidaknya 5 kali sehari.

Saya tidak sabar untuk menyapa,

Assalaamualaika Yaa Rasulullah...

I’m home.

Sesaat sebelum mendarat di Jeddah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *