Alhamdulillah saya mendapat kesempatan untuk hadir di acara “pengajian” Ust. Nouman Ali Khan (NAK) di Indonesia Convention Exhibition (ICE) di BSD semalam (12 November 2022). Sepertinya saya tidak perlu mengenalkan beliau, karena profil dan latar belakangnya bisa dengan mudah di googling. Saya pertama kali memerhatikan dan mengikuti ceramahnya saat diberi rujukan salah satu materi yang beliau bawa lewat seorang mentor di awal 2021. Menurut saya beliau adalah salah satu orang yang mampu (diberi kemampuan) mentakwilkan Alquran. Untuk memahami makna Alquran, bisa dilakukan dengan dua cara: melalui tafsir dan takwil. Tafsir itu adalah penjelasan aspek lahiriah. Banyak kitab tafsir yang sudah disusun seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Azhar, Tafsir dari Kementrian Agama RI, dsb. Sedangkan melalui takwil, aspek batiniah dari Alquran dapat diungkapkan. Aspek batiniah tersebut adalah makna Alquran yang tersirat (implisit) yang bisa terdiri dari beberapa lapis makna. Salah seorang ulama, Abdullah Darraz (1894-1958 M) dalam bukunya an-Naba’ mengasosiasikan ayat-ayat Alquran itu bagaikan intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya berbeda dan tidak mustahil jika ada yang akan melihat lebih banyak dibandingkan dari yang kita lihat.
Di acara “Story Night” tadi malam, Ust. NAK membawakan dan membedah kisah terbaik (the most beautiful story), yaitu kisah Nabi Yusuf Alaihisalaam (AS), yang Allah ceritakan dalam Alquran surat ke-12. Mungkin kisah Nabi Yusuf ini sudah sering kita dengar bahkan kita hapal sejak kecil. Namun hal baru yang dibawakan Ust. NAK ini adalah beliau melakukan dulu reprogramming mindset kami di awal dengan menekankan “the beautifulness of this story.” Jadi, dari timeline kisah Nabi Yusuf yang kita tahu: dibenci saudara-saudara tua nya, dimasukkan ke dalam sumur, diambil kafilah yang lewat dan dijual sebagai budak, difitnah istri pejabat Mesir, dan dimasukkan ke penjara, meskipun perjalanan hidupnya terlihat gelap dan traumatis, kita perlu berusaha membedah dan mengambil pesan keindahan yang sudah Allah nyatakan (di ayat ke-3 Surat Yusuf) dari rangkaian kisah tersebut.
Pesan parenting tentang kasih sayang
Seperti yang pernah saya tulis di sini tentang betapa kayanya Bahasa Arab, kadang ada terjemahan Bahasa Arab Alquran yang mungkin belum bisa menjelaskan dengan tepat maksud dari dan nuansa ayat di Alquran dikarenakan kurangnya padanan kata atau pemahaman atas Bahasa Arab itu sendiri. Di Story Night semalam, Episode pertama dibuka dengan membahas hanya satu frase yang diucapkan oleh Nabi Yusuf AS kepada ayahnya, Nabi Yakub AS: “Yaa Abati.” يَـٰٓأَبَتِ
Yaa Abati ini, di dalam terjemahan Bahasa Indonesia hanya bermakna, “Wahai ayahku.” Kalau berdasarkan The Clear Quran, itu artinya “O my dear father!” Namun Ust. NAK membedah lebih jauh lagi mengenai hubungan antara Nabi Yusuf dan ayahnya. Mengapa Nabi Yusuf bisa dengan mudahnya, di usia yang masih kecil, untuk terbuka dan menyatakan rasa sayangnya kepada ayahnya? Bahkan menurut Ust. NAK, frase Yaa Abati ini menunjukkan hubungan yang jauh lebih erat lagi. Kalau merujuk penjelasan Ust. Adi Hidayat di sini, abati itu perpaduan antara sayang dan hormat.
Di sini ada pesan tersirat tentang pentingnya memupuk kasih sayang kepada anak sejak dini. Karena tidak ada reaksi tanpa aksi. Lebih jauh lagi, Ust. NAK ini menjelaskan tentang 5 love language yang perlu dipahami, yaitu:
- Words/affection (kata-kata)
- Service (pelayanan)
- Gift (hadiah)
- Hug (pelukan/ sentuhan fisik)
- Space
Saya pernah menulis tentang love language di sini. Itu berdasarkan bukunya Gary Chapman yang saya baca. Yang agak beda, item no.5 di bukunya Chapman adalah “saat-saat berkesan/ waktu yang berkualitas.” Sedangkan Ust. NAK menciptakan istilah “space.” Terlihat sama namun beda. Space ini pada praktiknya adalah bersedia memberikan perhatian penuh (pay full attention). Karena space sendiri bisa berarti ruang dan waktu.
Saat Nabi Yusuf ingin menceritakan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Yakub bersegera memberinya “space”. Ini adalah contoh interaksi yang penuh kasih sayang antara anak dan ayah. Banyak orang yang hidup di bawah ketakutan terhadap orang lain karena orang lain tersebut tidak memberinya space. Mungkin ini juga salah satu poin yang perlu dipertimbangkan dalam parenting. Agar anak bisa bertumbuh kembang dengan baik, orang tua perlu memberikan mereka space.
Pentingnya Growth Mindset
Di Surat Yusuf ini Allah menunjukkan dua jalan yang berbeda yang bisa diambil manusia dalam menghadapi masalah dalam hidupnya. Perbandingan itu ditunjukkan dengan perjalanan hidup Nabi Yusuf dan saudara-saudara tuanya.
Untuk memahami konteks dan asal-usul perbedaan keduanya, akan lebih baik jika kita tahu latar belakangnya. Untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai latar belakang keluarga Yakub, kita dapat melihat dari cerita Israiliyat. Rasulullah SAW pernah berkata, “Jika kamu dikisahi oleh Ahli Kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula didustakan.” Maksudnya, kaum muslim perlu menyelidiki lebih dulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan Ahli Kitab. Ust. NAK juga mengatakan, ada 3 kondisi yang perlu diperhatikan untuk memutuskan bisa tidaknya kita merujuk kepada kitab-kitab terdahulu yang beredar saat ini:
- Jika isinya bertentangan dengan Alquran, jangan diikuti
- Jika isinya sejalan dengan Alquran, bisa kita terima
- Jika isinya tidak dijelaskan dan tidak bertentangan dalam Alquran, itu bisa kita rujuk (tentunya mengenai poin ini, kita perlu merujuk hasil studi ulama yang lebih mumpuni dalam menentukan ini)
Bahkan metode merujuk ke cerita-cerita Israiliyat ini pernah dilakukan saat penafsiran Alquran di periode Mutaqaddimin (periode yang lain setelahny aadalah: periode Mutaakhirin dan periode Baru).
Berdasarkan cerita dari Alkitab, Nabi Yakub memiliki dua istri yaitu Rachel dan Lea. Nabi Yakub lebih cenderung kepada Rachel dibandingkan Lea, namun Lea melahirkan putra-putra Yakub lebih dahulu. Karena Yakub memiliki garis keturunan Nabi dari Ibrahim dan Ishaq, pastilah ada keturunannya yang menjadi Nabi juga. Lalu ternyata Rachel melahirkan Yusuf dan adiknya Bunyamin. Somehow Lea jealous terhadap Rachel saat itu dan somehow pula diturunkan kepada anak-anaknya. Jadinya ada “dinding (wall)” antara putra-putra Lea terhadap Nabi Yakub, Yusuf, dan Bunyamin. Dinding inilah yang membedakan cara interaksi putra-putra Yakub yang lain tersebut dengan ayahnya dibandingkan dengan Nabi Yusuf.
Memberikan peringatan akan bahaya, termasuk ekspresi kasih sayang
Nabi Yakub mengetahui jealousy/ hasad yang tumbuh di putra-putranya terhadap Nabi Yusuf. Dan dia pun mengirimkan pesan agar Yusuf berhati-hati dengan tidak menceritakan mimpinya (11 bintang, matahari, dan bulan bersujud kepada Yusuf) kepada saudaranya (QS 12: 5). Di sini ada makna tersirat juga, yaitu rasa sayang pun bisa berupa memberikan nasihat untuk orang terkasih agar waspada akan sesuatu yang buruk (give warn about danger). Saat mendengar ini, saya jadi teringat juga tentang sebuah pesan: Jangan berlaku keras kepada keluargamu kecuali untuk 3 hal ini:
- Saat melanggar aturan agama
- Saat melanggar norma
- Saat berada di kondisi yang membahayakan
Untuk no. 1 dan 2 sudah cukup jelas, kita perlu menegakkan kebenaran. Untuk no. 3 contohnya saat sedang jalan-jalan di hutan, anak kita misalnya, tidak sadar berjalan menuju jurang. Tentu saja kita harus ambil tindakan yang cepat dan mungkin kasar (immediate action) seperti menarik tangan atau tubuhnya dengan sekejap. Mungkin anak itu akan menjerit kesakitan karena tangannya ditarik dengan tiba-tiba. Namun ia selamat dari bahaya yang lebih besar. Inilah contoh yang ditunjukan Nabi Yakub saat memberi warning kepada Yusuf. Btw, situasi seperti ini juga mungkin sering kita alami di kehidupan nyata. Kita adalah anak kecil yang dikerasinnya. Dan yang menyelamatkan kita itu adalah Allah. Terkadang kita melihat kondisi tidak enak yang menimpa kita, tapi dengan itu kita diselamatkan dari bahaya yang lebih besar.
Pentingnya menghindari mental korban (victim mentality)
Kisah Nabi Yusuf secara keseluruhan terlihat seperti cerita yang traumatis yang dialami seorang manusia. Mari kita lihat timelinenya:
- Yusuf dibenci saudaranya
- Yusuf dibuang ke sumur
- Yusuf diketemukan kafilah dagang
- Yusuf dibawa ke negeri yang jauh (Mesir)
- Yusuf dijual sebagai budak
- Yusuf difitnah memperkosa
- Yusuf masuk penjara
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itulah ungkapan dalam Bahasa Indonesia yang bisa mencerminkan kondisi tersebut. Jika Nabi Yusuf tidak diberi “petunjuk,” beliaulah yang paling pantas disebut “korban.” Tetapi, Nabi Yusuf tidak menganggap kondisinya sebagai korban kezaliman. Seperti yang beliau katakan di QS 12:38 saat berada di penjara:
"dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishak dan Yakub. Tidak pantas bagi kami (para nabi) mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah. Itu adalah karunia dari Allah kepada kami dan kepada manusia (semuanya); tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur."
Di sini ada pesan bagi orang beriman untuk selalu melihat nikmat yang tidak terhitung banyaknya dari Allah SWT dibandingkan dengan komplain atas beberapa kesulitan yang dialami.
Cara pandang Nabi Yusuf terhadap kejadian-kejadian yang dia hadapi adalah dengan menganggap dirinya seseorang yang “blessed with challenges” (dianugerahi tantangan demi tantangan), that’s how Allah will keep choosing on you.
To grow, we must face challenge(s).
So, don’t identify ourselves as victim.
Kenapa kita perlu bertumbuh?
Nabi Yusuf menghadapi cobaan demi cobaan karena Allah telah memilihnya. Dari pengalaman-pengalaman yang beliau hadapi, pada akhirnya dia menjadi seorang pembesar Mesir. Dari beberapa keterangan, dia menjadi semacam menteri ekonomi atau logistiknya dan beliau harus membawa Mesir melewati masa paceklik yang sulit. Dengan pengalaman hidup yang pernah menjadi budak, tinggal di rumah pejabat Mesir, dan masuk penjara, Yusuf sudah memahami berbagai macam kondisi strata sosial. Dia sudah mengenal sifat-sifat masyarakat dan memiliki trik-trik agar bantuan pemerintah, misalnya, bisa sampai ke tangan orang yang dibutuhkan dengan adil dan tanpa dikorupsi. Dengan pengalaman itulah ia dengan cakap bisa menghadapi masalah yang lebih besar sesuai amanatnya. Itulah mengapa kita perlu bertumbuh (grow) dari setiap tantangan yang kita hadapi.
Lalu, apa yang akan terjadi bagi orang-orang yang punya mental victim? Masih di Surat Yusuf (QS 12) Ayat 77:
Mereka berkata, "Jika ia mencuri, maka sesungguhnya, telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu". Maka Yūsuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya), "Kamu lebih buruk kedudukanmu (sifat-sifatmu) dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan itu"
“Mereka” dalam potongan ayat di atas adalah saudara-saudara tua Yusuf. Saat itu diceritakan bahwa Yusuf menaruh piala kerajaan di kantung Bunyamin untuk sebuah “strategi.” Namun kita bisa melihat sifat hasad/jealousy yang ada pada saudara-saudaranya yang belum hilang setelah bertahun-tahun kemudian, malah membuat diri mereka semakin buruk (worsened). Mereka masih saja menyebut buruk dua bersaudara (satu ibu) itu: Yusuf dan Bunyamin.
Jadi, saat kita mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan atau kondisi sulit, kita bisa memilih untuk melihatnya dari dua perspektif dengan konsekuensi masing-masing:
- Melihatnya sebagai tantangan, maka kita akan bertumbuh
- Melihatnya sebagai sesuatu yang membuat kita jadi korban, maka kita akan jadi pribadi yang lebih buruk
Mengapa saudara-saudara Yusuf memiliki sifat hasad? Karena mereka selalu membanding-bandingkan. Sebetulnya itu sifat manusia yang perlu secara konstan mebandingkan dirinya. Namun, perbandingan seperti apa yang tidak akan menimbulkan hasad? Kita perlu membandingkan diri kita dengan niat mendapatkan inspirasi (tergugah untuk mencontohnya).
Forgiveness
Salah satu keajaiban dalam Surat Yusuf adalah “Ring Composition.” Kejadian-kejadian tidak enak yang dialami Yusuf di awal fase kehidupannya dibalik oleh Allah (mirrored):
- Yusuf bermimpi (11 bintang, matahari, dan bulan sujud kepadanya)
- Yusuf dibenci saudaranya
- Yusuf dipisahkan dari ayahnya
- Yusuf dijual sebagai budak di Mesir
- Yusuf difitnah memperkosa
- Yusuf masuk penjara
- Yusuf keluar penjara
- Yusuf dibersihkan namanya
- Yusuf diangkat menjadi pembesar Mesir
- Yusuf dipertemukan dengan ayahnya
- Yusuf memaafkan saudaranya (saudaranya tidak membenci Yusuf lagi)
- Mimpi Yusuf terpenuhi (11 bintang=saudara-saudaranya, matahari=ayahnya, bulan=ibunya)
Di titik akhir kisah Nabi Yusuf ini, kita tahu bahwa Nabi Yusuf akhirnya memaafkan. Namun, Yusuf tidak dengan segera memaafkan mereka saat mereka bertemu Yusuf untuk meminta bantuan pangan. Yusuf melakukan “trik” untuk menghancurkan “tembok” yang selama ini dibangun oleh saudara-saudaranya terhadap Yusuf (dan menyebar ke Bunyamin dan Nabi Yakub, ayah mereka sendiri). Di kisah Nabi Yusuf, kita tahu bahwa dia sengaja meminta saudara-saudaranya untuk membawa Bunyamin dari Kanaan ke Mesir. Dengan itu ia berusaha me-recall kembali ingatan saudara-saudaranya saat mereka meminta ayahnya untuk membawa Yusuf. Setelah itu, Yusuf sengaja menyimpan piala kerajaan di kantungnya Bunyamin, menahan dia. Terpaksa saudaranya kembali ke ayahnya dan berkata bahwa Bunyamin ditahan. Ayahnya pun semakin tidak percaya. Ingatan dan rasa bersalah saudara-saudaranya semakin kuat saat itu, sampai akhirnya di kunjungn ke sekian kalinya ke Mesir, Yusuf lalu memperkenalkan dirinya. Seketika saudaranya tersungkur meminta ampun.
Pelajaran yang bisa diambil dari sini adalah, kita tidak bisa memaafkan seseorang sebelum menghancurkan “tembok”nya. Kalau hanya sekadar memaafkan, mungkin kejadian buruknya akan kembali diulangi. Inilah sisi rasionalitas ajaran Islam lewat Alquran ini. Kita perlu melakukan yang namanya “konfrontasi”. Hal itu perlu untuk fix the problem. Then, forgive.
Dan mengenai kelanjutan forgiving. Setelah memberi maaf, bagi hati yang sulit, kita tidak perlu juga berekonsiliasi. Hal ini ditunjukkan Nabi Yakub saat memaafkan anak-anaknya, namun tidak langsung mendoakan ampunan bagi mereka. Hal serupa pun ditunjukkan oleh Rasulullah SAW terhadap Wahsyi yang pernah saya tulis di sini. Beliau memaafkan, beliau juga melakukan konfrontasi dengan bertanya, “Ceritakan bagaimana kamu membunuh Hamzah?”, lalu setelah itu beliau tidak mau bertemu lagi dengannya selama-lamanya. Itu manusiawi. Karena bagi hati yang tersakiti, bisa jadi, jika melihat momentum yang membuat dia sakit, hatinya bisa kembali terluka.
Epilog
Story Night mengingatkan saya kembali betapa indahnya Alquran sebagai petunjuk hidup. Penjelasan yang disampaikan Ust. NAK sangat mudah dipahami dan menunjukkan keajaiban Alquran itu sendiri. Tentunya proses mengenal dan belajar kita tidak bisa berhenti sampai di sini atau hanya belajar di setiap Story Night. Acara ini bisa kita jadikan momentum untuk lebih semangat mempelajari Alquran dan membaca “ayat-ayat” yang dimunculkan di ufuk kehidupan kita. Temanya juga pas sih…Rise Above! Berbenah!
Oia, beberapa isi artikel ini juga berasal dari hasil membaca buku berikut:
- Lessons from Surah Yusuf karya Dr. Yasir Qadhi
- Buku Pintar Al-Quran (LingkarKalam)