Ini buku pertama yang selesai saya baca di tahun 2022. Info tentang buku ini secara tidak sengaja saya lihat di story IG-nya Uda Ahmad Fuadi. Tanpa pikir panjang saya langsung pesan (PO) lewat akun online store penerbitnya. Berita akan terbitnya buku (novel) biografi Hamka ini semacam kabar gembira buat saya. Karena selain saya nge-fans dengan karya Ahmad Fuadi, kebetulan saya juga sedang membaca buku “Tasawuf Modern” karya Hamka dan menjadikan Masjid Al-Azhar, yang merupakan tempat Hamka terakhir mengabdi, sebagai salah satu tempat yang sering saya kunjungi untuk escape dan dreambuilding.
Momentum terbitnya novel biografi Buya Hamka yang ditulis Uda Ahmad Fuadi ini sangat pas dengan kondisi saya. Dulu saya baca seri novel 5-3-1* nya Uda yang (menjadi wasilah) membuat saya termotivasi untuk menjadi scholarship hunter dan juga menguatkan diri untuk merantau (belajar dan bekerja) di luar negeri. Lalu pada saat ini, dalam periode pencarian misi hidup dan penerjemahan makna hidup, saya berkenalan dengan karya-karyanya Hamka. Dan, Uda Fuadi, seperti katalis, membawakan kisah hidup tokoh bangsa ini dengan sangat menarik sehingga saya bisa hanyut mengikuti perjalanan hidup dan mengenal Hamka lebih mudah melalui novel biografi ini.
Kesan Pertama
Kisah Hamka dibawakan dengan sangat “manusiawi” di dalam buku ini. Hamka bukanlah seorang manusia super yang sudah berbakat sejak lahir. Apa yang dilalui dan didapat oleh Hamka, sangat mungkin terjadi dan dialami kita. Hamka memang lahir dari seorang ulama terpandang di Sumatera: Dr. Abdul Karim Amrullah, atau dikenal dengan nama Haji Rasul. Ayahnya juga sudah dianggap ayah sendiri oleh Bung Karno. Namun sejak kecil Hamka mengalami banyak tantangan, hambatan, dan cobaan.
Masa-masa muda seorang Malik
Hamka tumbuh dengan nama kecil, yaitu Malik. Ayahnya sangat berharap Malik dapat meneruskan perjuangan dan posisinya sebagai ulama terpandang dengan menguasai ilmu agama, belajar ke Makkah selama 10 tahun, seperti yang pernah dilakukan ayahnya dengan berguru ke Imam Masjidil Haram yang juga orang Indonesia: Syaikh Akhmad Khatib, lalu kembali ke Maninjau. Namun, Malik, yang merasa tumbuh tanpa perhatian yang cukup dari ayahnya karena kesibukannya, lebih tertarik ke bidang seni (kaba dari Minangkabau; yang akhirnya mengasah kemampuan berpidatonya), lebih senang bermain, dan lebih suka nonton film di bioskop dengan teman-temannya. Meskipun ayahnya membuka sekolah sendiri, Malik merasa terpaksa untuk belajar di sana. Dia akhirnya tidak pernah punya ijazah. Namun, Malik adalah seorang otodidak. Dia memperluas cakrawala berpikirnya dari kegemaran membaca. Dan dari situlah dia akhirnya mengasah skill menulisnya.
Perjalanan hidup Malik selanjutnya diwarnai dengan banyak badai yang menghadang. Namun dari setiap badai akan muncul “pelangi” yang indah dan “pelaut” yang semakin tangguh yang akan membuatnya menjadi seorang “Buya Hamka” kelak. Malik pernah mengalami broken home (kedua orang tuanya bercerai), pernah mencoba lari dari rumah (ke Pulau Jawa) tanpa restu ayahnya (yang berakhir gagal karena dia diserang cacar dan malaria), pernah ditikung (gadis yang dijodohkan dengannya sejak kecil dipinang orang lain), pernah (akhirnya) berlayar ke tanah suci untuk berhaji. Di tanah suci inilah Malik bertemu dengan Haji Agus Salim dan meminta pendapat beliau apakah dia perlu terus merantau atau kembali ke tanah air. Haji Agus Salim memberikan nasihat,”Negeri ini, tanah Hijaz, khususnya Makkah adalah negeri tempat beribadah. Bukan tempat menuntut ilmu. Lebih baik engkau kembangkan dirimu di tanah airmu sendiri. Ayahmu sendiri berkembang karena dimatangkan oleh suasana di tanah air sendiri. Kalau engkau terbenam di luar negeri bertahun-tahun, lalu engkau pulang maka amat payah engkau menyesuaikan diri dengan perkembangan di tanah air.”
Negeri ini, tanah Hijaz, khususnya Makkah adalah negeri tempat beribadah. Bukan tempat menuntut ilmu. Lebih baik engkau kembangkan dirimu di tanah airmu sendiri. Ayahmu sendiri berkembang karena dimatangkan oleh suasana di tanah air sendiri. Kalau engkau terbenam di luar negeri bertahun-tahun, lalu engkau pulang maka amat payah engkau menyesuaikan diri dengan perkembangan di tanah air
Nasihat Haji Agus Salim kepada Malik di tengah kebimbangan untuk melanjutkan hidup di Arab Saudi atau pulang ke tanah air
Berkarya sebagai Hamka
Di episode berikutnya, Malik kembali ke tanah air dan menetap di Medan. Di sinilah dia memulai karir sebagai penulis dan memiliki panggilan Hamka. Lalu, beliau kembali ke kampungnya dan menikah. Setelah sekian lama akhirnya ada suatu titik di mana dia menyadari bahwa ilmu agamanya masih belum lengkap. Secara sadar, Hamka pun berusaha untuk mendalami ilmu agama yang belum dikuasainya dengan belajar langsung kepada ayahnya, Haji Rasul. Padahal di masa kecil dia paling anti untuk mendekati ayahnya yang terasa “jauh” baginya. Dengan ilmu yang sudah dilengkapi tersebut, Hamka pun melanjutkan berkarya di tanah air dengan dua senjata yang dia kuasai: pidato dan tulisan.
Hamka dan keluarganya hidup berpindah-pindah dari Maninjau, Makassar, Medan, Padang Panjang, dan akhirnya ke Jakarta. Hamka hidup di zaman penjajahan Belanda dan juga mengalami masa-masa perang di bawah pendudukan Jepang. Di masa akhir penjajahan Belanda sebelum kedatangan Jepang, ayahnya sempat dibuang ke Sukabumi dan lalu dipindah ke Jakarta.
Sedangkan Hamka, di masa pendudukan Jepang, menjadi salah satu tokoh kepercayaan Jepang di Medan. Hamka sempat galau dengan kedudukannya ini dan berkonsultasi kepada Bung Karno tentang posisi mereka yang mendukung Jepang padahal tidak sedikit rakyat yang menderita di bawah pendudukan Jepang. Bung Karno pun membalas,”Pemimpin mesti berjiwa besar. Pemimpin tidak boleh melihat kerugian dalam mencari keuntungan yang lebih besar. Untuk mengubah nasibnya, bangsa kita mesti menempuh kesengsaraan terlebih dahulu. Tidak ada yang tahan dengan kehancuran, tetapi sejarah menyaring dan meninggalkan siapa yang kuat. Itulah yang akan tinggal untuk melanjutkan cita-cita.” Kata-kata Bung Karno meneguhkan Hamka untuk melanjutkan perjuangan meskipun berada di pihak Jepang.
Pemimpin mesti berjiwa besar. Pemimpin tidak boleh melihat kerugian dalam mencari keuntungan yang lebih besar. Untuk mengubah nasibnya, bangsa kita mesti menempuh kesengsaraan terlebih dahulu. Tidak ada yang tahan dengan kehancuran, tetapi sejarah menyaring dan meninggalkan siapa yang kuat. Itulah yang akan tinggal untuk melanjutkan cita-cita
Jawaban Bung Karno atas pertanyaan Hamka saat mencari keteguhan hati atas posisinya sebagai tokoh kepercayaan Jepang di Medan
Dari sisi timeline, perjalanan hidup Hamka dan keluarganya mengalami naik turun yang saya rasa cukup ekstrim. Di awal menikah Hamka dan istrinya Siti Raham bahkan tidak punya sarung untuk bisa salat berjamaah berdua, lalu mereka bisa hidup dengan lebih layak saat Hamka menjadi pemimpin redaksi majalah di Di Medan. Tapi saat itu pula Hamka ditinggal wafat putra pertamanya. Lalu Jepang datang, kondisi perekonomian kembali buruk. Namun setelah diangkat menjadi tokoh kepercayaan Jepang, keluarga Hamka kembali hidup cukup. Ironisnya, setelah Jepang kalah perang, Hamka dicap sebagai pengkhianat dan memulai kembali semuanya dari nol. Bahkan ia sempat menjajakan buku-buku tulisannya di sela-sela kegiatan berdakwah. Selanjutnya kehidupan Hamka dan keluarga mulai menanjak saat pindah ke Jakarta dan diminta memegang beberapa jabatan penting. Hamka bahkan menerima gelar professor dan doktor. Lalu, lagi-lagi cobaan muncul saat Hamka dijatuhkan oleh orang-orang komunis dan akhirnya dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik di era orde lama.
Dengan kondisi naik turun tersebut, Hamka sempat terinspirasi untuk menggubah syair:
Di sepanjang hidupnya, medan perjuangan Buya Hamka adalah lewat pidato dan tulisan. Hamka juga bukan tipe orang yang mencari-cari “kursi” (jabatan). Namun, beliau membuat kursi nya sendiri, dengan karya nyata. Pada akhir hayatnya beliau menamatkan Tafsir Al-Azhar yang merupakan karya terakhirnya di dunia.
Kesimpulan
Dengan membaca karya terkini Uda Fuadi tentang biografi Hamka ini membuat saya memahami bahwa kita semua bisa menjadi Hamka. Seorang anak bangsa yang sama-sama pernah mengalami pahit manis kehidupan, yang mencoba memahami potensi dirinya, yang saat dalam keadaan terpuruk banyak merenung dan mencurahkan rasa yang dialami (marah, sedih, geram, haru) ke dalam tulisan, dan seorang manusia yang terus mencari dan pada akhirnya berhasil menamatkan misi hidupnya di dunia ini.
*Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, Rantau 1 Muara
Permalink